Saksi Bisu Misteri As-Sihran

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #13

13. Pengkhianatan Pakde Karso

Setiap malam yang kami lalui akhir-akhir ini terasa sangat menegangkan dan menyeramkan. Design eksterior Pesantren As-Sihran yang indah, mewah dan terang benderang, kini persis seperti sebuah pesantren kosong yang tak terurus. Suasana malam di Pesantren As-Sihran menjadi gelap dan sepi.

Baku hantam antara para guru dan santri senior dengan pasukan jin, telah merusak keindahan tempat ini. Lampu-lampu taman pecah, pohon-pohon kurma tumbang, bunga-bunga dan bangku-bangku taman hancur. Aroma kematian terasa menyengat hidung.

Alhamduliilah-nya selama tujuh hari perang ini terjadii, belum ada satu pun korban dari pesantren yang meninggal, kalau yang luka-luka mah pasti banyak. Belum ada yang kalah, belum juga ada yang menang.

Malam ini, sehabis mengambilkan pakaian serta makanan untuk para santri dan keluarga Gus Mus, kami mendengar percakapan rahasia Pakde Karso dengan pemimpin para jin.

“Laki-laki itu memang bangsat, ternyata dia mata-mata musuh. Dan ternyata dia juga yang telah membocorkan rahasia kematian Nasyisya, dia memberitahu di mana keberadaan Gus Fuad!” desis Gus Reksa. Matanya menatap tajam ke dalam ruang keluarga dengan rahang menegang dan gigi bergemeletuk.

“Bila tak mendengar sendiri apa yang mereka bicarakan, rasanya saya nggak percaya kalau Pakde Karso mengkhianati Gus Mus, padahal dia dan Pakde Udin orang kepercayaan Gus Mus,” sahut Gus Furqon.

“Jangan kuat-kuat ngomongnya Fur.” Mata Gus Reksa melotot pada Gus Fuqon. Sementara Gus Furqon cuma cengar-cengir saja sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan kanan.

“Dari awal saya juga sudah curiga. Dia suka mencuri dengar pembicaraan kita dan mengikuti ke mana pun kita berada.” Bisikanku semakin membuat Gus Reksa menggeram marah.

“Sabar dulu, Re, jangan terpancing, jangan sampai memperkeruh masalah.” Gus Furqon memang laki-laki yang paling sabar dan sedikit riak emosi, tapi kalau sudah marah mengerikan.

“Harusnya santri-santri tidak diikut sertakan dalam pembalasan dendam ini, harusnya yang mereka serang kan cuma keluarga Gus Mus, bukan kita. Kecuali kalau yang melakukan pembunuhan itu adalah salah satu santri.” Aku mengangguk setuju dengan apa yang diucapkan Gus Furqon. “Di sisi lain, Gus Mus juga salah, kenapa coba harus menyembunyikan kematian Nasyisya dan menyuruk Lek Selamet untuk bungkam. Gus Mus nggak sadar kalau beliau sedang mengulangi sejarahnya dulu.” Pernyataan Ahqam membuat kami bertiga terkejut bukan main.

“Memangnya dulu pernah ada cerita serupa?” tanya Gus Reksa, orang yang paling punya tingkat penasaran yang tinggi melebihi aku. Ahqam tidak menjawab, ia hanya mengangguk kecil, tapi ekspresi wajahnya tampak sangat serius.

“Ceritanya jangan di sini, bisa ketahuan kita. Nanti saja,” cegah Gus Furqon. Kami bertiga mengangguk setuju.

“Masalahnya, setiap orang yang berada di ponpes ini, mau dia santri atau pun karyawan ponpes, sudah dianggap keluarga besar. Makanya mau bagaimana pun, kita terpaksa harus ikut andil juga,” ujar Gus Reksa.

“Iya benar, terlebih yang mendanai pembangunan pesantren ini adalah orang tua Nasyisya,” geram Gus Fuqon.

“Gus Mus di mana sekarang, Gus?” bisik Ahqam. Menatap Reksa penasaran.

“Itu masalahnya, dari tadi saya belum bisa masuk ke dalam rumah. Rumah ini sudah di kuasai oleh mereka,” bisik Gus Reksa.

“Iya. Tadi saya mau ambil makanan dan minum juga nggak bisa masuk, untuk di dapur umum masih lengkap makanan dan minuman. Sebelum mereka kuasai sudah saya bawa semua ke masjid,” imbuh Gus Furqon.

“Pakde Karso sebenarnya bukan golongan jin muslim, dia pengkhianat. Saya sempat kaget, ketika masuk sini ada dia. Tapi saya pikir, mungkin dia sudah insyaf dan menjadi mualaf,” sambung Ahqam.

Aku percaya sama perkataan Ahqam, soalnya dia bangsa jin juga, diakui atau tidak jin-jin pasti punya daya pandang yang lebih jauh dari pada mata manusia.

Lihat selengkapnya