Hidup memang misteri. Dalam semalam hidupku berubah. Dari seorang anak miskin yang tinggal di gubuk reyot, kini aku tinggal dalam rumah megah orang terkaya di Wanapura, dan dilayani sebagai seorang ndoro putri. Mak Saropah membawaku ke kamar mandi di bagian belakang rumah. Ia memerintahkan pelayan yang lebih muda untuk mengisi bak dengan air hangat dan menumbuk daun sarikaya. Dengan menggunakan batu kali yang permukaannya cukup halus, Mak Saropah menggosok semua daki di tubuhku. Ia mengurapi badanku dengan tumbukan beras dan kunyit agar kulitku tampak lebih halus serta bersih. Mak Saropah mencuci rambutku dengan batang merang dan tumbukan daun sarikaya untuk membunuh kutu-kutu di rambutku.
Selesai mandi, Mak Saropah membawaku ke sebuah kamar yang besarnya dua kali gubukku. Di dalamnya terdapat ranjang besi dengan kelambu putih. Lebarnya sanggup membuat mataku terbelalak takjub. Sebuah lemari besar terletak di sudut kamar. Di samping ranjang, tampak meja rias berukir dengan cermin lebar. Di atas ranjang terdapat sepotong kebaya dan jarik baru. Mak Saropah bergegas mengambil pakaian itu dan mengangsurkan padaku dengan sikap hormat.
“Saya tidak menemukan pakaian yang cukup layak dalam buntelan kain itu. Jadi, saya meminta Inah mencarikan pakaian untuk Den Ayu Padma. Besok, saya akan mengantar Den Ayu Padma ke pasar agar bisa memilih pakaian yang Den Ayu inginkan.”
Aku mengangguk. Mak Saropah membantuku memakai pakaian. Ia menuangkan minyak rambut beraroma wangi bunga kenanga di atas kepalaku kemudian menyisiri rambutku dengan lembut.
Terus terang saja, aku teramat kikuk menerima perlakuan seperti itu. Aku juga bingung harus bagaimana bicara dengan Mak Saropah yang terus memanggilku dengan sebutan ‘Den Ayu Padma’. Usai melayani semua keperluanku, Mak Saropah pamit. Ia berpesan agar tak segan-segan memanggilnya bila aku membutuhkan sesuatu.
“Kamar saya ada di ujung lorong dekat dapur,” Mak Saropah memberitahu.
Sepeninggal Mak Saropah, dengan hati-hati aku duduk di tepi ranjang. Tanganku meraba permukaan kasur yang terasa empuk yang sejuk. Ada kesepian merayapi hatiku. Tiba-tiba aku merasa terasing. Hatiku gamang. Bagaimana aku akan menjalani hari-hari selanjutnya di rumah besar ini?
***
Keesokan harinya, Mak Saropah menepati janji membawaku ke pasar. Ia memilihkan kain kebaya, jarit, selop, dan beberapa baju terusan. Dengan telaten Mak Saropah juga mengajariku seluk beluk dan peraturan yang berlaku di rumah ini. Para pelayan lainnya juga memperlakukanku dengan sangat baik. Mereka semua bersikap hormat kepadaku seperti yang diperintahkan oleh Eyang.
Sejujurnya, aku juga masih canggung untuk bertemu dan bercakap-cakap dengan anggota keluarga yang lainnya. Ayah jarang menemuiku dan nampaknya lebih suka menghindariku. Agaknya hal ini karena ia tidak ingin memancing pertengkaran dengan ibu tiriku. Eyang memintaku agar memanggil ibu tiriku dengan sebutan ‘Ibu’. Bila kami bertemu di meja makan saat makan malam pun, ayah lebih sering menikmati makannya dengan mengabaikan kehadiranku.
Sikap memusuhi secara terang-terangan ditunjukkan oleh ibu tiriku. Wajahnya selalu masam bila bertemu denganku. Terkadang, ia menyindirku dengan kata-kata pedas, terutama bila Eyang tidak ada di rumah. Serupa dengan ibunya, Rusma-kakak tiriku-juga menunjukkan sikap yang sama. Meski tak seperti ibu tiriku yang suka menyindir, Rusma selalu menatapku dengan pandangan tidak bersahabat yang menusuk. Jika sudah begitu, Mak Saropah buru-buru membawaku menyingkir agar suasana tidak menjadi panas.
“Jangan sedih Den Ayu. Ndoro Putri tidak akan berani melakukan lebih dari itu,” Mak Saropah menghiburku. Ia memberitahu sebuah rahasia. Meski berasal dari keluarga bangsawan, tapi orang tua ibu tiriku tidaklah sekaya Eyang. Bahkan, beberapa tahun terakhir kondisi ekonomi keluarganya bisa dikatakan sulit. Ayahnya justru terlibat hutang karena mengambil pinjaman di De Javache Bank. Kedua orangtuanya tentu marah bila ia bertingkah keterlaluan, sebab Eyang memberi sokongan keuangan yang besar untuk menyelamatkan muka mereka.
***
Sehari-hari aku lebih suka mengekori Mak Saropah di dapur. Aku sering membantunya memasak, walau dengan tergopoh-gopoh dan raut wajah cemas Mak Saropah selalu melarang.
“Ndoro Kakung bisa memarahi saya!”
“Tidak akan bila tak ketahuan,” jawabku keras kepala. Biasanya Mak Saropah akan pura-pura mengomel memarahiku.
