SAKURA DI TELAWANG

ni ketut yuni suastini
Chapter #1

KISAH YANG TERTINGGAL NAMUN TAK PERNAH DILUPAKAN

Untuk rahim-rahim tak berdosa yang terus berjuang, meski jalan menuju keadilan masih sangat panjang

 

Jogjakarta, 1995

Ada yang sering datang dalam mimpinya belakangan ini. Menelusup seperti kabut, dan menghempaskannya karam dalam kesedihan yang muram. Luka-luka yang diperam dalam diam, kini menjelma lidah api membakar dinding ingatan. Seperti bara yang tetap menyala, serupa lara yang enggan sirna, kenangan itu mendedah kembali jejak masa lalunya yang kelam.

Di sepanjang hidupnya, ia belajar melarung masa lalu. Namun, ada masanya datang waktu untuk mengungkap apa yang dibungkam oleh pilu.

***

Tidak banyak yang berubah dari bangunan bekas klinik kesehatan di Jalan Penembahan. Mata tua Padma langsung mengenalinya saat Menur dan kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Lustitia membawanya datang ke tempat ini. Meski tampak usang dan tak terawat, bentuk bangunannya masih sama. Seluruh dinding bangunan yang dulu berwarna putih, kini tampak kusam dan menghitam dipenuhi kerak lumut. Padma ingat, dulu ada barisan pohon cemara jarum yang berderet rapi di sepanjang jalan masuk sampai depan teras utama klinik. Pohon mangga arum manis yang dulu ada di tengah-tengah halaman telah berganti rumput gajah dan ilalang setinggi pinggang orang dewasa. Mungkin telah lama pohon itu ditebang. Atau, mungkin juga pohon itu pelan-pelan mati meranggas setelah gedung ini ditinggalkan pemiliknya. Dibiarkan lapuk begitu saja seperti kisah-kisah suram yang pernah tersimpan didalamnya. Perlahan lenyap dalam senyap digilas jaman yang terus berderap.

Jendela kayu tampak buram. Debu tebal berlapis-lapis menempel di permukaannya. Pintu ruangan berbentuk sayap yang dulu berfungsi sebagai ruang periksa kini tinggal sebelah, itu pun bentuknya sudah miring nyaris lepas. Catnya yang dulu berwarna hijau tua, kini telah mengelupas hingga tak tampak lagi warna aslinya. Walaupun begitu, Padma dapat mengingat dengan jelas wajah-wajah lugu gadis-gadis muda yang keluar masuk ruangan itu. Kala itu mereka belum menyadari, bahwa sejak melangkahkan kaki keluar ruangan, seluruh masa depan dan cahaya hidup mereka telah direnggut dan dipaksa padam.

Selapis demi selapis kenangan datang menyerbu ingatannya. Padma merasa pelupuk matanya panas dan dadanya sesak. Ia mengigit bibir menahan tangis yang nyaris lolos dari tenggorokannya. Gemetar ujung telunjuk Padma yang pucat dan keriput menunjuk ke arah pintu kamar. “Di sana. Di dalam ruangan itu, kami semua diminta untuk menanggalkan seluruh pakaian.”  

Pelan-pelan Padma mendekati ruangan itu. Seorang laki-laki dari LBH mendorong sebelah daun pintu berdebu dengan hati-hati. Terdengar rengekan malas engsel berkarat. Bau apek, pesing kencing tikus, aroma besi berkarat, udara lembab, dan debu seketika berebut masuk menyerbu hidung hingga Padma terbatuk-batuk. Sarang laba-laba menjuntai. Dua ekor cicak terbirit-birit bersembunyi masuk ke plafon yang berlubang besar, sekumpulan kecoa menatap curiga pada manusia yang tiba-tiba datang mengusik ketenteraman hidupnya. Tikus-tikus mencicit panik berlarian menyelamatkan diri.

Seraya membekap mulutnya dengan sebelah tangan, Padma menyipitkan mata. Ia mengibaskan tangannya yang lain di depan wajah untuk menghalau debu. Lamat-lamat, mata Padma mulai dapat melihat pemandangan dalam ruangan yang sangat berantakan. Seakan pernah ada sebuah badai besar yang telah memporak-porandakan tempat ini.

Peralatan medis kuno yang telah berkarat, deretan obat yang sudah kadaluarsa, perban, buku catatan, dan kapas berserakan di lantai. Meja dan kursi patah, kaca lemari tempat menyimpan obat pecah, menyisakan secuil potongan kecil berbentuk segitiga runcing yang masih berdiri. Sebuah dipan besi dengan kasur kapuk dipenuhi tungau teronggok di sudut ruangan.

Padma berjongkok memungut buku usang yang tergeletak di lantai. Oktober 1985, itu bulan terakhir yang tertera di buku besar catatan keluar masuk barang. Artinya sudah sepuluh tahun tempat ini ditinggalkan dalam keadaan seperti kapal pecah. Padma kembali berdiri. Ia terbatuk keras hingga matanya berair. Dengan sigap, Menur yang berdiri di samping Padma memakaikan masker pada wanita berusia 68 tahun itu.

Padma mengenal gadis manis berlesung pipi itu sekitar delapan tahun lalu. Saat itu Menur sedang menempuh pendidikan sarjana di salah satu universitas bergengsi di Brisbane. Mereka sama-sama datang ke pertunjukan seniman Indonesia yang diundang tampil ke Brisbane. Obrolan yang berlangsung hangat dalam sekejap membuat kedua perempuan beda generasi itu langsung akrab. Padma cukup takjub menemukan anak muda seperti Menur sangat fasih bercerita tentang wayang. Sejak saat itu, mengunjungi café kecil Padma di kawasan South Bank, Brisbane, menjadi agenda wajib Menur setiap akhir pekan.

Lihat selengkapnya