SAKURA DI TELAWANG

ni ketut yuni suastini
Chapter #2

PADMA

Semarang, Jawa Tengah, 1935

Itu adalah tahun 1935. Konon, tahun yang dinaungi shio babi kayu adalah tahun yang penuh kesuksesan. Babah Liong, lelaki berbadan besar pemilik rumah potong hewan di pasar, mengatakannya saat membagi-bagikan amplop merah kecil dengan tulisan huruf-huruf Cina pada semua orang yang lewat di depan rumahnya. Perut Babah Liong yang lebar berguncang-guncang saat ia tertawa. Babah Liong yang sehari-hari biasanya hanya mengenakan celana komprang, bertelanjang dada, dan menjagal daging, hari itu mengenakan baju changsan berwarna merah. Rumahnya pun dihiasi lampion-lampion berwarna merah. Aku sangat senang saat Babah Liong juga memberiku sebuah amplop. Meski tak paham artinya, tapi lembar uang dalam amplop itu dapat membantu nenekku membeli beras.

Kala itu usiaku baru delapan tahun dan belum bisa baca tulis. Badanku sangat kurus. Kulit mukaku legam terbakar sinar matahari. Di rambutku yang kering dan ujung-ujungnya bercabang itu, kutu-kutu gemuk berwarna hitam berkembang biak dengan nyaman. Ujung kuku jari tangan dan kakiku kehitaman. Di sela-sela jari kakiku tumbuh koreng yang mengembung dipenuhi nanah. Tapi, aku bukanlah satu-satunya anak yang berpenampilan kumal dan lusuh di masa itu. Kawan-kawan sepermainanku yang rata-rata anak buruh pribumi miskin juga memiliki penampilan serupa denganku.

Walau penampilanku sangat dekil, rupanya ada seseorang yang diam-diam selalu memperhatikanku. Dia adalah Nyai Sardina, perempuan cantik pemilik rumah bordir di belakang pasar kabupaten. Bila ada kesempatan, Nyai Sardina selalu berusaha mendekatiku. 

“Jika kuperhatikan, sesungguhnya cucumu ini manis juga, Mbah Min,” komentar Nyai Sardina.

Sepasang mata Nyai Sardina yang tajam sering berlama-lama memandangku. Tatapannya menyusuri setiap inci tubuhku seolah-olah ia tengah menakar barang. Tidak ada yang tahu dari mana Nyai Sardina berasal. Simpang siur kabar tentang asal-usulnya bersliweran. Ada yang menyebut Nyai Sardina adalah bekas gundik seorang pejabat Belanda di Batavia. Ada pula yang menyebut Nyai Sardina selir kesekian dari seorang bangsawan kaya. Yang jelas, tidak ada yang berani mengusik perempuan berwajah keras yang memiliki banyak centeng itu. Di balik senyum yang selalu tersungging dibibirnya, tersimpan ribuan tipu muslihat untuk menjerat gadis-gadis muda.

“Aku tak berdusta, Mbah. Cucumu ini memiliki tulang pipi yang bagus dan sepasang mata yang sangat indah. Dengan sedikit polesan saja ia tentu menjelma jadi gadis jelita idaman para lelaki.” Nyai Sardina mengibaskan kipas kertas yang selalu dibawanya. Dengan gerakan gemulai ia memutar tubuh mengitariku. “Dan, ah ya, mata itulah daya tariknya. Sorotnya menandakan ia anak yang cerdas! Seperti mata anak priayi saja.” Nyai Sardina menebar rayuan tanpa melepaskan tatapan matanya dari mataku. 

Njih, Nyai. Terima kasih.” Mbah Min-nenekku-hanya menjawab dengan anggukan singkat. Dari sikapnya jelas Mbah Min tidak suka dengan cara Nyai Sardina menatapku. Mbah Min juga melarangku untuk dekat-dekat dengan Nyai Sardina serta perempuan-perempuan yang tinggal dalam bangunan rumah panjang miliknya. Suatu ketika, secara terang-terangan Nyai Sardina mengungkapkan keinginan mengambilku untuk ikut bekerja dengannya.

“Meski masih kecil, tapi kulihat Padma sangat cekatan, Mbah Min. Ia pasti akan sangat berguna untuk bantu-bantu di dapur. Aku janji kau masih bisa menjenguknya setiap hari. Lagi pula, kau sudah tua dan sudah saatnya beristirahat, Mbah. Kujamin upah yang kuberikan pada Padma jumlahnya cukup untuk hidupmu.” Nyai Sardina mulai memasang perangkap. Ia memamerkan beberapa lembar uang di depan Mbah Min. Kurasakan raut wajah Mbah Min berubah tegang. Lamat-lamat aku melihat buku-buku tangannya yang terkepal memutih pertanda Mbah Min tengah menahan marah.

