Saksi Bisu Misteri As-Sihran

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #15

15. Tabur Tuai

In ahsantum ahsantum li`anfusikum, wa in asa`tum fa lahaa, fa iżaa jaa'a wa'dul-aakhirati liyasuu'u wujuhakum wa liyadkhulul-masjida kamaa dakhaluhu awwala marratiw wa liyatabbiru maa 'alau tatbiiraa. Ayat ini ada dalam Qur’an surat Al-Isra ayat tujuh. Fatan tahu artinya apa?” tanya Kyai Ibbas pada cucunya sendiri.

Gus Fatan diam sebentar, matanya menatap langit-langit ruang tamu rumah Kyai Khalil, seakan ia sedang berpikir keras. Kemudian ia menjentikan jarinya seraya tersenyum. Ia mengulangi bunyi ayat tersebut dan langsung menyebutkan artinya.

“Artinya: Jika berbuat baik, (berarti) kamu telah berbuat baik untuk dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, (kerugian dari kejahatan) itu kembali kepada dirimu sendiri. Apabila datang saat (kerusakan) yang kedua, (Kami bangkitkan musuhmu) untuk menyuramkan wajahmu, untuk memasuki masjid (Baitulmaqdis) sebagaimana memasukinya ketika pertama kali, dan untuk membinasakan apa saja yang mereka kuasai,” katanya lancar tanpa hambatan.

Kyai Ibbas dan Kyai Khalil mengusap kepala Fatan bersama senyum yang terkulum. Setelah melewati malam yang sangat panjang, menegangkan dan menyeramkan, akhirnya kami semua bertemu dengan pagi yang segar, angin pedesaan yang sejuk dan sinar matahari yang menyapa ramah dan hangat. Suasana normal, tidak seperti suasana di dalam pesantren yang agak aneh menurutku.

Semua bertepuk tangan mendengar suara Fatan yang tegas dan lugas saat membacakan ayat tersebut dengan benar.

“Itu namanya hukum tabur tuai. Barang siapa yang menanam kebaikan, maka ia kebaikan pula yang akan ia tabur dan begitu juga sebaliknya. Jadi itu adalah salah satu hikmah dari peristiwa tragis yang kita alami. Kita semua akan bertanggung jawab dengan perkataan dan perbuatan kita masing-masing. Hikmah lainnya, jangan pernah menyimpan kebohongan dalam hidup. Serapat apa pun kita menyimpan bangkai, lama-lama bau busuknya akan menguar juga dan tercium oleh banyak orang. Banyak hikmah dari kejadian yang kita alami selama beberapa hari kemarin,” papar Kyai Ibbas.

“Bukan hanya manusia saja yang tinggal di bumi ini, tetapi juga ada makhluk lain, salah satunya adalah bangsa jin. Inilah penting sikap kehati-hatian dan kewaspadaan, untuk saling menjaga dan tidak mengganggu satu sama lain. Jangan membunuh hewan sembarangan, apa pun jenis hewannya, kecuali apabila hewan itu menyerang kita dan mencelakakan kita, karena bisa jadi hewan-hewan tersebut adalah perwujudan dari bangsa jin. Bangsa jin juga ada yang muslim, mereka juga sama seperti kita, beribadah, makan, tidur dan berkeluarga. Jadi adab kita terhadap sesama itu harus dijaga agar kejadian seperti ini lagi. Itu yang namanya hablum minannas.

“Kyai. Apa benar pesantren gaib itu ada?” Pertanyaan Agung, membuat Ahqam tertawa, santri jin yang lain juga ikut tertawa.

“Tanya Ahqam tuh. Apakah ada pesantren gaib,” tunjuk Kyai Ibbas, Ahqam tertawa saja. Sementara Agung mengernyitkan dahi bingung, masalahnya ia tidak tahu siapa Ahqam karena tak bisa melihat sosok Ahqam. “Sebetulnya para jin nyantrinya ya ... Di pesantren manusia. Yang gaib itu merekanya, hanya saja tak semua pesantren menerima santri gaib,” sambung Kyai Ibbas.

“Dulu di pesantren tempat saya dan Kyai Ibbas belajar di Tasikmalaya, santrinya ada banyak yang dari golongan jin. Iya kan, Bas? Masih ingat nggak panjenengan?” tanya Kyai Khalil.

