Saksi Bisu Misteri As-Sihran

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #6

6. Sosok Berpakaian Hitam di Asrama Timur

Sejak pertama kali menjejakkan kaki di pesantren ini dan melewati malam pertama dengan penuh ketegangan, aku sudah membayangkan bagaimana hari-hariku selanjutnya di tempat ini. Hari-hariku pasti akan penuh dengan kejutan, ketegangan dan ketakutan.

Baru beberapa hari saja, sudah banyak keganjilan dan keanehan yang membuatku syok. Semua tak seperti yang kubayangkan. Aku merasa tertipu oleh omongan Mbah Harjo.

“Di sana sampeyan bisa belajar ilmu agama, siapa tahu nanti sampeyan ditawari jadi pengajar juga di sana. Sampeyan kan tamat Aliyah, sudah punya dasar ilmu agama, tinggal diasah aja,” bujuk Mbah Harjo, ketika datang ke rumah, memintaku untuk menggantikan posisinya sebagai tukang cuci pakaian di Pesantren As-Sihran, sebab Mbah Harjo sudah tua, sudah tidak kuat lagi untuk bekerja, sudah waktunya beristirahat.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, aku yang memang sedang membutuhkan pekerjaan, tanpa berpikir panjang dan mempertimbangkannya lagi langsung saja menerima tawaran itu. Demi Lasma yang tengah mengandung anak keduaku dan putra sulungku, Bintang, yang sebentar lagi akan masuk sekolah dasar.

Oya, kenapa aku bilang merasa tertipu dengan Mbah Harjo? Tadinya aku berharap ucapan Mbah Harjo benar, di pesantren ini aku bisa bekerja sambil belajar ilmu agama, mengaji dan mengkaji kitab, sesuatu yang tidak bisa aku dapatkan sewaktu duduk di bangku Aliyah, bisa aku peroleh di sini.

Namun, semua tidak seperti yang kubayangkan. Sampai di sini aku menghadapi situasi yang jauh berbeda.

Awalnya aku menganggap pesan Mbah Harjo adalah pesan yang mudah kulakukan, tapi ternyata aku keliru. Terlalu banyak keganjilan yang kulihat di tempat ini, serta penampakan-penampakan makhluk tak kasat mata yang mengganggu aktivitas serta ibadahku di sini.

Yang aku heran, orang-orang di sini menganggap semuanya biasa saja, atau mungkin memang mereka sudah terbiasa, bisa jadi mereka tidak bisa melihat apa yang aku lihat, soalnya aku sering berdebat dengan Agung soal ini. Hanya Gus Reksa yang sependapat denganku dan kerap membenarkan apa yang aku lihat.

Agung berkali-kali berkata padaku, kalau santri di pesantren ini tidak sampai seratus orang, tapi faktanya setiap malam aku melihat ratusan santri yang ikut berzikir dan kajian. Bahkan Ning Ayu sering meminta bantuannya agar membuatkan kopi hitam tanpa gula untuk ratusan orang santri tersebut. Setiap hari juga aku mencuci begitu banyak pakaian santri dan santriwati, tapi bila siang hari suasana pesantren sepi.

Malam Jumat ini, aku tak sanggup lagi menahan rasa penasaran dan menyimpan semua pertanyaan-pertanyaan itu. Ketika sedang membuat kopi di dapur bersama Gus Reksa, aku bertanya padanya.

“Santri-santri sebanyak ini pada ke mana ya, Gus, kalau siang hari?” tanyaku pada Gus Reksa, pemuda yang aku lihat selalu didampingi oleh macan putih.

Gus Reksa menatapku, kemudian mengalihkan matanya ke tempat lain, celingak-celinguk seakan takut akan ada orang yang mendengar ucapannya.

“Mereka ada, Lek, cuma dalam bentuk yang lain,” bisiknya. Mata Gus Reksa liar melihat ke sana-kemari, seperti maling yang takut ketahuan.

“Bentuk yang lain? Maksudnya?” aku memandangnya skeptis, menuntut penjelasan lebih lanjut.

Gus Reksa baru saja hendak menjawab pertanyaanku, tapi urung karena tiba-tiba Pakde Karso datang.

“Kopinya sudah siap, Lek?” tanyanya.

Aku dan Gus Reksa serta merta langsung bungkam.

“Ehm ... sudah, Pakde,” jawabku gugup.

Aku langsung mengangkat teko berisi kopi panas, sementara Gus Reksa dan Pakde sendiri membawa gelas-gelas yang jumlahnya ratusan.

Sehabis mengantarkan kopi aku dan Gus Reksa kembali ke dapur, tapi langkah kami tertahan oleh panggilan Gus Mus.

“Reksa.”

Aku dan Gus Reksa serempak menoleh ke belakang. Gus Mus sedang berdiri di ambang pintu rumahnya dengan gamis panjang, imamah dan serban yang tersampir di bahunya, sepertinya akan siap-siap ke masjid.

Gus Reksa memberikan kode padaku agar aku mengikutinya.

“Iya, Gus.” Kata Gus Reksa begitu berhadapan dengan Gus Mus.

“Bagaimana, sudah siap belum?” tanya Gus Mus, menatap kami berdua bergantian.

“Insya Allah siap, Gus,” jawab Gus Reksa tegas.

“Agung dan Furqon juga sudah siap, nanti kalian bertiga bersama-sama saja, biar bisa saling menjaga,” ucap Gus Mus. “Amalannya jangan lupa ya,” sambungnya lagi.

“Baik, Gus. Mulai jam dua belas malam kan, Gus?”

“Iya. Sama seperti malam kemarin-kemarin. Amalannya juga jangan lupa dibaca,” papar Gus Mus.

“Siap, Gus,” jawab Gus Reksa.

Aku mengernyitkan kening mendengar perbincangan mereka. Aku tidak tahu mereka sedang membahas sapa. Sepertinya Agung juga terlibat, sebab aku mendengar namanya tadi disebut sama Gus Mus.

Gus Mus mengangguk-angguk sambil mengusap-usap jenggotnya yang panjang, warnanya hitam campur kelabu.

“Lek. Mau ikut zikir lagi atau mau ikut berendam bersama ?” Gus Mus menoleh ke arahku.

Aku cuma cengar-cengir sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal, bingung harus menjawab apa karena aku tidak tahu apa yang di maksud Gus Mus dengan berendam malam-malam, untuk apa?

“Ayo, Lek kalau mau coba,” ajak Gus Reksa serius.

Lihat selengkapnya