Aku meraung sejadi-jadinya. Air mata bercampur ingus membasahi wajahku. Kudekap jasad Mbah Min erat. Mak Diyem segera menarikku. Katanya, tidak baik bila jenasah terkena air mata. Satu-satunya keluarga yang kumiliki kini pergi meninggalkanku. Ingin rasanya aku ikut dengan Mbah Min. Sekarang aku tidak punya siapa-siapa lagi.
Pak Kusno berlari memberitahu warga desa. Dalam sekejap berita kematian Mbah Min telah menyebar. Warga desa berdatangan membantu persiapan pemakaman. Mereka sangat prihatin melihat nasibku yang kini sebatang kara dalam usia anak-anak. Namun mereka juga tidak mampu berbuat apa-apa untuk membantuku. Hidup mereka juga tidak lebih baik dariku. Sawah dan ladang yang harusnya menghasilkan sumber-sumber makanan banyak yang terbengkalai dan ditumbuhi tanaman liar. Bukan lantaran kemarau panjang yang terlalu lama bertandang, tetapi karena para suami dan laki-laki harus bekerja di kebun-kebun milik Belanda dengan upah yang sangat murah. Kalaupun ada yang masih digarap jumlahnya sangat sedikit dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Setelah pemakaman Mbah Min yang sangat sederhana, satu per satu warga mulai meninggalkan pondokku. Hanya Mak Diyem dan suaminya yang tetap tinggal untuk menemaniku. Hingga hari ke sepuluh setelah kematian Mbah Min, Mak Diyem selalu menyempatkan datang menjenguk dan membawakanku makanan. Pasangan suami istri itu tampak sangat kasihan padaku. Tapi mengangkatku sebagai anak juga tidak mungkin sebab mereka telah memiliki tujuh orang anak yang harus diberi makan. Dua belas hari setelah kematian Mbah Min, Mbah Kromo, lelaki yang dituakan di desaku datang bersama Mak Diyem dan Pak Kusno. Mereka mengajakku berbicara serius.
Malam perlahan merambat turun. Hitam menyelimuti desa. Pelita-pelita mulai dinyalakan. Mak Diyem membantu menyalakan lampu templok yang diletakkan di atas meja kayu kecil. Kami berempat duduk di atas balai-balai bambu yang sekaligus jadi tempat tidurku. Hening tak bergeming. Sesekali bayangan kami bergoyang oleh embusan angin yang menerobos dari bawah pintu. Aku menggigil.
“Bagaimana keadaanmu, Nduk?” Mbah Kromo menatapku. Ada aliran dingin menjalari tengkukku saat mataku bersitatap dengan mata Mbah Kromo. Buru-buru aku menundukkan kepala. Kata orang, usia Mbah Kromo sudah hampir seratus tahun. Tapi tubuhnya masih terlihat sehat. Sehari-hari Mbah Kromo selalu mengenakan ikat kepala batik dan pakaian hitam-hitam. Ia sering keluar masuk hutan dan pergi ke tempat-tempat angker. Banyak warga desa yang selalu datang meminta petunjuk pada Mbah Kromo. Konon, Mbah Kromo memiliki kesaktian. Ia bisa berbicara dengan mahluk halus dan juga mendatangkan hujan.
“Baik, Mbah.”
“Ada hal penting yang ingin kami bicarakan denganmu, Padma. Sesungguhnya Mbahmu pernah mewanti-wanti agar kami tidak memberitahumu rahasia ini,” Mbah Kromo berhenti sejenak. Ia menghela napas dan menatap Mak Diyem serta Pak Kusno bergantian. Mak Diyem dan Pak Kusno serentak mengangguk pelan. Melihat keanehan sikap mereka aku makin penasaran. Kutatap lantai tanah pondokku dengan perasaan tak karuan. Rahasia apa gerangan yang ingin disembunyikan Mbah Min dariku?
“Tapi, setelah melihat keadaanmu sekarang yang sebatang kara dan terlebih rahasia ini menyangkut asal-usulmu, menurutku kau perlu tahu, Nduk,” tandas Mbah Kromo. Takut-takut aku mengangkat wajah menatapnya.
“Rahasia apa, Mbah?”
Mbah Kromo tak langsung menjawab. Kembali keheningan menyergap. Dalam ruangan hanya terdengar helaan napas kami berempat. Mbah Kromo akhirnya bicara memecah kebisuan.
“Ini tentang ayahmu.”