Saksi Bisu Misteri As-Sihran

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #9

9. Hilangnya Gus Fuad

Dua hari Gus Fuad tak pulang ke rumah, tak tahu ke mana perginya. Tak pamit dan tak ada bicara apa-apa sebelumnya. Kulihat Nasyisya bolak-balik menanyakan apakah Gus Fuad pada Mbok Sur pada adik-adiknya Gus Fuad, kadang ia juga bertanya padaku, karena aku sering masuk ke rumah Gus Mus. Tapi semuanya benar-benar tidak ada yang tahu keberadaan Gus Fuad.

Gadis cantik itu terlihat murung beberapa hari ini. Tiap malam aku selalu melihatnya duduk di taman halaman depan rumah, menatap ke gerbang utama, sepertinya ia sedang menunggu Gus Fuad pulang, karena tak seperti biasanya ia seperti itu.

Aku sendiri semakin resah dan gelisah melihatnya. Pikiranku sibuk menduga-duga peristiwa yang terjadi antara Gus Fuad dan Nasyisya. Dan apa yang aku pikirkan ini ternyata sama dengan apa yang ada di pikiran Gus Reksa. Tapi kami bisa apa? Bila belum apa-apa kami sudah ditekan agar bungkam dan tutup telinga terhadap apa yang terjadi di pondok ini.

Kabar hilangnya Gus Fuad langsung saja menyebar ke seluruh penghuni pesantren, berbagai opini menggiring pada puncak prasangka. Ternyata bukan hanya aku dan Gus Reksa saja yang curiga pada hubungan Gus Fuad dan Nasyisya, tapi beberapa santri dan santriwati juga ada yang berpraduga ke situ.

Hingga sampai hari ketiga, keempat, kelima dan keenam, akhirnya Gus Mus turun tangan. Ia memerintahkan Gus Reksa dan Gus Furqon untuk mencari Gus Fuad. Pergilah kedua gus itu ke tempat yang telah ditunjuk oleh Gus Mus.

“Cari Gus Fuad ke Gunung Sumbing, dia pasti ada di tempat kakeknya. Katakan padanya, saya menyuruhnya pulang sekarang juga.” Begitu kalimat yang ku dengar keluar dari mulut Gus Mus.

Gus Mus itu jarang bicara, tapi sekali bicara semua akan akan mendengar, tunduk dan patuh pada apa yang ia dawuhkannya.

“Baik, Gus.”

Tepat pada hari Jumat pagi, Gus Reksa dan Gus Furqon pergi menjalankan titah Gus Mus. Sebenarnya aku ingin ikut, tapi pasti tidak bakal dapat izin, karena cucianku tiap hari menggunung dan semua harus selesai sebelum para santri kehabisan pakaian.

Aku menunggu kabar Gus Fuad dengan gelisah. Bukan apa-apa, entah kenapa aku kasihan melihat Nasyisya yang seperti orang bingung. Setiap hari ia selalu pergi ke rumah Gus Fuad, tapi cuma berdiri di luar pintu dapur, tak berani masuk, tak berani juga bertanya.

“Ning. Kenapa nggak masuk saja?” tanyaku pada sore di hari Jumat.

Nasyisya menggeleng sedih, ada bulir-bulir bening menggantung di bulu matanya yang lentik.

“Saya di sini saja, Lek. Kalau saya di dalam nanti orang-orang rumah terkejut melihat saya,” katanya pelan. Nasyisya terlihat seperti seorang yang sedang depresi, bahunya melemah, kepala tertunduk, dan cahaya wajahnya memudar.

Kening mengerut mendengar perkataannya. Dalam hati aku berkata: Loh, bukannya dia sering bolak-balik ke rumah ini, kenapa harus takut orang bakal terkejut melihatnya? Mengherankan.

“Semoga Gus Reksa dan Gus Furqon berhasil menemukan Gus Fuad.” Cuma itu yang bisa kukatakan padanya, sebab aku tidak tahu harus bicara apa. Mungkin saja kata-kataku bisa menumbuhkan pengharapan padanya.

“Saya takut terjadi sesuatu pada Gus Fuad, Lek.” Ia diam sebentar, menjeda perasaan gundahnya dengan satu tarikan napas. Jemarinya yang lentik dan putih itu menyeka lembut buliran air mata yang meleleh di pipinya.

“Gus Fuad akan baik-baik saja,” hiburku.

“Aamiin,” sahutnya singkat.

“Saya ke dalam dulu ya, Ning. Mengantarkan pakaian,” kataku, sebab tak enak juga bila ada orang yang melihat aku bicara berdua dengan Nasyisya. Gadis itu tak menjawab, ia hanya mengangguk kecil dan kembali masyuk dengan lamunannya.

Aku berjalan masuk ke dapur sambil menoleh ke arah Nasyisya. Hatiku terasa teriris melihat hatinya terluka. Aku membayangkan bagaimana bila anak gadisku dinodai oleh seorang laki-laki, kemudian ditinggalkan begitu saja. Sebagai ayahnya aku pasti akan mengamuk. Aku yakin ayahnya Nasyisya juga akan berbuat sama.

Aku tahu, Nasyisya bukan mengkhawatirkan akan terjadi sesuatu pada Gus Fuad, tapi ia pasti takut Gus Fuad akan pergi meninggalkannya, menghindarinya dan tak akan pernah kembali lagi padanya. Itulah yang kutangkap pada sorot matanya yang meredup.

Lihat selengkapnya