Saksi Bisu Misteri As-Sihran

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #12

12. Serangan Gaib

Sore itu juga Gus Mus mengutus Gus Reksa untuk menjemput—Kiyai Ibbas—orang tua Gus Mus—yang tinggal di Gunung Sumbing.

Sepertinya Gus Mus sudah tidak punya pilihan lagi, bingung harus mengambil sikap, makanya dia minta tolong pada Gus Reksa, supaya orang tuanya di jemput saja. Begitulah dugaan pikiranku.

Menjelang malam Gus Reksa dan Kiyai Ibbas baru sampai di Pesantren As-Sihran. Kepada Kiyai Ibbas, Gus Mus menceritakan semuanya.

Sehabis salat isya Kiyai Ibbas menyuruh kami semua mengumpulkan semua santrinya—santri manusia—dan juga semua pekerja di Pondok Pesantren As-Sihran, di Masjid As-Sihran. Sebelumnya Kiyai Ibbas dan Gus Mus juga telah mengumpulkan seluruh santri dari golongan jin.

Kepada seluruh santri golongan jin, Gus Mus menjelaskan pada apa yang sebenarnya terjadi, Kiyai Ibbas menyuruh Gus Mus agar meminta maaf kepada seluruh santri dari golongan jin, atas perilaku Gus Fuad terhadap salah satu santriwati jin. Golongan Santri jin pun terpecah menjadi dua. Ada yang berpihak pada Nasyisya dan menyatakan untuk ikut membalas dendam karena salah satu teman satu golongan mereka telah disiksa serta dibunuh. Sementara sebagian lagi membela Nasyisya, tapi menyatakan diri untuk membantu Gus Mus bila ada serangan dari keluarga besar Nasyisya.

Kepada kami semua juga Gus Mus menceritakan fakta yang sebenarnya. Kiyai Ibbas meminta kepada kami semua dan seluruh keluarga Gus Mus agar tetap tinggal di dalam masjid, karena Masjid As-Sihran telah di pagari Kiyai Ibbas dengan pagar gaib.

“Apa yang diperbuat Fuad sudah sangat Fatal. Seharusnya dia meminta maaf serta mengakui kesalahan pada keluarga Nasyisya dan menawarkan perdamaian. Bukannya mencari pembelaan dan balik menyalahkan Nasyisya. Perempuan menuntut tanggung jawab ya wajar saja. Bukannya malah marah dan bertindak kasar. Kalian tahu tidak siapa Nasyisya sebenarnya?” kata Kiyai Ibbas di depan kami semua.

Aku refleks menggeleng, begitu juga dengan Gus Reksa dan Gus Furqon. Gus Mus sendiri bergeming bak manusia patung yang terpaku oleh kutukan.

“Siapa memangnya, Kek?” Hanya Gus Fatan yang berani bertanya pada kakeknya.

“Nasyisya itu calon ratu penguasa kerajaan Jin di Bagdad. Ia yang di daulat akan menggantikan ayahnya.”

Semua serempak mengucapkan “Oh,” mendengar penjelasan Kiyai Ibbas. Aku melihat wajah Gus Mus pucat pasi, mungkin Gus Mus sadar telah melakukan kesalahan besar.

“Besok kalau mereka datang lagi, kau dan Ayu harus minta maaf, Fuad juga harus minta maaf pada keluarga Nasyisya. Semoga mereka masih bisa kita ajak berdamai, tapi bila tidak, apa boleh buat. Kita terpaksa berperang.” Kata Kyai Ibbas.

Aku melihat rona muka Kyai Ibbas merah padam, ada luapan emosi yang ditahan oleh Kyai yang umurnya memasuki sembilan puluh tahun itu.

“Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang, Bi?” bisik Gus Mus, lemah. Meski suaranya pelan aku masih bisa mendengarnya, sebab aku duduk tak jauh dari Kyai Ibbas.

“Mempersiapkan diri pada apa pun resiko yang akan kalian terima nanti,” tegas Kyai Ibbas.

Gus Mus menghela napas. Tak banyak bicara, hanya diam, menunduk seakan menyembunyikan keresahannya.

Malam ini kami semua seluruhnya berkumpul di masjid. Berjaga-jaga, khawatir ada serangan gaib. Kyai Ibbas mengajak semua santri untuk mengaji. Santri dari golongan jin Islam yang berada dipihak Gus Mus ikut bergabung, sementara santri yang berada di kubu Nasyisya memilih tetap berada di asrama masing-masing sambil menunggu apa yang akan terjadi.

“Kepada seluruh santri senior yang jago silat, Kakek minta tolong bantuannya ya, semoga kita masih bisa mempertahankan pesantren ini.” Kyai Ibbas menatap kami satu persatu.

“Lek Selamet bisa silat?” tanya Gus Furqon yang duduk di sebelah kananku, sedikit berbisik.

Aku menggeleng, “Nggak bisa, Gus. Dulu saya pernah diajarkan ayah saya, tapi belum lama saya belajar ayah saya meninggal kena korban gempa, ketika menyelamatkan ibu saya yang tertimpa bangunan rumah,” bisikku.

Lihat selengkapnya