Suatu senja di bulan Juni, pada tahun kedua aku di rumah Eyang, mendadak Rusma kejang. Badannya seperti tersentak-sentak, kedua bola matanya mendelik, ada aliran air merembes dari sela-sela kakinya, dan Rusma juga terus mengigau.
Seisi rumah kalang kabut. Ibu tiriku menangis menggerung-gerung memanggil nama Rusma. Mak Saropah tergopoh-gopoh menumbuk daun dadap dan membakar bawang merah untuk dibalurkan ke tubuh Rusma. Eyang berteriak memerintahkan Tarjo menyiapkan andong dan memanggil orang pintar, sedangkan ayahku mondar-mandir dengan wajah tegang. Sekilas kudengar ia memaki. Tentu saja umpatan itu diucapkannya dalam gumaman pelan tanpa sepengetahuan Eyang. Aku yang tidak tahu harus melakukan apa, lekas-lekas menyingkir ke belakang rumah membantu pelayan lainnya menjerang air hangat.
Orang pintar yang ditunggu akhirnya tiba. Sosok lelaki berambut gimbal dan bergigi hitam-hitam runcing itu membakar kemenyan dan menyiapkan sekendi air. Ia menyembur-nyemburkan air yang telah dimantrai ke wajah Rusma. Alih-alih membaik, Rusma justru makin menjerit dan berontak. Orang pintar itu menyerah. Eyang memutuskan membawa Rusma ke Rumah Sakit Zendingsziekenhuis.
Dua bulan Rusma dirawat di rumah sakit. Selama itu pula aku tak berani datang menjenguknya. Aku cukup tahu diri. Kehadiranku dapat memperkeruh keadaan. Dari percakapan Eyang dan Ayah, samar aku mendengar bahwa Rusma tidak boleh bekerja yang berat-berat, dan hatinya harus selalu dibuat bahagia. Segala masalah harus disembunyikan dan disingkirkan jauh-jauh dari Rusma. Beban pikiran yang terlalu berat dapat menyebabkan penyakitnya kambuh lagi.
Ketika Rusma kembali ke rumah, badannya terlihat sangat kurus. Rusma masih harus tinggal di rumah untuk memulihkan kesehatannya. Sakit yang cukup lama membuat Rusma ketinggalan banyak pelajaran. Beruntung pihak sekolah memberikan permakluman. Rusma tetap naik kelas meski dengan nilai yang tertatih-tatih.
***
Waktu terus bergerak hingga memasuki tahun 1940. Usiaku telah 13 tahun. Kata orang, aku tumbuh menjadi remaja berparas jelita. Lekuk pinggang dan pinggulku mulai kelihatan. Berkat daun lidah buaya yang rutin dioleskan Mak Saropah, rambutku yang dulu kering dan penuh kutu, kini telah tumbuh subur dan hitam.
“Den Ayu Padma betul-betul mirip dengan mendiang Ndoro Putri Aryati. Cantik sekali!” Mak Saropah sering memujiku. Ia menyayangiku dengan tulus layaknya kasih sayang seorang ibu. Ketika aku mendapat haid yang pertama, Mak Saropah sibuk membuatkan bubur merah untuk selamatan. Ia mengajari aku cara memakai tampon dari kain yang dilipat-lipat. Mak Saropah juga mewanti-wanti agar aku tidak sembarangan bergaul dengan kawan lelaki. Ia juga melarangku agar tidak memanjat pohon bersama anak-anak buruh di perkebunan Eyang lagi.
"Mengapa begitu, Mak?"
"Karena itu ndak sesuai dengan kodrat perempuan, Den Ayu."
"Setahu saya kodrat perempuan itu berkaitan dengan hal-hal seperti haid, melahirkan, dan menyusui, Mak. Di luar tiga hal itu, perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama dalam pendidikan dan juga pekerjaan. Raden Ajeng Kartini lulusan ELS, Kanjeng Ratu Kalinyamat bahkan seorang ahli strategi perang!" bantahku.
"Ah, Den Ayu ini. Selalu saja membantah!" Mak Saropah merajuk dengan mulut dimencong-mencongkan membuatku tertawa geli. Aku tahu, ia tak sungguh-sungguh marah padaku.
Di sekolah prestasiku juga membanggakan. Mevrouw Anneke secara terang-terangan memuji kemampuanku mencerap pelajaran-terutama pada pelajaran sastra dan berhitung-yang lebih cepat dari siswa-siswa lainnya. Pujian itu tentu saja membuatku senang. Aku memang berusaha keras agar dapat membalas semua kebaikan Eyang.
Pada hari-hari jeda sekolah, aku sering membantu Eyang mengerjakan tugas-tugas administrasi ringan di perkebunan. Aku juga membantu Eyang merawat kuda-kudanya. Eyang sangat menggemari kuda. Matanya selalu berbinar bila sudah bicara tentang kuda. Dari Eyang pula, aku belajar cara menunggangi kuda.
“Kuda itu hewan yang cerdas, Padma. Ia bisa memahami suasana hati tuannya. Kadang bicara dengan kuda lebih menyenangkan dibanding bicara dengan manusia,” Eyang mengelus-elus surai Waru Ireng yang berwarna hitam mengilat. “Setidaknya, kuda tidak akan menceritakan rahasiamu pada orang lain. Ia juga tidak akan menghujat bila kau berbuat salah. Kuda hanya mendengar dan akan menyimpan untuk dirinya sendiri saja,” imbuh Eyang.
Aku tersenyum, tanganku bergerak mengelus lembut perut Waru Ireng yang mengembung. Kurasakan gerakan-gerakan aktif di dalamnya. Waru Ireng meringkik pelan. Kuda betina berwarna cokelat kemerahan dengan surai hitam lebat ini adalah kuda kesayangan Eyang. Waru Ireng sedang hamil tua. Kata Eyang, dalam beberapa minggu lagi, Waru Ireng akan melahirkan.