Saksi Bisu Misteri As-Sihran

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #1

1. Pada Mulanya


Aku berlari secepat kilat, masuk ke dalam rumah sebelum rumah itu diberangus oleh puluhan bola api yang terlontar dari arah yang tidak terlihat oleh mata telanjang. Tapi terlambat, aku kalah cepat dengan bola api itu. Dalam hitungan detik tiga buah bola api jatuh di atas rumah.

Langkahku terhenti seketika. Ingin rasanya berteriak tapi suaraku tercekat di tenggorokan, aku juga tak bisa berbuat apa-apa kecuali berdiri dengan lutut gemetar dan sekujur tubuh merinding. Tiga buah bola api meluncur lagi dan jatuh di atas bangunan-bangunan lain.

Ya Allah. Astagfirullah. Aku hanya bisa beristigfar sembari memegangi dada. Sungguh aku tak kuasa melihat jerit pilu, kesakitan yang bersatu dengan rasa takut. Sementara kakiku seakan terpaku dan tak dapat berbuat apa-apa.

Aku menyaksikan dengan mata dan kepala sendiri, seluruh bangunan yang bergaya timur tengah yang ada di kompleks perumahan itu luluh lantak, hangus terbakar api dan rata sama tanah, tak bersisa sedikit pun, kecuali butiran debu dan bau kulit serta daging manusia yang terbakar.

Habis semua, tak ada lagi yang bersisa kecuali kenangan yang mencekam dan memilukan.

Namun, tiba-tiba sesosok perempuan berjilbab panjang dan memakai gamis yang lusuh, muncul di tengah kepulan asap hitam yang membumbung tinggi, berjalan terseok-seok sambil menggendong seorang anak laki-laki. Tangisnya tertiup angin, air matanya bercampur abu hitam. Aku ingin menolongnya, tapi kakiku terpaku di bumi. Perasaanku benar-benar tak menentu, suhu tubuh panas dan dingin, otak pun terasa kaku, terikat erat oleh rasa takut yang luar biasa.

Suasana benar-benar sangat mencekam, menegangkan. Tempat indah yang terang benderang itu berubah menjadi gelap dan hitam.

Satu buah bola api datang lagi dari arah timur, kali ini sasarannya masjid. Menara masjid setinggi kurang lebih seratus dua puluh meter itu patah menjadi dua. Patahannya jatuh tepat di depanku dan nyaris saja menghantam tubuhku yang kurus ini. Bila tidak segera di selamatkan oleh seorang pemuda, niscaya tubuhku hancur.

“Cepat lari, Lek,” ia menarikku tanpa perasaan seperti menarik sebatang kayu.

Ia tak perlu menunggu persetujuanku lagi, dilemparkannya aku ke atas punggung seekor macan hitam. Lalu dengan gesit ia juga melompat ke atas punggung macan hitam dan duduk di belakangku.

“Cepat bawa kami pergi dari sini, Kumbang,” teriaknya.

Macan hitam yang ia panggil kumbang itu berlari kencang menjauhkan kami dari lokasi bencana. Tidak ada rasa takut sedikit pun pada si raja hutan ini, yang ada hanya perasaan lega. Namun, di sisi lain ada yang membuat hatiku berat untuk pergi sehingga memaksaku untuk melompat turun dari punggung si kumbang. Melawan ketakutan serta kematian.

“Jangan, Lek. Jangan balik ke sana,” tangan pemuda itu cepat sekali menangkap tanganku, menggagalkan niatku untuk kembali ke rumah itu.

“Kita harus menolong perempuan itu dan anaknya,” teriakku, berusaha naik lagi ke punggung si kumbang.

“Nggak usah, Lek. Biarkan saja dia, kita tak perlu ikut campur lagi dengan urusan mereka,” pemuda itu balas berteriak, suaranya kencang melawan angin yang berembus bagai topan.

Aku terdiam mendengar ucapannya. Kupikir ada benarnya juga, kalau aku kembali ke sana, bisa jadi aku dalam masalah besar.

“Taa—” aku menolah ke arahnya, mencoba mempengaruhi pemuda itu agar mau mengubah prinsipnya. Pemuda itu menggeleng kuat-kuat, dipeganginya tanganku erat-erat agar tak melompat lagi.

“Jangan, Lek, jangan bunuh diri,” tukasnya.

Aku menarik napas panjang, masih terus menoleh ke belakang, memandanginya, berharap ia menjatuhkan iba, lalu memutar balik arah dan menolong perempuan itu. Akan tetapi pemuda berkulit putih itu sangat teguh pendiriannya, tidak mudah dipengaruhi oleh siapa pun.

Karena terlalu lama menoleh ke belakang aku sampai tak melihat kalau ada dahan pohon yang menjulur, menghalangi jalan sehingga menghantam kepalaku.

“Aduh. Astagfirullah,” keluhku sambil mengusap-usap pelipis kanan yang kena hantaman dahan pohon.

“Pak, Pak, bangun, Pak. Bapak ketiduran. Kita sudah sampai di terminal terakhir,” kernet bus membangunkanku yang ternyata tertidur, tak tahu dari sejak kapan.

Lihat selengkapnya