Aku menarik napas panjang ketika untuk pertama kalinya kaki menjejak di tanah depan gerbang Pondok Pesantren As-Sihran. Matahari sudah hampir tenggelam ketika aku sampai, suasana desa terasa begitu sepi, gelap dan mencekam. Mungkin karena ponpes ini berada tak jauh dari hutan, dan agak jauh dari pemukiman, maka suasananya jadi menyeramkan seperti ini.
Dari depan lorong sampai ke lokasi pesantren, aku hitung hanya ada tujuh belas rumah dengan jarak yang berjauhan.
Aku mengusap batang leher beberapa kali, menidurkan kembali bulu kuduk yang meremang. Keraguan tiba-tiba menyusup, membuat langkah kaki menjadi surut. Aku yang baru saja hendak mengayunkan kaki mendekati pintu gerbang dan jari tangan kanan siap menekan bell, tiba-tiba terhenti saat kulihat gagak hitam terbang menghampiriku, menggantung beberapa menit, tepat di depan wajah seakan tengah menyelidikiku, kemudian berputar tiga kali dan terbang lagi masuk ke dalam area pesantren.
Aku langsung mengucapkan salam sebanyak tiga kali dan membaca surat Al-Ikhlas juga sebanyak tiga kali, mengikuti saran laki-laki tua barusan. Kemudian kembali menarik napas panjang bersamaan dengan kedua kaki yang kutarik mundur ke belakang. Mengusap lagi batang leher, tapi bulu kudukku bukannya rebah, malah berdiri dengan gagah menantang nyali.
“Tinggalkan keraguanmu, lalu ambillah yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya keraguan itu sangat dekat dengan setan.”
Aku terngiang ucapan kakek guru—guru mengajiku sewaktu kecil dulu—yang diucapkannya untuk mendidikku agar bisa menjadi pribadi yang mampu mengambil keputusan meski dalam keadaan sulit sekali pun.
Aku menatap sekeliling area pesantren. Cuaca sudah mulai meremang sebab sang mentari sudah tenggelam dalam pelukan kegelapan. Hari semakin gelap, jarum jam sudah menunjukkan tepat pukul enam, artinya sebentar lagi magrib tiba. Tapi aku tak mendengar anak-anak santri yang mengaji atau puji-pujian? Tidak seperti pesantren pada umumnya. Aku mencoba mengintip dari celah-celah terali pagar besi yang tingginya jauh di atas tinggi badanku, seperti tak ada kegiatan apa-apa di dalam sana, atau mungkin masjidnya jauh di belakang, jadi suaranya tidak terdengar keluar. Soalnya menurut cerita Mbah Harjo Pesantren As-Sihran luasnya hampir satu hektar. Aku berpikir positif saja meski agak kesulitan menguasai rasa takut.
Kalau tadi aku dipermainkan oleh keraguan, sekarang aku dipermainkan oleh rasa takut. Tapi demi Lasma dan Bintang, aku memantapkan hati dan membulatkan tekad untuk terus maju. Walau pada kenyataannya kakiku masih tetap terpaku di depan gerbang, tiga ekor gagak hitam datang menghadangku, nangkring di atas pagar besi, membuatku makin gelisah. Berbagai doa yang pernah kupelajari waktu masih sekolah di MA, kubaca dengan gugup, tapi gagak-gagak hitam itu tetap tak mau pergi. Matanya menukik tajam ke arahku, mematikan logika dan memutuskan tekad yang telah kubawa jauh-jauh dari kota apel menuju desa paling timur di Jawa Timur.
Tiba-tiba aku teringat tangis Bintang pagi tadi saat aku hendak berangkat. Bocah berumur lima tahun dua bulan itu memeluk kakiku erat-erat sambil menangis, mengemis agar aku jangan pergi. Tangisan Bintang menumbuhkan firasat tak enak padaku dan Lasma.
“Mas. Opo nggak mending budal e ditundha disik. Nek ora, ya coba golek penggawean liyo wae. Ora usah kerjo neng kono? (Mas. Apa nggak lebih baik ditunda saja dulu perginya, atau Mas cari pekerjaan lain saja. Nggak usah kerja di sana?)” kata istriku sambil berusaha menenangkan tangis Bintang.
“Kerjo opo to, Dik? Mas Iki cuma lulusan Aliyah. Biji e ya mungkin pas-pasan. Mas wes nyoba ngelamar kerjo neng ndi-ndi, tapi ya sik ora ono panggilan kerjo, padahal saiki awak dewe lagi akeh kebutuhan. Gawe Bintang sing arep mlebu TK, gawe biaya babaran, gawe kebutuhan ben dinan. Awak dewe Iki ya ora duwe sawah opo kebonan, (Kerja apa, Dik? Mas ini cuma lulusan Aliyah dengan nilai yang pas-pasan. Mas sudah banyak memasukan lamaran ke mana-mana, tapi belum ada juga panggilan, sementara kita butuh banyak uang, buat Bintang masuk TK, buat biaya lahiran kamu, buat makan kalian. Sawah atau kebun kita nggak punya),” kupandangi wajah ayu Lasma yang tengah hamil lima bulan.
“Mas kan iso ngewangi Bapak nggarap kebon apel, (Mas kan bisa bantu-bantu di kebun apel Bapak),” bisiknya takut terdengar sama Bintang yang beru berhenti menangis setelah kugendong sampai ia tertidur dalam gendonganku.
“Ora cukup, Dik! Mas kudu tetep mergawe kanggo awakmu lan anak e dewe. Kanggo masa depan e Bintang lan adhine mbesuk-mbesuk, (Nggak cukup, Dik. Mas tetap harus kerja demi kalian, demi masa depan Bintang dan adiknya kelak),” bisikku, masuk ke dalam kamar untuk membaringkan Bintang.
“Tapi Mas, daerah etan iku wingit, angker. Akeh kedadean ora umum neng kono, (Tapi Mas, timur Jawa itu tempatnya angker dan banyak kejadian aneh di sana),” bisiknya lagi. Aku dapat membaca raut kegelisahan melalui sorot matanya sendu.