Serapi-rapinya menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga baunya. Begitulah kata pepatah lama yang sering disampaikan pada orang-orang yang dengan sengaja menyembunyikan kebusukan. Aku sangat setuju sekali pada pepatah itu, meski mulut telah dibungkam dan mata dibutakan, akan tetapi hidung tak mudah untuk ditutupi.
Rumor tentang kematian Nasyisya pun mulai beredar di kalangan santri-santri malam—begitulah aku dan Gus Reksa biasa menyebut santri-santri gaib tersebut, sebab mereka hanya datang dan kumpul di masjid bila malam tiba. Berawal dari tak pernah hadirnya Nasyisya dalam setiap kajian dan zikir bersama, serta kamarnya—Nasyisya santriwati yang spesial, ia memang menempati satu kamar sendirian di asrama timur lantai dua—yang tak pernah terbuka lagi.
Aku sudah menduga dari awal, lama-lama para santri malam itu pasti akan curiga dan menanyakan keberadaan Nasyisya. Benar saja, ketiadaan Nasyisya membuat teman-temannya kompak untuk bertanya dengan Gus Mus.
Ternyata Gus dan Ning Ayu sangat pandai sekali berkelit. Keduanya sudah membuat alasan yang cukup masuk akal.
“Nasyisya sedang pulang kampung, nanti juga dia akan kembali lagi.” Begitulah jawaban yang kudengar.
Saat semua santri malam sibuk menanyakan Nasyisya. Namun, Ahqam yang cerdas itu curiga dengan gundukan tanah baru yang ada dekat kolam mata air batu hitam. Pada malam sehabis salat magrib. Ahqam menemuiku di kamar, ia menanyakan perihal gundukan tanah yang ada dekat kolam tersebut, katanya mirip sekali dengan makam.
“Lek Selamet tahu nggak, gundukan tanah apa yang ada dekat kolam mata air batu hitam di belakang sana? Perasaan kemarin-kemarin nggak ada deh,” tanyanya tanpa basa-basi.
Aku menarik napas panjang. Serba salah rasanya. Ingin jujur tapi takut kena marah Gus Mus dan Ning Ayu, mau berbohong takut dosa. Karena sebaik apa pun yang namanya berbohong, tetap saja bohong itu salah. Almarhum orang tuaku selalu berpesan agar aku menjadi orang yang jujur, tapi di sini aku dihadapkan dengan dilematik.
“Saya kurang tahu Mas. Saya jarang ke kolam soalnya. Coba Mas Ahqam tanya sama Mas Agung,” kataku dengan berat hati mengatakan itu.
Ahqam menatapku dalam-dalam seolah ia sedang menggali kejujuran pada kedalaman hati.
“Sudah, Lek. Kata Mas Agung, mungkin itu sarang rayap. Tapi yang aneh, sarang rayap kok memanjang kayak kuburan gitu ya? Setahu saya sarang rayap gundukannya tinggi menjulang ke atas.”
“Iya, Mas.” Aku menanggapi perkataan Ahqam seadanya saja, sembari mengulas senyum kecut dan menatap pemuda itu dengan perasaan yang tak menentu. Ahqam benar, itu memang kuburan, tapi kuburan tanpa nisan.
“Gus Reksa sudah pulang belum ya, Lek?” tanyanya.
“Sudah. Pas magrib tadi dia sampai di sini, mungkin sekarang masih di kamarnya,” kataku menarik napas lega karena Ahqam tak terus menerus mengorek tentang gundukan tanah tersebut.
Untung saja Ahqam hanya menanyakan tentang gundukan tanah dekat kolam, tidak bertanya tentang Nasyisya, untungnya lagi Gus Reksa tiba-tiba muncul dengan pakaian rapi dan mengajak ke masjid, menunggu waktu isya tiba. Aku menarik napas lega.
