Saksi Bisu Misteri As-Sihran

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #3

3. Perempuan Misterius di Bawah Pohon Mangga

Aku tercengang begitu berada di dalam Pesantren As-Sihran. Suasana di dalam benar-benar berbeda dengan suasana di luar yang gelap, sunyi dan mencekam. Di dalam sini suasana alam terang benderang, ramai sekali para santri dan santriwati berbondong-bondong keluar dari asrama masing-masing menuju masjid.

Aku berjalan pelan, jauh berada di belakang Pakde Karso. Mataku sibuk melihat sekeliling kompleks pesantren yang indah dan luar biasa memukau. Aku seperti berada di Arab, atau Bagdad, atau Mesir, pokoknya begitu, persis seperti negara-negara timur tengah yang pernah kubaca di buku ensiklopedia Islam yang ada di perpustakaan sekolah ku dulu.

Bangunan-bangunan yang ada di kompleks Pesantren As-Sihran sangat megah dan mewah semua. Bangunan-bangunan tersebut di desain dengan gaya timur tengah, apalagi di halaman masjid kulihat ada banyak pohon kurma, membuat suasana timur tengah semakin terasa kental dan khas.

Masjid  As-Sihran namanya, berada persis bersebelahan dengan sebuah rumah besar berlantai tiga. Mungkin ini rumah pemilik pesantren, kataku dalam hati. Namun, ada yang membuatku sangat terkejut dan merasa ada yang janggal.

Bagaimana mungkin rumah tiga lantai dan menara masjid yang tingginya menjulang itu tidak kelihatan dari luar? Padahal tinggi pagar tidak melebihi tinggi menara dan rumah.

Mengapa juga suara anak-anak santri yang sedang salawatan di masjid tidak terdengar keluar, padahal kalau dilihat dari dalam pondok posisi masjid berada tak jauh dari pagar, kalau pun jauh, meski sayup-sayup suaranya pastilah akan terdengar dari luar.

Sungguh aku tak habis pikir.

Aku menggelengkan kepala beberapa kali untuk menghilangkan rasa berat dan pusing yang tiba-tiba saja menyerang, lalu mengurut-urut kening. Bahuku juga tiba-tiba berat bagai memanggul tiga puluh kilo beras, keningku berdenyut-denyut sakit seperti ada yang hendak keluar atau mungkin ada sesuatu yang mau masuk melalui kening. Dari arah timur aku melihat cahaya nila berputar bak spiral, mendekat ke arahku. Kulit tubuhku juga perih, bagai bersentuhan dengan air panas. Berkali-kali aku mengusap wajah dan lenganku untuk menghilangkan semua perasaan tak nyaman ini, tapi tetap saja rasanya aneh. Aku merasa seperti sedang berada di alam yang berbeda, udara yang masuk ke paru-paru pun beda, ah, seperti ada misteri di balik semua keindahan yang kulihat ini. Pokoknya begitulah, aku kesulitan untuk menjelaskannya.

Aku terus berjalan, tanpa memperhatikan arah jalan dan ke mana Pakde Karso melangkah. Kakiku berbelok ke arah timur. Di sana ada sebuah bangunan seperti rumah susun tiga lantai. Konsep bangunannya sama seperti masjid dan rumah, gaya timur tengah.

“Lek,Lek. Sampeyan mau ke mana toh? Jangan lewat situ. Jalan sini, Lek. Kita ke rumah Gus Mus dulu, mumpung beliau belum berangkat ke masjid,” teguran Pakde Karso membuatku gelagapan.

Pakde Karso menarik tanganku, membawaku menjauh dari tempat itu. Ternyata tanpa kusadari kakiku melangkah ke lain arah, yang berbeda jalur sama Pakde Karso. Aku celingukan, persis seperti orang bingung.

Pakde Karso menepuk punggungku dan menarik tanganku. Pukulannya yang cukup kuat membuatku tersentak sehingga mengembalikan kesadaranku. Aku mengerjap-ngerjapkan mata seraya beristigfar.

Astagfirullahal’azhim,” gumamku sedikit kaget. Terasa sekali kalau ada sebuah bayangan hitam, lolos keluar dari mulut.

“Lek, dengar ya, jangan pernah pergi ke arah sana, baik siang apalagi malam,” bisik Pakde Karso. Tegas dan suaranya penuh penekanan.

“Iya, Pakde. Maaf saya tadi terpesona oleh keindahan tempat ini,” kataku jujur. Pakde Karso cuma tersenyum dan cepat-cepat menarik tanganku untuk kembali ke jalan yang semula kami lewati.

Aku mau bertanya alasannya, tapi aku teringat pada pesan Mbah Harjo untuk tidak banyak bicara, lebih baik diam dan kerjakan semua pekerjaan sesuai dengan perintah.

“Itu Gus Mus dan Ning Ayu,” ujar Pakde Karso.

Kulihat ada sepasang laki-laki dan perempuan keluar dari dalam rumah berjalan beriringan menuju masjid. Pakde Karso mempercepat langkahnya, aku juga sedikit tergesa-gesa mengejarnya.

“Gus, Gus,” katanya sambil memanggil Gus Mus.

Laki-laki yang ku taksir umurnya tak jauh dengan Pakde Karso tersebut berhenti berjalan, menoleh kepada kami. Mereka berhenti, menunggu kami.

“Assalamualaikum, Gus Mus, Ning,” kata Pakde. Napasnya tersengal-sengal. Pakde Karso mengucapkan salam sambil menundukkan kepala. Aku meniru tindakannya.

Lihat selengkapnya