Tahun berganti dalam ketidakpastian. Kini, umurku sudah 15 tahun. Ditutupnya sekolah membuat seluruh tenaga dan pikiran kucurahkan hanya untuk urusan perkebunan saja. Eyang betul-betul serius mengajariku seluk-beluk perdagangan. Ia menggemblengku untuk jadi penerusnya. Dalam waktu singkat aku telah menjadi andal. Aku cekatan mengerjakan pembukuan, teliti memilih daun-daun teh berkualitas, dan juga cakap merawat kuda-kuda Eyang.
Lalu datanglah kabar itu. Awal Januari 1942, pasukan Jepang telah mendarat di Tarakan. Jepang berhasil menaklukkan pasukan Belanda tanpa kesulitan yang berarti. Kabar itu disusul dengan rentetan kabar kemenangan pasukan Jepang. Satu per satu, Balikpapan, Pontianak, Banjarmasin, Palembang, dan Batavia berhasil ditaklukkan dalam waktu singkat. Puncaknya, pasukan kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, pada tanggal 8 Maret 1942.
Pergantian kekuasaaan terjadi dengan cepat. Orang-orang Belanda ditahan dalam kamp interniran yang berbeda. Mereka dipisahkan antara yang laki-laki dan wanita. Tak pernah terbayangkan mereka yang dulu hidup sebagai tuan di tanah jajahan, kini harus menundukkan kepala merasakan derita menjadi tahanan.
Jepang yang menyebut dirinya Cahaya Asia memberi janji kemerdekaan pada bangsa Indonesia. Tentu saja, janji ini disambut hangat oleh bangsa Indonesia yang telah lama dijajah. Bendera merah putih mulai dikibarkan disamping bendera Jepang. Untuk menghadang pengaruh barat, Jepang memeriksa ketat semua buku-buku berbahasa Belanda di sekolah. Kemudian, tersiar kabar Jepang akan membuka kembali sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia. Keinginan untuk bisa sekolah lagi mekar di hatiku.
Di tengah derap semua perubahan itu, mendadak terjadi kesibukan di rumah kami. Rupanya, Eyang akan kedatangan tamu istimewa. Sejak pagi ibu tiriku sudah mondar-mandir ke dapur untuk memastikan Mak Saropah dan seluruh pelayan memasak makanan yang diinginkannya. Tidak boleh ada kesalahan karena tamu ini sangat istimewa. Ibu tiriku juga memerintahkan Tarjo memotong rata semua rumput di halaman dan mengganti kain korden serta taplak meja dengan yang baru.
Melihat kesibukan yang tak biasa itu, aku menduga tamu Eyang tentulah orang yang sangat berpengaruh. Dugaan itu tak berlebihan, sebab bisa bepergian adalah sebuah kemewahan saat ini. Jepang memberlakukan surat jalan bagi warga yang hendak bepergian. Wajib membawa surat jalan ini berlaku untuk semuanya tanpa pengecualian. Bila tamu akan menginap, tuan rumah wajib melapor pada pejabat tonarigumi wilayah setempat.
***
Bau gurih santan bercampur wangi rempah-rempah menguar memenuhi dapur. Mak Saropah hanya menoleh sekilas saat aku masuk. Tangannya tengah sibuk menumbuk gula merah. Aku berjalan menandak-nandak mendekatinya. Mak Saropah mendelik ketika tanganku mencuil sepotong kecil ayam dan mengunyahnya. Bukannya jeri, aku malah semakin menggodanya. Aku menggoyang-goyangkan kepalaku sambil bersenandung. Sadar dirinya tengah kugoda, Mak Saropah hanya mendengkus. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa.
“Apa tamu kita begitu istimewa, hingga harus memasak sebanyak ini, Mak?” Aku keheranan melihat makanan yang berlimpah di atas meja itu cukup untuk menjamu dua puluh orang. “Memang tamunya nanti ada berapa orang, Mak?” desakku lagi.
“Tamunya nanti hanya dua orang. Beliau adalah Raden Broto dan putranya yang bernama Raden Mas Dirga. Raden Broto saudagar dan bangsawan terpandang dari Rembang. Masih kerabat dekat Ndoro Kakung. Tapi pertemuan hari ini sangat istimewa.” Mak Saropah memberitahu.
Aku membeliak takjub. Hanya untuk menyambut dua orang tamu saja harus menyiapkan makanan sebanyak ini. Benar-benar pemborosan. Rasa penasaran menggelitikku untuk bertanya lagi.
“Istimewa bagaimana, Mak?”
Mak Saropah menarik tanganku agar lebih mendekat. “Mak dengar, sudah lama Ndoro Putri Sulastri ingin menjodohkan Den Ayu Rusma dengan Denmas Dirga,” bisiknya. Ia mengangguk meyakinkan.
“Oh, begitu,” komentarku sambil lalu. Rupanya semua kehebohan ini karena ada niat perjodohan terselubung di baliknya. Aku menjauhi Mak Saropah dan bersiap pergi.
“Lah, kok cuma, oh?” Mak Saropah memonyongkan mulut sebagai protes atas reaksiku.
“Lalu, saya harus bilang apa, Mak?”
Mak Saropah berdecak kesal karena sikapku yang tidak peka. Lagaknya nyaris membuat tawaku pecah. Ia menelengkan kepala seolah hendak menguliti isi hatiku. “Apa Den Ayu ndak ingin dijodohkan juga?”
“Tidak Mak. Saya baru lima belas tahun!” Aku memutar biji mataku jenaka.
“Di kampung saya, lima belas tahun itu sudah siap menikah, Den Ayu. Atau, setidaknya sudah dijodohkan dan dipingit!” balas Mak Saropah tak mau kalah. Aku tertawa dan membungkuk memakai selopku.
“Lho, lho, Den Ayu Padma hendak mana?” cegah Mak Saropah.
“Tentu saja ke perkebunan, Mak. Mau ke mana lagi?” aku balik bertanya. Kening Mak Saropah berkerut.
“Den Ayu tidak ikut menemani tamu Ndoro Kakung?”
Aku menggeleng. Mengapa pula aku harus ikut menemani? Pikirku. Tanganku mengambil beberapa potong kue lupis yang dibungkus daun pisang dan memasukkan ke dalam tasku.
“Kurasa pertemuan seperti itu tak cocok untukku, Mak,” sahutku singkat. Lagi pula, ibu tiriku tentu kesal jika aku ada di sana. Aku tidak ingin menambah kebenciannya padaku, imbuhku dalam hati.