SAKURA DI TELAWANG

ni ketut yuni suastini
Chapter #8

NYANYIAN DUA HATI

Setibanya di rumah, Eyang memperkenalkan aku pada Raden Broto. Dalam sekejap aku menyadari keramahan Dirga menurun dari ayahnya. Aku segera minta ijin untuk mandi sebab tubuhku terasa sangat lengket. Selain itu aku juga perlu meredakan deburan jantungku. Sepanjang perjalan pulang tadi aku dan Dirga lebih banyak membisu.

Usai mandi aku segera bergabung dengan yang lainnya duduk melingkari meja kayu berukir berbentuk oval. Di atasnya terdapat berbagai macam hidangan. Aku mengenakan kebaya putih berenda, kain jarik batik, serta menggelung rambutku jadi sanggul kecil. Mak Saropah mengajarkan bila sedang menerima tamu, aku harus berdandan rapi untuk menghormati tamu yang datang. Kulihat, Rusma berdandan sangat cantik hari ini. Raut wajahnya tampak kecewa saat Eyang memintaku duduk di sebelah Dirga.

“Dirga, bagaimana pendapatmu tentang Sakala? Dia gagah bukan?”

“Betul Eyang, Sakala sangat gagah,” Dirga menjawab dengan sopan. Eyang mengangguk puas dengan jawaban itu. Tatapan Eyang beralih padaku.

“Itu karena Padma yang merawatnya. Asal kau tahu, proses kelahiran Sakala sangat sulit. Waru Ireng mengalami kesulitan mengeluarkan Sakala dari perutnya, sehingga aku dan Padma harus membantu memegang kaki Waru Ireng saat mengejan. Beruntung, Padma sangat pemberani dan tidak takut melihat darah!” Manik mata Eyang berbinar saat membanggakan aku di depan kedua tamunya. Kurasakan tatapan tajam ibu tiriku yang seolah hendak menelanku bulat-bulat.

    “Wah, ternyata kau berani sekali, Padma. Dik Cokro, jarang-jarang lho ada anak perempuan yang pandai merawat kuda. Kau beruntung punya anak seperti Padma,” puji Raden Broto. Ayahku yang sedari tadi diam saja mendadak gagap. Tergesa-gesa ia mengangguk. Ayahku tentu tak mengira ditodong dengan pernyataan itu.

    “Ya…ya, dia memang cukup pemberani,” gumam ayahku terbata. Kulihat bibir ibu tiriku makin mengerucut kesal.  

    “Oh ya, kau mau mencoba menunggangi Sakala, Dirga?” Eyang menanyai Dirga. 

    “Wah, Apa boleh, Eyang?” sambut Dirga antusias.

    “Tentu saja boleh. Kau bisa minta Padma menemanimu.” Dengan menggerakkan dagunya Eyang menunjukku. Aku yang tengah menunduk khusyuk menikmati makanku, seketika mengangkat wajah protes.

“Tapi, besok ada banyak pekerjaan yang harus saya kerjakan, Eyang. Sepertinya saya tidak bisa menemani Mas Dirga,” tolakku. Eyang mengibaskan tangannya.

“Ah, besok biar Eyang yang mengerjakannya. Kau temani tamu kita ini berkeliling,” tegas Eyang serupa perintah yang tak boleh dibantah. Mau tak mau, aku tidak punya pilihan lain selain menurutinya.

***

Keesokan harinya selepas sarapan, aku menemani Dirga berkuda mengelilingi perkebunan. Dirga menunggangi Sakala, sedangkan aku menunggangi Waru Ireng. Beriringan kami melewati deretan rumpun bambu yang melengkung menyerupai terowongan. Jalanan tanah berlumpur sebab semalam turun hujan lebat. Namun Waru Ireng dan Sakala tampak tidak menemui kesulitan saat melewatinya. Keduanya bergerak gesit dan terus memelesat masuk hutan kecil di belakang perkebunan Eyang.

Barisan pohon-pohon trembesi besar yang telah berusia puluhan hingga ratusan tahun menyambut kami. Dahan-dahannya mencuat ke samping dan ke atas, laksana cakar-cakar raksasa yang siap mencengkeram langit. Akar-akar gantung menjulai seperti rambut-rambut raksasa. Bagian batang dan dahan dipenuhi pakis dan benalu sehingga menimbulkan kesan angker. Ada pula anggrek liar yang tumbuh di beberapa bagian dahan. Segerombolan burung terbang berhamburan saat kami mendekatinya. Hutan ini tampak redup sebab sinar matahari sulit menerobos daun-daun yang lebat seperti sebuah selubung raksasa. Waru Ireng meringkik dan mendengus-dengus. Aku mengusap kening dan tengkukku yang basah.

“Wah, aku tidak pernah menduga pemandangannya akan seindah ini!” Dirga bersiul senang. Ia menengadah, memandang takjub pada ratusan kelelawar yang membuat sarang di dalam pohon. Aroma kotoran kelelawar tercium amis.

“Saya juga. Ini kali pertamanya saya kemari,” sahutku dengan kekaguman yang sama. Aku menepuk-nepuk punggung Waru Ireng.

“Sepertinya dia kehausan. Kurasa ada sungai di dekat sini,” Aku menyentakkan tali kekang Waru Ireng. Kuda betina itu berjalan pelan di antara pepohonan. Dirga menghela Sakala agar mengikutiku. Kami terus masuk ke dalam hutan. Beberapa gua tampak bersembunyi ditutupi semak-semak berduri. Nyaris saja aku memutuskan kembali, ketika tak lama terdengar suara gemericik air. Dengan bersemangat aku menghela Waru Ireng mengikuti arah suara itu. Benar saja. Aku melihat sungai yang alirannya cukup deras di sisi selatan hutan.

“Nah, Waru Ireng, kau bisa minum sepuasmu!” Aku menepuk punggung Waru Ireng dan melompat turun. Dirga juga turun dari kudanya. Kedua kuda itu kami tuntun ke sungai. Aku membasuh wajah, kaki, dan tanganku. Dirga menggulung lengan kemejanya hingga siku. Ia juga membasuh wajahnya yang berkeringat. Kami berdua duduk di sebuah batu besar sambil menunggui kedua kuda itu minum. Di hadapan kami tampak barisan bukit bersusun-susun. Angin bertiup cukup kencang. Aku memandang langit yang gelap. Terdengar suara gemuruh.

“Sepertinya akan turun hujan,” gumamku. Dirga memandang lurus ke arah yang sama.

“Sebaiknya kita segera kembali bila tak ingin terjebak di sini.” Dirga bangun dan bersiap. Ia bersiul dan mendekati kuda-kuda kami yang masih minum. Aku memandang punggungnya yang terlihat jangkung. Usianya hanya terpaut lima tahun lebih tua dariku, tapi Dirga tumbuh jauh lebih cepat dibanding orang seumurnya.

Kembali terdengar gemuruh yang lebih keras diikuti serbuan hujan yang mendadak dan deras. Aku berlari panik dan berusaha menudungi kepalaku sebisanya. Tapi sia-sia. Serbuan hujan yang begitu tiba-tiba membuat badanku dan Dirga basah kuyup.

Lihat selengkapnya