SAKURA DI TELAWANG

ni ketut yuni suastini
Chapter #4

RUMAH BARU

Keesokan harinya dengan diantar Pak Kusno, pagi-pagi buta aku sudah beranjak meninggalkan gubukku. Tak banyak barang yang kubawa. Hanya beberapa potong pakaian dan selembar kain jarik batik kepunyaan Mbah Min yang kumasukkan ke dalam buntelan kain berwarna hitam. Kami naik andong menuju stasiun Samarang NIS di Spoorlan, Kemijen. Menurut Mbah Cokro, ayahku tinggal di daerah Jogjakarta. Aku mengenakan pakaian terbaik yang kumiliki. Sebuah gaun putih berenda yang hampir menelan seluruh tubuhku. Gaun itu pemberian Nyonya Daalmans, bekas milik putri bungsunya yang tiga tahun lebih tua dariku.

Aku ketakutan ketika ular besi itu berdesis dan berhenti di depanku. Orang-orang berhamburan keluar dari dalam gerbong seperti sekumpulan lebah. Pak Kusno mengamit lenganku untuk naik. Ini perjalanan pertamaku dengan kereta. Di dalam kereta, penumpang penuh sesak. Manusia dan juga hewan ternak berjejalan. Kami tidak mendapatkan kursi hingga duduk lesehan di lantai kereta. Semalam aku tak bisa memejamkan mata sedikit pun. Pikiranku gelisah. Berbagai ketakutan menyerbuku. Hatiku semakin ciut saat perlahan kereta bergerak meninggalkan stasiun. Tiba-tiba aku ingin berlari kembali ke pondok kecilku. Apa yang harus kukatakan saat bertemu dengan ayahku?

***

Lewat tengah hari kami tiba di Stasiun Tugu Jogjakarta. Pak Kusno menawariku makan nasi tiwul yang dibungkuskan Mak Diyem sebagai bekal perjalanan. Aku hanya makan sedikit saja. Dari stasiun kami kembali naik andong. Kepalaku bergerak ke kiri dan kanan menyaksikan kota yang demikian megah, berbeda jauh dari desaku yang sepi. Tiga orang polisi bumiputera berkeliling menggunakan sepeda. Seorang pedagang burung bercelana pendek dan memakai topi capil duduk bersila menunggu pembeli. Tak jauh dari tempatnya duduk, tampak sebuah bangunan megah bertingkat yang memiliki empat jendela lebar di bagian depannya. Kelak saat sudah bisa membaca, aku mengetahui bangunan itu bernama Rathkamp Apotheek. Aroma wangi roti tercium ketika melewati toko Djoen.

Di sini jumlah andong terlihat lebih banyak, terutama di jalan-jalan utama seperti Residentie Straat dan benteng Vredeburg. Andong terus bergerak membawa diriku yang semakin gelisah mendekati rumah ayahku di Wanapura.  

Andong berhenti di depan sebuah rumah yang sangat besar. Rumah itu berdiri gagah di antara rumah-rumah sederhana di sekitarnya. Aku menganga takjub. Pak Kusno membantuku turun. Seorang bujang tergopoh-gopoh menemui kami. Ia menyipitkan mata melihat penampilanku. “Mau cari siapa?”

“Kami ingin menemui Denmas Cokro.” Pak Kusno lekas-lekas memberitahu sebelum bujang itu mengusir kami. Lelaki berusia dua puluhan itu diam. Nampaknya ia ragu melihat penampilan kami berdua. Matanya menatap aku dengan seksama, seolah-olah tengah menyelidik untuk apa seorang anak gembel sepertiku datang mencari tuannya?

“Urusan ini sangat penting,” desak Pak Kusno. Ia lalu menunjuk ke arahku. “Dia anak Sumirah!” tandasnya.

Bujang itu terkejut dan berjengit mundur. Sepasang matanya membelalak menatapku. Seolah ia tengah melihat hantu saja. Dari sikapnya kutebak ia telah tahu kisah cinta orangtuaku yang menggegerkan itu. Bujang itu memberi isyarat agar kami berdua mengikutinya. Pak Kusno menepuk bahuku.

“Kalian berdua tunggulah di sini.” Bujang itu menyilakan kami menunggu di pendopo sebelum ia memelesat masuk. Aku dan Pak Kusno bersimpuh di lantai ubin yang dingin dan mengilat itu dengan berdebar. 

Rumah besar bercat putih ini memiliki halaman yang sangat luas. Ada delapan pilar kokoh di bagian depan. Langit-langitnya tinggi dengan tiga pintu dari kayu jati didesain untuk memudahkan sirkulasi udara di dalam rumah. Pada langit-langit yang tinggi itu tergantung tiga lampu kristal berukir. Delapan undakan untuk menuju pendopo utama. Sebuah pot putih setinggi dada orang dewasa ada di dekat tangga naik, sedangkan enam lainnya yang lebih kecil berjejer persis di bagian depan rumah. Pot-pot itu terisi aneka kembang sepatu, bunga melati, dan daun palem. Di halamannya yang luas terdapat pohon belimbing dan rambutan yang berbuah ranum.

Waktu terasa sangat lamban. Bujang yang kami tunggu-tunggu tak juga datang membawa kabar baik. Kakiku mulai kesemutan. Saat aku hendak berdiri, tergopoh-gopoh lelaki itu datang menghampiri Pak Kusno.

“Denmas menyuruhmu masuk.”

“Aku?”

“Ya.”

Pak Kusno seketika berdiri. Aku juga ikut berdiri. Tapi bujang itu mencegahku. “Denmas hanya memintamu saja. Dia menyuruh anak ini tetap di sini.”

Aku memandang Pak Kusno ragu dan juga takut. Ia mengangguk dan menepuk pundakku. “Tak apa-apa, Padma.”

Mau tak mau aku kembali bersimpuh di lantai seperti tadi. Pak Kusno segera mengikuti bujang itu masuk ke dalam. Pintu kayu jati berukir itu menutup. Sesaat kemudian bujang tadi keluar dan menunggu di undakan tak jauh dari tempatku bersimpuh. Dari sudut mataku, kulihat lelaki itu diam-diam mencuri pandang ke arahku.

Rasa cemas kembali datang mengepung. Sekali lagi waktu bergerak lamban seperti keong. Aku berusaha menajamkan pendengaranku. Berharap ada suara-suara yang kudengar dari pintu kayu yang tertutup rapat itu. Tentu saja harapan itu sia-sia saja. Suara detak jantungkulah yang lebih ribut. Selebihnya sepi.

Prang! Prang! Prang!

Aku melompat bangun. Bujang itu juga ikut melompat. Terdengar suara benda pecah susul-menyusul diikuti oleh suara teriakan marah.

“Kurang ajar! Kau pikir siapa dirimu?!”

“Berani-beraninya kau bawa anak monyet itu kemari!”

“Bukan aku yang menyuruhnya datang kemari!”

“Jadi, selama ini kau sembunyikan anak haram itu, Kangmas?!”

“Aku…aku…”

“Di mana?! Di mana lagi kau sembunyikan anak-anak harammu, Kangmas?!”

“Tidak ada Lastri. Sungguh! Hanya sekali itu, dan itu pun karena dia yang menggodaku!”

“Usir dia dari rumah ini, Kangmas!”

“Dia bilang anak itu kini sebatang kara.”

Lihat selengkapnya