Saksi Bisu Misteri As-Sihran

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #8

8. Mengulik Rahasia

“Lek. Sampeyan semalam kenapa? Kok tiba-ia semaput begitu? Sampeyan nggak sakit kan? Nggak juga kesurupan kan?” ekor mata Gus Reksa bagaikan pisau tajam yang siap membedah hatiku dan mengeluarkan kejujuran yang tersimpan di dalamnya.

Aku tak menjawab, malah pergi ke luar dari kamar cuci sambil membawa satu keranjang besar pakaian yang baru saja ku keluarkan dari mesin pengering.

“Saya jemur pakaian dulu.” Kataku sambil berlalu keluar, sekalian memantau apakah ada orang yang bakal mendengarkan obrolanku dengan Gus Reksa.

Sejak tinggal di sini, aku merasa seperti ada banyak mata yang mengawasi sekali pun aku sedang berada sendirian di dalam kamar. Apalagi sepasang mata merah itu, ke mana saja aku melangkah ia selalu mengikuti.

Setiap hari kepalaku selalu sibuk dengan berbagai macam bentuk pikiran, sampai berat rasanya kepala ini. Tak lama kemudian Gus Reksa menyusulku sambil membawa satu keranjang besar lagi pakaian yang baru saja di keringkan.

“Sampeyan nggak merasa aneh, Lek. Tiap hari kok mencuci sebanyak ini, padahal santri di sini nggak sampai seratus orang.” Pancing Gus Reksa.

“Setiap hari saya juga berpikir begitu, Gus. Tapi hanya sebatas memikirkan saja. Saya nggak berani bersuara, nggak berani ngomong ke siapa-siapa, kecuali sama Gus Reksa.” Aku bicara sambil melihat kanan, kiri dan belakang, khawatir ada telinga yang mencuri pembicaraanku.

“Jadi Lek Selamet mau diantar ke klinik hari ini?” aku menatap Gus Reksa yang sedang membantuku menjemur pakaian.

Biasanya kalau sudah bicara begitu, pasti ada rahasia yang mau ia ceritakan. Karena tak mungkin kami bercerita di tempat ini. Bisa bahaya kalau ada yang mendengar dan menyampaikan pada Gus Mus.

“Nggak jadi, Gus. Wong saya nggak sakit kok, ngapain harus ke klinik?” kataku, menatap Gus Reksa sekilas dan mengangkat keranjang kosong hendak membawanya kembali ke kamar cuci untuk mengambil pakaian lain yang sedang dalam proses pengeringan.

Aku menoleh pada Gus Reksa yang masih berdiri termangu dengan mulut menganga, dan kedua tangannya melayang di udara sambil memegang pakaian yang siap diletakan ke jemuran. Kupikir ia bengong karena mendengar perkataanku, ternyata ia begitu karena melihat Nasyisya lewat.

Nasyisya, perempuan cantik berumur sekitar tujuh belas tahun itu, kabarnya seorang gadis yang katanya keturunan bangsa Irak. Terlihat dari bentuk fisiknya yang berbeda dengan bentuk fisik orang Indonesia, termasuk bola matanya yang berwarna hijau. Nasyisya adalah salah satu santri di sini, sudah tiga tahun ia berada di pesantren ini.

Jalan Nasyisya tampak terburu-buru, penampilannya terlihat kusut dan tak bercahaya. Aku melihat tangannya menggenggam sesuatu. Aku memperhatikan arah langkah kaki gadis itu, ia berjalan di koridor yang menghubungkan bedeng tempatku tinggal dengan dapur bersih rumah Gus Mus dan Ning Ayu. Kemudian ia masuk ke rumah yang megah bak istana itu.

Setelah Nasyisya masuk ke dalam rumah dan sampai bayangannya tak tercium lagi, Gus Reksa menghampiriku di kamar cuci dan bertanya dengan suara yang berbisik-bisik: “Lek, Lek. Yang sampeyan lihat tadi ular atau perempuan?”

“Nasyisya kan?” aku balik bertanya, menatapnya serius.

“Berarti penglihatan kita sama.” Katanya, masuk duluan ke dalam kamar cuci.

“Mau ke mana ya dia?” Gus Reksa tak menjawab pertanyaanku, ia hanya mengangkat kedua bahunya sambil mengulum senyum.

“Sayang ya, Lek. Cantik-cantik tapi ...,” Gus Reksa menggantung kalimatnya.

“Tapi apa, Gus?” kejarku. Gus Reksa hanya menjawab dengan senyuman. Aku juga ikut senyum, aku paham apa yang di maksud Gus Reksa.

Aku menarik napas panjang, sedikit lega. Setidaknya ada orang yang sama sepertiku, dan ini menguatkan kalau aku tidak sedang berhalusinasi.

“Saya pikir Lek Selamet jadi ke klinik hari ini, kalau di luar kita bisa bebas berbicara,” katanya di sela-sela suara mesin pengering.

“Kalau saya pergi siapa yang akan menunggui cucian sebanyak itu, Gus. Mbok Las sibuk masak untuk para santri, Mbok Sur sibuk mengerjakan pekerjaan di rumah Ning Ayu, Mas Agung juga sibuk bersih-bersih, Gus Furqon sibuk ngajar, semua punya tugas masing-masing kan, Gus. Gus Reksa sendiri nggak ngajar toh? Malah bantuin saya.”