“Terima kasih atas niat baik Nyai membantu saya. Tapi, saya tidak ingin berpisah dengan Padma. Dia satu-satunya cucu saya. Bersama Padma bagi saya sudah sangat membahagiakan. Tidak ada yang saya inginkan lagi,” tolak Mbah Min secara halus. Mbah Min segera merapikan dagangannya dan menyunggi nampan kayu. Matanya berkedip-kedip memberi isyarat agar aku segera mengikuti.

Usia Mbah Min sudah hampir tujuh puluh. Seluruh rambutnya telah diulas warna putih. Aku mengenangnya sebagai sosok pekerja keras yang tak pernah mengeluh. Untuk menyambung hidup kami berdua, Mbah Min berkeliling dari rumah ke rumah menjajakan penganan seperti cenil, bubur merah, orog-orog, dan nagasari buatannya. Mbah Min menyunggi sebagian dagangan di atas kepalanya, sedangkan aku membawa sisanya dalam keranjang anyaman yang lebih kecil.

Pagi-pagi buta saat aku masih bergelung dalam selimut kain jarik, Mbah Min telah bangun untuk menyiapkan dagangan. Biasanya, aku terbangun oleh irama kelapa yang beradu dengan permukaan papan parutan. Aku turut membantu mengambil air, membungkus nagasari dengan daun pisang, atau mengaduk adonan. Walau tubuhku kecil, tapi tenagaku cukup kuat untuk anak seusiaku. Bantuanku tentu saja sangat meringankan beban Mbah Min. Ia akan memberiku cuilan kecil gula merah yang legit sebagai upahnya.

Kami hanya tinggal berdua di pondok kecil berdinding gedek yang atapnya terbuat dari anyaman ijuk. Dua tiang penyangganya miring hingga pondok kami terlihat nyaris rubuh. Pintunya terbuat dari bilah-bilah papan. Di bagian bawah pintu terdapat lubang yang cukup besar. Lubang itu kami tutup dengan anyaman daun kelapa kering. Kami tidak pernah mengunci pintu saat keluar rumah. Tidak akan ada orang yang cukup bodoh datang mencuri ke pondok kami, sebab kami tak punya barang-barang berharga.

Hanya ada satu ruangan yang berfungsi sebagai dapur dan juga tempat tidur. Ibuku telah lama meninggal. Aku bahkan tidak sempat melihat wajahnya. Menurut cerita para tetangga, ibuku seorang perempuan yang sangat cantik. Adapun tentang keberadaan ayahku, aku tidak pernah menanyakannya. Meski umurku masih kecil, aku cukup tahu diri untuk tidak menanyakan hal-hal yang membuat mata Mbah Min berkabut sedih.

Walau tidak sekolah, aku mengetahui cukup banyak peristiwa. Meski sesungguhnya tak ada sedikit pun niatku untuk menguping, namun percakapan para pelanggan yang tak sengaja kudengar menjadi sumber informasi bagiku.

“Oh, Eropa geger oleh pendaratan pesawat Walraven-2 buatan Hindia Belanda di Bandara Schiphol.” Komentar Tuan Daalmans tanpa mengalihkan pandangan dari koran yang dibacanya. Seperti biasa terdengar gerundelan tak jelas dari bibirnya. Lelaki berkumis bapang itu memang selalu menggerutu. Ia duduk di kursi anyaman rotan dengan secangkir teh mengepul di atas meja.

Is dat waar?” Nyonya Daalmans yang sedang memilih kue dalam keranjangku berpaling menatap suaminya. Aku dan Mbah Min duduk bersimpuh di lantai undakan teras. Seorang jongos tengah mencabuti rumput di halaman.

Ja.” Tuan Daalmans menjawab singkat. Nyonya Daalmans hanya mengedikkan bahu dan kembali meneruskan memilih kue dalam keranjang dan memindahkan ke atas piring porselen. 

“Teknisinya dari Luchtvaart Afdelling. Namanya Achmad bin Talim, orang pribumi,” Tuan Daalmans mencibir. Ada nada tidak suka dalam bicaranya. Sepanjang ingatanku, lelaki kurus berkacamata tebal yang selalu tampil rapi itu memang tidak pernah ramah pada kaum pribumi. Sikap yang sungguh ironis mengingat ibu kandung Tuan Daalmans adalah orang pribumi.

Lihat selengkapnya