Tuhan katanya Maha Melihat. Tapi Umar mulai meragukan itu.
Karena jika Tuhan melihat, kenapa tidak ada yang ditolong?
Tiap malam, tubuhnya menanggung memar baru.
Telinga yang dipelintir, pipi yang ditempeleng, perut yang ditendang.
Dan kadang, semua itu datang hanya karena satu alasan:
“Ayah kalah judi.”
Seburuk itukah dosa anak terhadap kegagalan orang tuanya?
Ia pernah mengadu. Ke tetangga. Ke guru. Bahkan ke langit.
Tapi jawaban paling umum yang ia terima hanyalah diam.
Dan diam adalah bentuk kekejaman yang paling lembut.
Karena dia tidak memukulmu—tapi membiarkanmu dipukul.
Umar tumbuh dengan kebencian yang tak bisa didefinisikan.