Saksi Bisu Misteri As-Sihran

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #14

14. Serangan Bola Api

Aku menggenggam erat tangan perempuan tua berumur lima puluh dua tahun ini, perempuan yang sudah ku anggap seperti orang tuaku sendiri. Kami berdua berjalan sedikit tergesa-gesa melewati jalan setapak dari teras samping kiri menuju masjid yang berada paling depan sekali, dekat gerbang utama. Kompleks pesantren ini memang sangat luas sekali, butuh waktu lima menit memutar jalan dari halaman samping menuju depan, karena tidak ada jalan dari halaman samping ke masjid.

Seluruh lingkungan halaman di kompleks pesantren ini tampak kacau balau, berantakan dan semua yang tertata rapi hancur. Lampu-lampu taman tak ada yang berfungsi lagi, gelap dan suram sekali suasana malam di pesantren ini.

Langkahku tiba-tiba terhenti saat melihat ada gumpalan sinar merah api dari arah timur. Spontan saja aku berteriak: “Apa itu?”

“Tujuh!” seru Mbok Las sambil menunjuk ke arah bola api yang terbang di langit.

Aku tercenung melihatnya. Aku ingat, Mbah Ngatemi—istri Mbah Harjo—pernah cerita tentang tujuh—semacam santet kiriman yang dikirim melalui bola api, lalu diterbangkan kepada target yang dituju—yang katanya kalau bola api tersebut kita tunjuk, maka dia akan pecah dan santetnya gagal. Tapi bola api yang ini bukannya pecah, tapi terbangnya malah semakin cepat. Terbang mengarah ke rumah Gus Mus.

Aku cepat-cepat menarik tangan Mbok Las, mengajaknya berlari menjauh dari rumah dan mencari perlindungan, sebab posisi kami berdiri berada tak jauh dari samping kanan rumah Gus Mus.

Benar saja. Bola api sebesar bola basket itu jatuh tepat di atas atap rumah Gus Mus. Persis seperti bunyi ledakan bom atom, gelegarnya memekakkan telinga dan membuat bumi bagai terkena gempa. Aku dan Mbok Las cuma bisa berdiri terpaku di bawah pohon kurma dengan lutut sama-sama gemetar. Dalam sekejap mata rumah yang bagai istana itu luluh lantak. Hancur dan hanya menyisakan bagian ruang tamu dan terasnya. Satu bola api jatuh lagi dan kali ini menghancurkan seluruh bagian rumah, tanpa sisa sedikit pun. Kumpulan abu membumbung tinggi mengotori embun malam. Aku mendengar suara teriakan santri-santri yang berada di masjid, serta tangis histeris Gus Fatan. Mbok Las memelukku sambil beristigfar dan menangis.

Belum hilang syok yang kami hadapi, tiba-tiba dari arah yang sama aku melihat dua buah bola api terbang dan meluncur mulus di atas asrama barat dan selatan. Sama seperti yang terjadi pada rumah. Dua asrama mewah itu hancur jadi abu.

Lalu datang lagi dua buah bola api, meluncur ke arah masjid, tapi tiba-tiba bola api itu terlempar lagi ke angkasa dan jatuh tepat di tengah hutan timur. Bola-bola api kecil terbang dengan deras dan jatuh di atas masjid laksana hujan meteor, akan tetapi semua bola api itu berbalik lagi ke angkasa dan jatuh di tengah hutan.

Entah ilmu apa yang dipakai oleh Kyai Ibbas sehingga pagar gaib masjid begitu kokoh dan sulit untuk ditembus. Aku dan Mbok Las hanya bisa diam, kaki kami terpaku, tak bisa bergerak. Kami menjadi saksi bisu tragedi besar ini. Rasa takut yang luar biasa besar, membuat tubuh kami lemas bukan main.

Hujan bola api pun berhenti. Suasana hening, di sela-sela kepanikan dan suara tangis para santri, gema lantunan ayat-ayat suci berkumandang. Aku juga melakukan hal yang sama, membaca doa halimunan yang diajarkan oleh Kyai Ibbas. Tanganku memeluk bahu Mbok Las kuat-kuat, memastikan ia tetap bersamaku walau apa pun yang terjadi. Aku tak mau apa yang terjadi pada ayah dan ibuku terulang lagi, hanya gara-gara aku melepaskan tangan ibu, hingga tubuh hanyut terbawa banjir bandang.

Aku mengedipkan mata beberapa kali, ketika kulihat ada cahaya putih menyelimuti masjid, cahaya yang berlapis-lapis tebalnya dan terang sekali. Aku memandang dengan takjub, hatiku semakin yakin dan semakin kencang pula berzikir. Hanya Tuhan yang akan membantuku.

Selang beberapa menit kemudian datang lagi satu bola api yang lebih besar dari arah yang berbeda, kali ini jatuhnya tepat di atas menara masjid.

Mimpi-mimpiku menjadi nyata. Menara masjid As-Sihran patah menjadi dua dan patahannya hampir saja mengenai tubuhku dan tubuh Mbok Las. Refleks aku mendorong tubuh Mbok Las, mendorongnya kuat-kuat agar jangan sampai tertimpa potongan menara.

“Pergi, Mbok. Menjauh agar tak tertimpa runtuhan menara,” teriakku.

“Sampeyan gimana, Lek?” katanya menangis meraung.

“Ndak usah pikirin saya, Mbok. Selamatkan diri Mbok saja,”

Lihat selengkapnya