SAKURA DI TELAWANG

ni ketut yuni suastini
Chapter #10

BEKERJA UNTUK JEPANG

Balasan surat dari Dirga datang sebulan kemudian. Dirga telah berada di Batavia yang kini bernama Jakarta. Raden Broto yang menerima suratku, segera mengirimkan pada Dirga yang telah bekerja di kantor berita Domei dan tinggal bersama kawannya di Jalan Garuda.

Itulah yang disebut cinta butuh pengorbanan, Padma. Perasaan Sitti Nurbaya dan Samsul Bahri adalah cinta yang tulus. Demikian pula kasih sayang Sitti Nurbaya pada orang_tuanya, semua adalah bakti yang tulus. Kadang keputusan yang tepat memang tidak bisa membuat semua orang bahagia. Dalam hal ini, Sitti Nurbaya mengambil keputusan yang tepat untuk menyelamatkan ayahnya, walau keputusan itu justru menggadaikan kebahagiaannya seumur hidup.

Dan mengenai penghakiman yang kau tanyakan itu, kurasa batas antara pengkhianat dan pejuang sangatlah tipis. Semua tergantung waktu, situasi, dan di pihak mana kita berdiri. Kadang, seorang pejuang bisa dianggap sebagai pengkhianat demikian pula sebaliknya.

Bagaimana keadaan Wanapura? Di sini situasi makin memanas. Tapi kau tak usah khawatir, aku berjanji akan menjaga diriku. Pihak Sekutu melakukan serangan besar-besaran di daerah-daerah yang dikuasai Jepang, hingga Jepang membutuhkan banyak logistik dan juga tentara untuk memperkuat posisinya.

Setiap hari aku selalu merindukanmu, Padma. Jagalah dirimu baik-baik. Aku tak sabar ingin segera menemuimu ke Jogja.

Aku menyimpan baik-baik surat balasan dari Dirga. Terdengar suara burung gagak berkaok-kaok di dahan pohon rambutan. Mendadak bulu kudukku meremang. Sudah tiga hari berturut-turut aku selalu bermimpi gigiku tanggal. Kata orang, kedatangan buruk gagak dan bermimpi gigi tanggal adalah pertanda buruk. Konon, itu pertanda akan ada keluarga yang meninggal. Berbagai bayangan buruk mendadak menyerbu kepalaku. Aku menggeleng kuat-kuat berusaha mengenyahkan pikiran buruk itu.

Seminggu setelah aku menerima surat Dirga, Eyang pulang ke rumah dalam keadaan pingsan dan babak belur usai dipukuli tentara Jepang. Kami semua panik. Menurut Tarjo yang saat itu bersama Eyang, pasukan Jepang datang ke perkebunan. Mereka mengambil barang-barang berharga. Semula Eyang diam saja. Namun, saat pasukan Jepang mengambil Waru Ireng dan Sakala dari kandangnya, mendadak Eyang berontak dan mempertahankan kuda kesayangannya. 

Tentu saja tindakan Eyang membuat pasukan Jepang naik pitam. Tanpa ampun, pasukan Jepang memukul Eyang hingga tubuh tuanya itu tersungkur. Tarjo dan beberapa orang yang melihat kejadian itu tidak berani berbuat apa-apa. Mereka tidak ingin dianggap cari gara-gara dengan pihak Jepang. Salah-salah, mereka bisa kehilangan nyawa juga. Masih untung Eyang tidak ditembak mati. Tubuh Eyang yang penuh luka dan berdarah-darah ditinggalkan begitu saja. Tarjo dan yang lainnya baru berani mendekati tubuh Eyang setelah pasukan Jepang itu pergi. Bersama-sama mereka menaikkan tubuh Eyang ke atas andong dan membawanya ke rumah.

Kami membaringkan Eyang di kamarnya. Para pelayan di rumah kami kini hanya tinggal Tarjo dan Mak Saropah saja. Aku membersihkan luka-luka Eyang dan mengompres bagian yang bengkak. Mak Saropah menumbuk kunyit, kemudian menempelkan pada bagian yang luka untuk menghentikan pendarahan. Malamnya, Eyang demam tinggi dan muntah-muntah. Air jahe hangat yang kubuatkan untuk meredakan demam, sama sekali tidak disentuhnya. Menjelang dini hari tubuh Eyang kaku. Eyang telah berpulang. Eyang pergi tanpa sempat meninggalkan pesan apa-apa. Aku menangis sambil memegang tangan Eyang yang terasa dingin.

***

Pemakaman Eyang berlangsung secara singkat dan sederhana, tanpa dihadiri oleh kerabat seperti layaknya pemakaman seorang bangsawan. Keadaan sedang sangat genting. Tidak ada yang mau mengambil resiko tertangkap Jepang hanya karena ingin menghadiri pemakaman. Di saat-saat seperti ini mempertahankan nyawa agar tetap hidup menjadi prioritas utama.

