Saksi Terakhir

Oleh: DENI WIJAYA

Blurb

"Aku hanya ingin menyampaikan berita perdamaian kepada seluruh dunia. Aku ingin menyebarkan cinta untuk kemanusiaan." - Ita Fadia.

"Kalian bisa membungkamku dengan membunuhku tapi tidak dengan sejarah. Waktu tetap akan bersaksi untuk sebuah kebenaran yang terkebiri." - Marthadinata

Keruntuhan Soeharto menyisakan kenangan pahit. Demo mahasiswa dan aksi turun ke jalan Mei 1998 berubah menjadi kerusuhan rasial di ibukota Jakarta. Kematian empat mahasiswa Universitas Trisakti, hingga ratusan korban kerusuhan massal adalah bagian dari salah satu sejarah terkelam bangsa ini. Setelah 23 tahun berlalu. Jelas semuanya akan terus menyisakan luka mendalam bagi negeri.
Namaku Ita Fadia, panggil saja Fadia. Saat ini aku tinggal dan menetap di Jakarta. Profesiku sekarang adalah seorang penulis. Tapi banyak orang yang bilang aku adalah seorang aktivis kemanusiaan. Boleh juga tapi aku lebih senang jika dianggap sebagai seorang penulis saja. Hampir semua buku-buku karanganku merupakan hasil studi tentang manusia seperti menyoal tentang perbedaan kelas atau strata sosial, prostitusi, tingkatan perkembangan, tragedi kemanusiaan dan perang. Pun berbagai krisis dalam kehidupan manusia dewasa dan tentang orang-orang yang sukses mengatasi krisis itu. Aku hanya ingin menyampaikan berita perdamaian kepada seluruh dunia. Aku ingin menyebarkan cinta untuk kemanusiaan.
Dua puluh tiga tahun yang lalu, aku bertemu dengan salah seorang gadis keturunan etnis Tionghoa Indonesia yang bernama Marthadinata, panggil saja Martha. Entah bagaimana awalnya kedekatan kami terjalin, yang kutahu saat itu dia merupakan salah satu korban perkosaan saat terjadi aksi kerusuhan Mei 1998. Dan saat itu dia masih berstatus sebagai siswa kelas 3 SMA Paskalis Jakarta Pusat. Kedekatan kami pun terjalin semakin erat saat dia bersamaku tergabung dalam organisasi kemanusiaan untuk perempuan. Suka duka kami lewati bersama.
Namun takdir jua yang harus memisahkan kami dengan begitu cepat. Menjelang keberangkatannya ke New York USA untuk menjadi saksi di PBB atas tragedi kemanusiaan dalam kerusuhan Mei 1998, Martha harus pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Tepatnya pada tanggal 4 Oktober 1998, dia terbunuh di rumahnya. Hingga saat ini kematiannya masih menyisakan teka-teki misterius yang belum terpecahkan. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Martha, pertanyaan itu terus bergelayut dalam kepalaku.
Di sini aku ingin berbagi cerita, bagaimana kisah persahabatan kami hingga rentetan peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Jakarta harus memisahkan kami untuk selama-lamanya. Aku sendiri pun juga tidak tahu dan tidak pernah sekali pun terpikirkan olehku. Semua tidak terencana dan mengalir begitu saja.
Dan entah kenapa pula, aku merasa masih ada tempat di dalam hatiku dan di dalam tulisanku untuk perempuan itu. Segudang pertanyaan memenuhi kepalaku. Terlepas dari kerumitan pikiranku untuk menerkanya, aku yakin pastilah dia mengalami trauma dan depresi yang berat. Dan dia berusaha untuk kembali mengingat semuanya termasuk tentang peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya.
"Martha, ini bukan holocaust, semua sudah berakhir, sekarang kamu adalah bagian dari kami. Kami semua mencintaimu!" ucapku untuk meyakinkannya meski dia tidak begitu merespon tapi aku yakin dia tahu dengan apa yang kuucapkan itu. Dan baru saat itulah kulihat ada air mata membasahi pipinya. Perempuan itu akhirnya menangis dalam pelukanku.
































Lihat selengkapnya