Dari Mak Saropahlah aku mengetahui sejarah keluarga Eyang. Eyang lahir tanggal 1 Januari 1860. Orang_tuanya menamainya Bejo Waluyo. Kelahirannya dianggap beruntung sebab Bejo lahir bertepatan dengan dihapuskannya perbudakan di Hindia Belanda. Charles Ferdinand Pahud, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu juga mulai memasang jaringan tiang telepon dan telegraf. Bejo anak bungsu dari sembilan bersaudara yang semuanya laki-laki. Ayahnya yang sangat menanti-nanti kelahiran anak perempuan tampak sedikit kecewa. Namun kekecewaan itu tidak berlangsung lama.
Ayah Bejo seorang buruh di perkebunan tebu yang bekerja dengan upah sangat rendah. Kulit tubuhnya legam, sebab tiap hari terpanggang sinar matahari. Tiga kakak tertua Bejo juga turut bekerja di sana. Bila kakak-kakak Bejo yang lainnya telah tumbuh remaja, hampir bisa dipastikan mereka juga akan mengikuti jejak ayahnya menjadi buruh. Menjual tenaga dengan upah murah di perkebunan tebu milik Belanda. Demikian pula dengan nasib Bejo kelak. Akan menjadi buruh di tempat yang sama. Bagaimana lagi? Bukankah kaum pribumi miskin memang tak punya pilihan?
Tapi ternyata Ayah Bejo memiliki pandangan berbeda. Penghapusan perbudakan telah membuka cakrawala pikiran sekaligus menerbitkan harapannya. Ia menginginkan kehidupan yang berbeda untuk si anak bungsu. Ayahnya mengirim Bejo ke sekolah desa atau Volks School, lalu melanjutkan ke Vervolg School. Selepas sekolah, Bejo dititipkan pada seorang pamannya yang menjadi guru desa di daerah Selat Sunda. Bejo diangkat menjadi guru bantu. Saat itu usia Bejo sudah dua puluh tiga tahun. Hidupnya tenteram.
Lalu datanglah musibah itu. Tanggal 26 Agustus 1883, Gunung Krakatau meletus. Ledakan dahsyatnya menghancurkan dan menyebabkan tsunami besar. Gelombang raksasa menghantam desa-desa sepanjang garis pantai, menelan korban jiwa lebih dari 35.000 orang, termasuk meluluh-lantakkan desa di sekitar Selat Sunda.
Tubuh Bejo tergulung gelombang hitam pekat raksasa yang menyeretnya belasan kilometer dan menghantam bebatuan besar. Sebatang bambu seukuran jempol menancap di lengannya. Tangannya menggapai-gapai berusaha meraih apa saja.
“Tuhan, tolong aku! Aku tidak mau mati! Beri aku umur panjang! Sangat panjang!” Seperti kesetanan Bejo berteriak-teriak.
Di tengah kepanikannya, Bejo melihat sesosok tubuh mungil timbul tenggelam di dekatnya. Mengikuti naluri Bejo berusaha meraihnya. Seorang bayi. Bejo memegang bayi itu erat-erat dan berusaha mengangkat tubuhnya agar tetap berada di atas gulungan air. Mereka beruntung. Sebatang pohon besar menyelamatkan mereka. Tubuh Bejo tersangkut di dahannya. Bejo merasakan seluruh tubuhnya seakan remuk. Sungguh ajaib, bayi kecil itu selamat.
Sekelompok tim medis dari Batavia datang menyelamatkan mereka berdua dan membawa ke penampungan. Ternyata, bayi kecil itu anak seorang bangsawan kaya. Mereka sedang mengunjungi kerabatnya. Istri bangsawan itu tewas tersapu gelombang. Demikian pula seluruh keluarga paman Bejo. Bangsawan itu kemudian membawa Bejo ke Jogja. Sebagai ucapan terima kasih telah menyelamatkan putranya, Bangsawan itu mengangkat Bejo sebagai anak. Tentu saja, orang tua Bejo tak keberatan.
“Ndoro Kakung itu pekerja keras. Walau kemudian dijodohkan dengan mendiang Ndoro Putri Aryati, puteri tunggal pemilik perkebunan teh, Ndoro Kakung tidak ongkang-ongkang kaki saja. Kerja keras Ndoro Kakunglah yang membuat perkebunan teh mertuanya sebesar sekarang. Kisah hidup Ndoro Kakung menjadi legenda dan panutan di Wanapura ini. Hampir semua orang tahu. Orang-orang di sini mulai menjulukinya Tuan Besar,” tandas Mak Saropah sambil memotong sayuran. Jelas terlihat Mak Saropah sangat kagum kepada induk semangnya itu.
“Hanya saja, sifat dan kerja keras Ndoro Kakung tidak menurun pada Denmas Cokro,” sesal Mak Saropah. Mataku menatap Mak Saropah tak berkedip.
“Denmas Cokro itu cucu kesayangan ayahnya Ndoro Putri. Ia terlalu dimanja sebab ayah Ndoro Putri sejak lama telah menginginkan anak laki-laki. Terlebih, Ndoro Putri itu sakit-sakitan dan tak bisa melahirkan anak lagi. Akibatnya, Denmas jadi seperti itu. Ndak punya tanggung jawab, dan ndak mandiri!” Mak Saropah tampak sangat kecewa. Sejurus kemudian ia tersadar bahwa sedang bicara di depanku, anak dari Denmas Cokro yang dianggapnya pemalas. Sontak Mak Saropah membekap mulutnya sendiri. Kubis yang tengah dipotongnya menggelinding jatuh ke lantai.
“Eh! Maafkan kelancangan saya Den Ayu!” Mak Saropah tampak ketakutan. Aku menggeleng.
“Tidak apa-apa, Mak. Saya tahu Mak tidak bermaksud menjelek-jelekkan Romo. Saya tidak akan mengadu,” janjiku. Mak Saropah tampak lega.