Saksi Bisu Misteri As-Sihran

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #7

7. Kehebohan di Malam Jumaat

Aku masih penasaran dengan sosok berbaju hitam yang masuk ke kamar di asrama putri sebelah timur. Rasanya aku tak mau percaya kalau sosok itu adalah Gus Fuad. Mana mungkin seorang salih, anak ulama besar pula, masuk ke kamar perempuan dan bermalam di sana.

Sambil berjalan kembali ke kamarku, kepalaku sibuk berpikir, mencoba mengaitkan apa yang aku lihat sebelumnya dengan yang aku lihat malam ini.

Aku harus menyelidiki ini, batinku.

Tapi untuk apa? Kan sudah di wanti-wanti sama Mbah kalau nggak boleh ikut campur segala urusan pesantren ini? Pikirku lagi mempertimbangkan niat untuk mencari tahu. Sambil terus berjalan menuju kamar.

Aku ingat beberapa malam yang lalu, pernah melihat Gus Fuad keluar dari rumahnya pas jam sebelas malam, berjalan berjingkat-jingkat ke arah timur. Waktu itu aku baru keluar dari kamar mandi. Aku hanya mengamatinya dari jauh, tidak berniat sama sekali untuk mengikutinya seperti yang dilakukan malam ini bersama Gus Reksa. Malam itu cukup lama aku duduk di bangku depan kamar cuci, menunggu Gus Fuad lewat lagi, tapi ia tak kunjung pulang, lalu kutinggal masuk ke kamar.

Aku baru melihatnya lagi subuh-subuh pas aku lagi mencuci pakaian, Gus Fuad baru pulang dengan rambut awut-awutan, lewat di depan kamar cuci, melewati koridor, langsung masuk ke dapur rumahnya. Ia berjalan tergesa-gesa, menunduk menyembunyikan mukanya.

Sekarang pun aku tidak langsung masuk kamar, tapi memilih masuk ke kamar cuci. Melanjutkan menyetrika pakaian yang sempat terjeda kala Ning Ayu menyuruhku membuatkan kopi untuk para santri, sembari memikirkan segala keganjilan yang aku temui di tempat ini. Pintu kamar cuci sengaja aku buka lebar-lebar agar aku bisa melihat siapa saja yang lewat di depan tempat ini, sebab koridor di jejeran kamar mandi, kamar cuci, dan beberapa ruangan pada satu bangunan ini memang menjadi tempat orang berlalu-lalang.

Sudah sepuluh hari aku di sini, tapi tak pernah sekali pun aku melihat santri-santri malam itu mengikuti pelajaran di waktu siang. Aku tidak tahu ke mana perginya mereka kala pagi datang. Mereka juga tiba-tiba muncul begitu azan magrib berkumandang dan semua sudah berkumpul di masjid.

Apa mungkin dua asrama di timur dan selatan adalah asrama mereka? Batinku.

Aku juga heran dari mana Gus Mus mendapatkan dana besar untuk membangun rumah bak istana, membangun masjid dan empat asrama yang bangunannya mewah-mewah semua, sementara menurut cerita Mbok Las dan Agung, seluruh santri di sini gratis, tidak dipungut bayaran sama sekali.

“Maling, maling, maling ....” apa yang sedang bermain di pikiranku tiba-tiba hilang, jantungku berdegup kencang mendengar suara teriakan banyak orang jauh dari arah asrama.

Aku cepat-cepat mencabut stop kontak setrikaan dan keluar untuk melihat apa yang sebenarnya telah terjadi. Aku melihat puluhan santriwati berlarian keluar dari asrama masing-masing sambil membawa berbagai benda yang mungkin akan mereka gunakan untuk memukul maling. Beramai-ramai mereka mengejar maling sambil berteriak. Pria yang berpakaian serba hitam itulah yang dikejar oleh orang-orang.

Berarti benar orang yang berpakaian hitam-hitam itu adalah maling sungguhan, bukan Gus Fuad. Lantas siapa perempuan itu? Batinku penasaran, sambil berjalan kembali ke kamar cuci berniat untuk mencari senjata sekaligus  menutup pintu.

Aku harus membantu santriwati-santriwati itu mengejar maling. Tekadku sambil sibuk mencari senjata untuk kugunakan memukul maling.

Tiba-tiba ....

Suara gedebuk di depan pintu kamar cuci sehingga pintu yang terbuka sedikit itu langsung terbuka lebar. Peristiwa itu membuatku refleks berteriak.

“Aaaa ... Astagfirullah.” Aku meloncat sampai menabrak meja setrikaan.

Maling itu masuk ke ruanganku dan langsung menutup pintu kamar cuci, membuatku takut setengah mati, khawatir maling itu menyerangku. Tanganku cepat meraih setrikaan, hampir saja benda yang masih panas itu kulemparkan ke arahnya.

“Lek, jangan, Lek. Ini saya,” laki-laki berpakaian hitam itu membuka topi bajunya dan melepas masker wajahnya.

“Guuus!” Gus Fuad langsung menutup mulutku.

“Ssstt ... tolong saya, Lek,” katanya memohon dengan suara berbisik.

“Ke ... kenapa mer ... mereka mengejar, Gus Fuad?” tanyaku gugup.

Gus Fuad mendengkus, membuang wajah dari pandanganku. Berkata dengan ketus, “Ah, mereka itu cuma salah paham saja.”

“Salah paham?” Aku masih belum mengerti maksud pembicaraan Gus Fuad.

“Nanti saya ceritakan, sekarang Lek Selamet tolong saya dulu. Biarkan saya bersembunyi di sini,” pintanya memohon padaku.

Kulihat keringat sebesar biji jagung membasahi wajahnya, tangannya gemetar, mungkin dia panik karena tertangkap basah oleh para santri. Aku tak tahu apakah ia benar-benar mencuri atau memang benar hanya salah paham saja, seperti yang ia katakan barusan.

“Lek, tolong, Lek.” Seseorang memanggilku sambil mengetuk-ngetuk pintu kamarku yang bersebelahan dengan kamar cuci.

Gus Fuad menatapku dengan mata memohon, ia menarik kain alas setrikaan untuk menutupi tubuhnya.

“Gus diam di sini saja, saya keluar dulu,” kataku. Membuka sedikit pintu lalu keluar sambil menutup kembali pintu supaya tak ada seorang pun yang melihat Gus Fuad berada di situ.

“Lek, Lek ...,” teriak empat orang santriwati mengetuk pintu kamarku.

“Ada apa?” tanyaku setelah berada di luar. Serempak keempatnya menoleh kepadaku.

“Saya kira Lek Selamet sudah tidur?” ucap salah satu santriwati yang bola matanya berwarna biru laut.

“Saya di sebelah, lagi setrika pakaian. Ada apa?”

“Apa Lek Selamet melihat ada laki-laki berpakaian serba hitam tadi lewat sini?” tanya santriwati yang lain.

Aku menggeleng, “saya nggak melihat siapa-siapa. Saya dari tadi di sini, setrika pakaian sambil mendengarkan suara zikiran di masjid. Ke arah mana memangnya larinya?”

Lihat selengkapnya