Kami berjalan beriringan meninggalkan areal pemakaman. Sepanjang jalan, Mak Saropah yang membimbing tanganku tak hentinya mengingatkan agar aku dan Rusma berjalan sambil menunduk dan menutupi wajah kami. Hal ini kami lakukan untuk berjaga-jaga bila bertemu dengan serdadu Jepang.

Ayahku berjalan paling depan. Wajahnya terlihat sedih dan juga linglung Tampaknya ayahku sangat tertekan karena setelah kepergian Eyang. Sekarang dia satu-satunya lelaki di keluarga kami. Ayahku yang terbiasa diurus itu, tak ubahnya seperti bayi tua yang dipaksa memikul beban berat.

Lamat-lamat kuperhatikan punggung ayahku. Kedua bahunya terkulai seperti kalah perang. Selama aku tinggal di rumah Eyang, tak sepotong masalah pun yang bisa diselesaikan ayahku. Aku bahkan tidak tahu apa saja yang dikerjakannya, dan bagaimana ia melewati hari-hari. Beberapa kali Eyang pernah memberi modal pada ayahku untuk mencoba berdagang. Namun, uang-uang itu tak jelas ke mana raibnya hingga Eyang kapok dan tak lagi memberinya modal. Kehadiran ayahku yang seperti ada dan tiada, membuat aku dan Rusma tidak memiliki hubungan yang ideal dengannya. Hidup Rusma cenderung didikte oleh ibu tiriku, sedangkan aku lebih dekat dengan Eyang. 

Rusma berkali-kali mengusap mata. Sejak Eyang mengembuskan napas terakhirnya, sudah dua kali Rusma jatuh pingsan. Ia terlihat sangat rapuh. Sama sepertiku, Rusma juga sangat terpukul dengan kepergian Eyang.

Satu-satunya orang yang terlihat tegar hanyalah ibu tiriku. Perempuan itu tampak gagah berjalan dengan pandangan lurus. Tak terlihat kecemasan membayang di wajah cantiknya. Tiba-tiba aku teringat pembicaraan kami tempo hari saat ibu tiriku mengatakan menunggu waktu untuk membalasku. Selintas rasa takut datang menyergap.

***

Hari-hari setelah kepergian Eyang kulalui dengan gamang. Seperti yang sudah kuperkirakan sebelumnya, ibu tirikulah yang kini berkuasa. Mulutnya semakin pedas menyindirku. Setiap hari ia memintaku mengerjakan ini itu. Aku menuruti semua perintahnya tanpa banyak bicara. Kami masih dalam suasana berkabung, tak elok rasanya bila bertengkar.

Waktu bergerak sangat lamban. Memasuki bulan Oktober 1943, Pemerintah Jepang merekrut para pemuda menjadi pasukan Pembela Tanah Air untuk menghadang kekuatan Sekutu yang kian mendekat. Surat-surat dari Dirga tak pernah kuterima lagi. Semula aku mengira Dirga tak sempat menulis surat karena kesibukan pekerjaannya. Tapi, suatu hari Mak Saropah mengatakan bahwa semua surat untukku telah disita oleh ibu tiriku.

“Kau yakin, Mak?” Aku yang sedang memotong ketela menatap Mak Saropah tak percaya. Kuletakkan pisau di atas talenan dan bergegas mendekatinya. Mak Saropah mengangguk yakin.

“Siapa yang memberitahumu, Mak?” desakku lagi. Mak Saropah berbalik dan berdiri di ambang pintu. Ia melongok ke kiri dan kanan sebelum kembali mendekatiku yang masih berdiri mematung.

“Mak melihat dengan mata kepala sendiri,” bisiknya. “Waktu itu, Mak baru saja membersihkan ruang kerja mendiang Ndoro Kakung. Petugas pos datang mengantarkan surat dari Denmas Dirga. Surat itu diterima oleh Ndoro Putri Sulastri, kemudian dibawa masuk ke ruangannya. Karena penasaran, Mak beranikan diri untuk mengintip. Mak lihat sendiri Ndoro Putri memasukkan surat-surat itu dalam laci dan menguncinya,” terang Mak Saropah.

“Sebenarnya, Tarjo juga pernah mengatakan, bahwa Ndoro Putri Sulastri meminta Tarjo untuk menyerahkan semua surat-surat padanya. Terutama surat dari Denmas Dirga untuk Den Ayu Padma. Kalau Tarjo berani memberikan surat itu langsung pada Den Ayu, Ndoro Putri mengancam akan memecat Tarjo!” imbuh Mak Saropah lagi.

Kedua kakiku mendadak lemah. Aku meraih sebuah kursi kayu dan duduk. Rupanya, surat-surat dari Dirga telah disabotase oleh ibu tiriku.

“Tapi, sebaiknya Den Ayu tidak menanyakan hal ini pada Ndoro Putri. Nanti Ndoro Putri malah ngamuk.”

“Iya Mak, saya tahu.” Aku mengangguk paham. Tentu saja, bertanya langsung pada ibu tiriku bisa membuat Mak Saropah dan Tarjo diusir dari rumah ini. Aku tidak ingin membuat kedua pelayan setia itu kehilangan mata pencaharian mereka.

Lihat selengkapnya