SAKURA DI TELAWANG

ni ketut yuni suastini
Chapter #9

SONATA RINDU

Keesokan harinya, aku menghindari pertemuan dengan Dirga dan Rusma. Aku sengaja berangkat lebih awal, dan pulang saat matahari telah terbenam. Di rumah aku langsung membenamkan diriku di dalam kamar. Pada hari terakhir kunjungannya, Dirga telah menungguku di depan kamar. Aku terkejut melihat sosoknya berdiri bersandar di tembok. Kedua tangannya dikaitkan di belakang seolah sedang menyembunyikan sesuatu.

“Apa yang Mas Dirga lakukan?” tanyaku heran. Ia tersenyum dan mendekatiku.

“Aku sengaja menungguku karena takut tak sempat berpamitan. Aku pulang hari ini.”

Aku mengangguk. “Hati-hati.”

“Selain itu, aku juga minta maaf padamu.”

“Untuk apa minta maaf?”

“Belakangan kau tampak sengaja menghindariku. Sepanjang hari aku terus memikirkan apa gerangan kesalahan yang telah kulakukan? Tapi sampai sakit kepalaku berpikir, aku tidak menemukan kesalahan itu.” Dirga menelengkan kepala. “Jadi sebelum aku jadi gila, tolong beritahu aku. Apa kesalahan yang telah kuperbuat padamu, Padma?”

“Tidak ada, Mas. Saya hanya sedang sibuk saja,” kilahku.

“Benarkah?” Dirga berusaha meyakinkan. Aku mengangguk. Ia tampak lega. Dirga kemudian mengulurkan sebuah buku.

“Untukmu. Hadiah telah menjadi tuan rumah yang baik.”

“Apa ini?” Aku menerima buku itu. Di sampulnya tertulis ‘Sitti Nurbaya’ karya Marah Rusli.

“Roman yang sangat menarik. Ditulis dalam bahasa Melayu. Bacalah. Aku yakin kau pasti suka.”

“Terima kasih. Saya akan membacanya.” Janjiku. Aku mendekap buku itu erat-erat di depan dada. Dirga tampak ingin mengatakan sesuatu. Ia menggaruk-garuk keningnya.

“Apa ada yang ingin Mas sampaikan?”

“Iya,” Dirga menjawab cepat. Ia menatapku lekat. Kurasakan pipiku kembali menghangat.

“Sebenarnya, aku sudah minta izin pada Eyang. Aku ingin menyuratimu. Dan Eyang tidak keberatan. Kurasa, aku juga harus minta ijin padamu, Padma. Apakah kau bersedia menerima suratku?”

Aku diam. Kulihat Dirga bergerak-gerak gelisah.

“Tapi, aku tidak akan memaksa bila kau keberatan, Padma.” Dirga buru-buru meralat. Hatiku bimbang teringat Rusma. Namun, kutepis keraguan itu dan membuat keputusan.

“Tidak. Saya tidak keberatan. Mas Dirga boleh menyurati saya.”  

“Benarkah? Tidak akan ada yang marah?”

“Tidak akan yang marah. Bagaimana dengan Mas Dirga, apa ada yang marah bila Mas mengirimi saya surat?” Aku balik bertanya. Ia memejamkan mata seperti sedang berpikir keras.

“Kurasa ada.” Dirga membuka mata.

Lihat selengkapnya