Habis isya semua orang di kagetkan oleh suara teriakan santriwati di asrama barat. Kami semua langsung berlari ke sana untuk melihat apa yang telah terjadi. Ternyata Yayuk kesurupan lagi untuk ketiga kalinya, tubuhnya meliuk-liuk seperti ular, ia berguling-guling di lapangan depan asrama sambil mengerang seperti seorang yang sedang kesakitan, lidahnya menjulur panjang menyapu hidung dan dagunya.
Yayuk memanggil-manggil nama Gus Fuad, ia menangis memohon agar dipertemukan dengan Gus Fuad.
“Kenapa dia mencari Gus Fuad? Apa mungkin selama ini diam-diam Yayuk pacaran dengan Gus Fuad?” tanya Srayu pada Nia.
Nia menggeleng, tak menjawab. Aku memberikan kode pada dua remaja itu agar tak banyak bicara.
Semua santri As-Sihran, termasuk santri malam, berkumpul di asrama barat. Semua berusaha membantu menyadarkan Yayuk. Belum lagi Yayuk sembuh, santriwati yang lain juga tiba-tiba tertular kesurupan.
Aku melihat kepanikan pada paras Gus Mus. Agak sedikit gugup Gus Mus berbicara.
“Bagaimana ini, Gus? Apa yang harus kita lakukan?” tanya Gus Furqon dan Gus Reksa yang kebingungan.
“Bawa semua santriwati yang kesurupan ke masjid, kita rukiah massal di sana,” perintah Gus Mus. Lalu ia meninggalkan kami semua begitu saja, berjalan duluan, menunduk sambil mengusap-usap janggut putihnya.
“Ayo, Lek. Bantu kami,” kata Gus Reksa memandang kepergian Gus Mus dengan pandangan tak suka. “Kalau bisa di sini kenapa harus dibawa ke masjid, merepotkan saja!” Kalimat yang meluncur dari bibir Gus Reksa terdengar ketus.
Ahqam membenarkan perkataan Gus Reksa, aku juga setuju. Repot sekali harus membopong tubuh santriwati-santriwati yang kesurupan ini ke masjid, bukan muhrim pula untuk menyentuh dan menggendong mereka.
Para santriwati yang kesurupan dibawa ke masjid, ini adalah malam keempat kami melakukan rukiah, tapi sembuh yang malam ini, esoknya pasti akan ada santri lain yang kesurupan. Cuma Yayuk yang terus mengulang kesurupan tiap malam atau siang.
Memang sejak kematian ular hijau yang berwujud Nasyisya, ponpes As-Sihran menjadi tidak aman dan nyaman lagi. Banyak santri yang kesurupan, sudah tiga hari ini, tidak siang, tidak malam selalu ada santri-santri, khususnya santriwati yang kesurupan, tubuh mereka seakan berubah lunak, bisa meliuk dan melingkar seperti ular. Para santri yang kesurupan itu selalu ingin pergi ke rumah Gus Mus.
Bahkan sejak kematian Nasyisya, tingkah Fuad pun semakin aneh. Fuad jadi stres. Ia sering mengamuk, mengganggu santri-santri putri, sampai-sampai Gus Fuad harus di pasung. Kondisi Gus Fuad sekarang sangat memprihatinkan. Kemarin pagi Gus Fuad dibawa ke rumah sakit, aku ikut mengantarnya. Kata dokter Gus Fuad harus dirawat. Setelah diberi obat penenang dan obat-obatan lain ia baru terlihat tenang.
Untung saja malam ini Gus Fuad di rumah sakit, kalau tidak, mungkin ia akan berteriak-teriak lagi bila ada santri yang kesurupan. Gus Fuad akan menangis ketakutan sambil meminta ampun.
***
Beberapa hari ini suasanya pesantren memang menegangkan. Sekolah diliburkan karena banyak santri yang ketakutan dan meminta untuk pulang ke rumah orang tua masing-masing.
Para santri bercerita kalau beberapa hari ini mereka diganggu oleh hantu perempuan bermata merah dan siluman-siluman ular.