“Saya bukan guru seperti Gus Furqon. Saya ke sini memang niatnya mau nyantri, tapi sampai sini malah saya malah disuruh Gus Mus mengajar silat anak-anak santri. Kalau boleh jujur, saya menyesal datang ke sini, Lek.”

Bola mataku langsung berputar ke arah Gus Reksa yang sedang duduk dekat pintu dengan mata menerawang jauh keluar. Apa yang ia rasakan sama persis dengan apa yang aku rasakan, aku juga menyesal menerima pekerjaan ini dan merasa terjebak dalam situasi yang serba salah, tapi demi keluarga, aku mencoba bertahan.

“Sama. Saya juga merasakan begitu, Gus.” Kataku pelan.

Terbayang tangisan Bintang saat aku akan pergi dan tatapan memohon Lasma yang meminta agar aku membatalkan pergi kerja di sini. Selang beberapa menit, bayangan itu berlalu, berganti dengan bayang Mbah Harjo yang tergopoh-gopoh mendatangi rumahku, meminta tolong agar aku mau menggantikannya.

Aku tak enak menolak Mbah Harjo, yang sudah ku anggap seperti Mbah Kandungku sendiri. Mbah Harjo dan istrinya, juga anak-anaknya sangat baik padaku. Semenjak ayah, ibu, kakak dan adikku meninggal akibat tanah longsor sepuluh tahun silam, Mbah Harjo dan keluarganya lah yang menjadi keluarga baruku.

“Di tempat ini saya merasa seperti berada di dunia lain, Lek.” Jantungku berdegup mendengar perkataan Gus Reksa.

Lama kutatap mata coklat Gus Reksa. Aku ingin bicara, tapi suara mesin pengering sudah berhenti, aku harus melanjutkan pekerjaanku.

“Nanti kita ngobrol lagi, saya jemur pakaian dulu, Gus.”

“Lanjut, Lek. Saya mau kembali ke asrama, ngantuk banget. Semalam jam empat dini hari baru selesai berendam. Mumpung belum masuk waktu Jumatan, saya mau tidur dulu.” Ia langsung berdiri dan pamit.

Sepeninggal Gus Reksa. Aku melanjutkan tugasku, menjemurkan pakaian-pakaian sembari memilah-milah pakaian yang sudah kering supaya bisa langsung ku setrika. Hari ini sinar matahari cukup terik, sebentar saja cucianku sudah kering.

Aku mengangkat keranjang berisi pakaian kering dan membawanya ke kamar cuci. Belum sampai ke kamar cuci langkahku terhenti seketika. Aku berdiri diam sambil menahan napas. Kedua tanganku memegang erat keranjang berisi pakaian kering.

Seekor ular belang putih hitam turun dari tempat duduk di bawah pohon kersen, berjalan ke arahku, ular sebesar pergelangan tangan orang dewasa itu melewati kaki kanan. Bila tak ingat pesan Mbah Harjo sudah pasti ular itu akan aku tendang dan aku akan berlari mengambil sebatang galah untuk memukulnya sampai mati.

Setelah berhasil melewati kakiku yang hanya beralaskan sandal jepit, kupikir ular belang itu akan segera pergi menjauh, ternyata tidak. Pas aku kembali ke ruangan tempatku bekerja, ular belang hitam putih itu malah masuk ke ruanganku, naik ke atas meja setrika dan melingkar di atas alas kain setrikaan, membuatku bertambah panik dan ketakutan. Jantungku nyaris saja mau copot, kakiku juga tak bisa bergerak tatkala aku melihat ular itu berubah wujud menjadi seorang anak remaja, kurang lebih berusia enam belas tahun.

“Hah!” aku cepat-cepat membungkam mulut kala melihat perubahan wujud ular tersebut.

Tanganku terasa dingin, gemetar dan kuduk meremang. Hampir saja aku menjatuhkan keranjang pakaian bila tidak segera disambut oleh Mbok Las.

“Ada apa, Lek? Kamu sakit lagi?” Mbok Las menatapku penuh tanda tanya, matanya menyipit, menelisik setiap bagian tubuhku, lalu ia berkata lagi: “Kamu kenapa, Lek, kenapa pucat begitu? Kayak habis lihat setan saja?”

Aku menggeleng, menatap Mbok Las sekilas, lalu mengembalikan fokus ke ruang tempatku menyetrika pakaian.

Anak itu sudah tidak ada lagi. Ke mana dia? Tanyaku membatin.

Mataku berputar-putar mencari sosok anak remaja jelmaan dari ular belang, tapi anak itu sudah menghilang.

Cepat sekali jalannya? Gumamku membatin.

“Lek, oh Lek,” Mbok Las, melambai-lambaikan tangannya tepat di depan wajahku,  mengembalikan kesadaranku.

“Eh, oh, ehm ... kenapa, Mbok?” tanyaku gugup.

“Kamu kenapa? Dari tadi Mbok tanya, kamu cuma bengang-bengong saja. Ada apa toh, Lek?” ia mengulangi lagi pertanyaannya.

Aku cepat-cepat meletakan keranjang pakaian di dalam kamar dan bergegas keluar lagi.

Lihat selengkapnya