Namanya Umar.
Dan seperti kebanyakan nama di dunia ini, ia diberikan dengan harapan, bukan dengan tanggung jawab.
Tapi apa gunanya nama yang baik, kalau tempat tumbuhnya busuk?
Ia tak lahir di rumah—ia dilempar ke dalamnya.
Sebuah bangunan separuh roboh, yang lebih layak disebut kandang daripada tempat tinggal.
Dindingnya lembap, lantainya penuh bekas botol,
dan udara dipenuhi bau ampas manusia yang terlalu sering meludah pada hidup,
tapi tak pernah belajar menelan kenyataan.
Ayahnya adalah sisa dari lelaki yang kalah.
Bukan sekadar pemabuk—tapi juga penjudi, pemarah, pemalas, dan pecundang yang bangga dengan kehancurannya.
Ibunya pergi. Entah ke mana.
Barangkali Tuhan kasihan dan menculiknya lebih dulu.
Atau mungkin, dia hanya ingin lari sejauh mungkin dari rumah yang mengajarkan luka lebih cepat dari alfabet.