“Serius, Mas? Mas Agung benar-benar nggak lihat perempuan yang lewat barusan?” Aku menatap Agung dengan rasa penasaran yang memuncak.
“Demi Allah, Lek, saya nggak lihat apa-apa. Saya cuma melihat pintu kamar mandi terbuka sendiri, tapi nggak ada seorang pun yang keluar dari dalam,” katanya dengan volume suara sedikit ditekan.
Aku mengusap dada sambil istigfar. Hendak bertanya lagi, tapi tiba-tiba Pakde Karso muncul.
“Ada?” tanyanya sambil berjalan mendekati kami.
Aku hendak menjawab, tapi Agung menginjak kakiku dan langsung bicara lebih dulu.
“Nggak ada apa-apa, Pakde. Saya disuruh Gus Mus untuk memanggil Lek Selamet,” katanya tersenyum, lalu menoleh ke arahku dengan mata melotot.
“Oh. Sebelum menemui Gus, ajak Lek Selamet makan dulu ya, Mas. Habis itu langsung ke masjid, habis isya kita zikir bersama,” ujar Pakde Karso kemudian langsung berlalu.
Kulihat tampang Pakde Karso tampak serius sekali, suaranya tegas dan sorot matanya seperti gagak yang berhasil mendapatkan mangsa.
“Baik, Pakde,” jawab kami bersamaan.
Setelah Pakde Karso berlalu, kami saling tatap dan menarik napas bersamaan.
“Lek. Jangan ceritakan pada siapa pun ya, apa yang Lek Selamet lihat tadi. Ini jadi rahasia kita saja,” pinta Agung. Matanya menatap tegas padaku.
Aku tak menjawab, melainkan malah bertanya, “kenapa?”
“Ini demi keselamatan kita semua, Lek. Sudah sana buruan mandi, sampeyan pasti belum magriban juga kan?”
“Belum. Ya sudah saya mandi dulu,”
“Jangan lama-lama, Lek. Saya tunggu di sini ya,” teriaknya.
“Iya,”
Dalam hati aku berkata, ngapain juga aku lama-lama di kamar mandi bila suasananya seram begini? Kalau tidak habis menempuh perjalanan jauh, aku nggak bakal mau mandi kemalaman begini.
Agung benar-benar menunggu dan menemaniku, bahkan sampai aku selesai salat magrib, baru kemudian setelah itu aku dikenalkan dengan Mbok Las dan Mbok Sur, dan kami berempat makan malam bersama. Agung berulang kali mengingatkan agar aku tidak menceritakan kepada siapa pun perihal hantu yang keluar dari kamar mandi tadi.
Selesai makan, kami berdua langsung pergi ke masjid. Tak banyak yang disampaikan oleh Gus Mus padaku. Gus Mus hanya mengucapkan selamat datang dan berkata semoga aku betah kerja di pesantrennya.
Kemudian beliau menyuruhku untuk menemui Ning Ayu di rumahnya, sebab Ning Ayu yang akan memberitahukan apa tugas-tugas yang harus kulakukan. Ning Ayu telah menjelaskannya secara rinci, apa yang harus aku kerjakan dan apa yang tidak boleh aku lakukan.
“Lek Selamet bisa pakai mesin cuci kan?” tanya Ning Ayu pertama kali padaku.
“Ehm ... bisa, tapi belum biasa,” jawabku ragu sambil tersenyum malu-malu.
Dulu pas baru menikah, aku tinggal bersama mertua, dii sana ada mesin cuci, aku pernah menggunakan, tapi aku tak yakin apakah aku masih ingat cara penggunaannya, sebab sudah lama sekali aku tidak pernah menggunakan mesin cuci.