“Masih lah. Kenangan nyantri yang tak pernah lepas dari ingatan. Dulu Kakek pernah salat malam sendirian di masjid, kaget bukan main pas selesai baca alfatihah, tiba-tiba di belakang ada yang nyahut amin. Padahal Kakek baca alfatihahnya dengan suara pelan. Pernah juga lagi salat tahajud juga, tiba-tiba ada yang menepuk bahu, ada yang mau berjamaah. Pas salam, menoleh ke belakang nggak ada orang.” Aku dan semuanya terdiam mendengar cerita Kyai Ibbas.

“Kalau Kyai Ibbas mah pemberani. Kalau saya penakut. Sejak salat malam selalu diikuti santri jin, sejak itu nggak berani lagi salat di masjid,” kata Kyai Khalil sambil terbahak-bahak. Kami semua pun ikut tertawa, juga santri-santri jin.

“Makanya sejak itu Kakek dan Kyai Ibbas bersikap lebih hati-hati lagi, dan nggak mau membunuh sembarangan,” sambung kakek guru.

Aku dan semua santri yang mendengar mengangguk dan merenungi semua yang barusan kami lewati. Sekarang aku benar-benar paham atas peringatan Mbah Harjo kepadaku sebelum aku berangkat ke Desa Sido Sumbing.

“Kyai boleh saya bertanya?” Gus Reksa menatap Kyai Ibbas.

“Silakan, Gus Reksa.”

“Kyai. Kenapa Gus Mus menyuruh kami untuk berendam di air, padahal kami datang ingin belajar mengaji dan mengkaji kitab? Tapi Gus Mus tidak pernah menjelaskan pertanyaan ini.” Akhirnya ia tanyakan juga pertanyaan itu, aku juga sebetulnya penasaran tentang ini.

“Laku Kungkum. Ini adalah ajaran dari Sunan Kalijaga, yang bermakna menyucikan diri. Jadi untuk membersihkan diri, sebelum belajar para santri harus membersihkan dirinya dulu dengan cara berendam di dalam air. Kalau zaman Sunan Kalijaga dulu, berendamnya selama empat puluh hari.”

Aku dan Gus Reksa mengangguk-angguk mendengar penjelasan Kyai Ibbas.

“Kyai. Banyak sekali rasanya pertanyaan dalam kepala saya ini tentang ajaran Gus Mus dan apa yang sebenarnya terjadi? Karena kata guru saya dulu, Pesantren As-Sihran dulunya bernama Pesantren Al-Hudayah, guru besarnya Kyai Ibbas. Guru saya menitahkan saya untuk belajar tauhid pada Kyai Ibbas, tapi ketika sampai di sini, saya tak menemukan Kyai dan nama pesantren sudah di ubah.” Aku tercengang melihat keberanian Gus Reksa bertanya hal yang teramat sensitif itu.

Kyai Ibbas tersenyum arif, beliau mengatur napas sambil mengusap-usap janggutnya.

“Dulu pesantren itu memang saya yang membangun dan saya beri nama Al-Hudayah, mengambil nama istri saya Hidayati. Selain mengajar santri manusia, pesantren Al-Hudayah juga mendidik santri dari golongan jin. Ahqam adalah murid salah satu murid saya yang sampai sekarang bertahan, karena saya yang memintanya bertahan sekaligus mengawasi Gus Mus. Singkat cerita, setelah istri meninggal dan saya juga merasa sudah sangat lelah, saya memilih beruzlah di Gunung Sumbing dan menyuruh Gus Hasby untuk meneruskan, tapi karena keserakahan, Muslich tidak terima adiknya mendapatkan warisan pesantren, sementara dia hanya mendapatkan warisan sawah di belakang pesantren. Kenapa saya menyerahkan pesantren pada Gus Hasby bukan pada Gus Mus, sebab Gus Hasby memang lebih pantas dan lebih berilmu. Di banding kakaknya yang cuma bisa foya-foya. Kakaknya yang pengalah dan tak mau ribut akhirnya memilih pindah ke kota Jakarta bersama istri dan anak-anaknya, lalu menyerahkan pesantren pada adiknya. Tapi saat ini Gus Hasby dan istrinya beserta anak-anaknya tidak pernah pulang lagi ke kampung.” Mata Kyai Ibbas tampak berkaca-kaca, beliau menunduk sembari menyusut air mata dengan ujung serbannya.

Aku melihat kerinduan yang teramat dalam pada laki-laki yang sudah sepuh itu. Mungkin merindukan putra sulungnya.

Lihat selengkapnya