Air mata Mak Saropah mengiringi langkahku keluar dari rumah Eyang. Perempuan yang telah mengasuhku selama delapan tahun itu tak kuasa menahan kesedihannya. Ia terus menangis sesengukan.
“Apa-apaan kau, Mak? Masuk!” Terdengar hardikan ibu tiriku kasar. Terbirit-birit Mak Saropah kembali ke dapur.
Aku memalingkan wajah. Tidak banyak yang kubawa dalam tas koper besi bergambar bunga kembang sepatu merah. Aku hanya membawa pakaian berupa kain jarik, kebaya, beberapa rok terusan, serta buku pemberian Dirga.
Seperti yang dikatakan ibu tiriku, Lurah Wanapura sendiri yang datang menjemputku. Ketika sinar matahari telah naik sepenggalah, lelaki bertubuh sedang dengan kumis hitam tebal itu datang dengan andong. Ia mengatakan akan mengantarku ke tempat penampungan untuk bertemu dengan gadis-gadis lain yang juga akan berangkat bersamaku. Aku naik ke atas andong dengan perasaan tak menentu. Perlahan andong bergerak meninggalkan Wanapura.
“Mengapa Jepang menginginkan saya?”
“Karena kita semua sedang bersatu untuk menghancurkan kaum Sekutu, Den Ayu. Di pabrik, di perbatasan, di tangsi militer, semua orang harus bekerja.” Lurah bicara dengan nada berapi-api. Rupanya Lurah Wanapura telah termakan propaganda yang belakangan terus didengungkan lewat lagu-lagu yang diputar di saluran radio Hoso Kanri Kyoko milik Jepang.
“Jadi saya akan ditempatkan di mana?” Aku bertanya hati-hati.
“Nanti mereka yang akan menentukan di daerah mana Den Ayu di tempatkan. Tapi Den Ayu jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja. Makan dan pakaian semuanya terjamin,” hiburnya. Aku tak menyahut. Andong sedikit berguncang saat kami melewati jalan yang tak rata.
“Sebelum berangkat nanti ada pemeriksaan kesehatan oleh dokter yang ditunjuk,” imbuh Lurah itu.
“Pemeriksaan kesehatan? Untuk apa?”
“Den Ayu jangan khawatir. Pemeriksaan kesehatan ini untuk memastikan Den Ayu sehat dan kuat selama perjalanan.” Lurah berusaha menenangkanku. Aku tidak bertanya lagi meski hatiku semakin cemas membayangkan perjalanan jauh yang akan kutempuh.
Waktu terus menerabas. Ketika sinar matahari mulai beringas, kami tiba di sebuah rumah bekas milik orang Belanda yang kini digunakan untuk penampungan sementara gadis-gadis yang akan diberangkatkan. Aku melihat sembilan belas gadis muda sebayaku yang telah menunggu di sana. Di luar ada dua kempeitai berjaga.
Lurah Wanapura memintaku turun dan menunggu di bangku panjang teras sementara ia masuk ke dalam ruangan. Dari pintu yang tidak tertutup rapat, aku melihat Lurah Wanapura bicara dengan dua laki-laki berbadan besar. Wajah-wajah mereka tampak keras. Aku tidak dapat mendengar isi pembicaraan itu karena mereka bicara dengan suara rendah. Tapi kurasa mereka tengah membicarakanku. Tak sampai setengah jam Lurah Wanapura keluar menemuiku diikuti kedua orang itu.
“Nah, Den Ayu, saya pamit dulu. Selanjutnya keberangkatan Den Ayu akan diurus oleh mereka. Mereka adalah Sokir dan Jono,” Lurah berpaling pada kedua orang itu. “Dia adalah Den Ayu Padma,” katanya memperkenalkanku. Kedua orang itu mengangguk padaku. Aku membalas dengan anggukan singkat. Kurasakan tatapan Sokir menjelajahi seluruh tubuhku dengan kurang ajar. Setelah merasa tugasnya selesai, Lurah Wanapura pergi meninggalkan aku. Sokir, lelaki yang memiliki bekas luka panjang di lengannya memberi pengumuman.
“Pemeriksaan kesehatan akan dilakukan besok. Jadi hari ini kalian akan menginap di sini. Ada empat kamar yang masing-masing akan diisi lima orang. Kalian dilarang keluar dari sini tanpa ijin. Kami akan bertindak tegas pada siapa pun yang berani melanggar peraturan di sini!” Sokir melirik pada Jono.
“Jono akan menunjukkan dan membagi kamar-kamar untuk kalian.” Kini Sokir menoleh padaku. Tatapannya yang kurang ajar itu melalap tubuhku lagi. “Dan kau, di sini tidak ada yang akan memanggilmu Den Ayu. Kau akan diperlakukan sama seperti yang lainnya!”
“Apa kalian ada pertanyaan?” Suara Sokir terasa menggelegar. Kami, kedua puluh orang perempuan yang kini sedang mengadu nasib ini serentak menggeleng. Sokir tersenyum puas. Ia memamerkan deretan giginya yang tak rata.
“Kalau begitu kalian bisa ikuti Jono.”
Seperti sekumpulan bebek kami dihalau dan berbaris mengekori langkah Jono menuju kamar-kamar yang berjejer rapi. Aku menempati kamar kedua bersama empat perempuan lainnya. Mereka bernama Diah, Waginah, Giyem, dan Nunuk. Diah berasal dari Purwodadi. Giyem berasal dari Sidoseneng dan Nunuk berasal dari Karangluwih, dua desa yang berdekatan dengan Ambarawa. Sedangkan Waginah sama sepertiku, berasal dari desa sekitar Jogja.
Di antara kelompok kami, Diahlah yang paling tua. Ia telah berumur 18 tahun. Wajahnya manis, giginya gingsul, pembawaannya kalem. Nunuk setahun lebih tua dariku. Umurku dan Giyem sebaya, sedangkan Waginah, ia yang termuda di antara kami. Pembawaannya agak pemalu, umurnya belum genap 15 tahun. Ia ikut mendaftar bekerja pada Jepang karena mendengar akan diberi upah yang besar.
“Apa Mbak juga hendak sekolah jururawat seperti Mbak Diah?” Mata Waginah menatapku penuh minat. Aku menggeleng.
“Tidak. Lurah mengatakan tenagaku dibutuhkan Jepang untuk bekerja di pabrik tekstil.” Waginah manggut-manggut seraya memonyongkan mulutnya membentuk huruf O tanpa suara. Aku menatap Diah yang sedari tadi menunduk menekuri lantai.
“Jadi Mbah Diah akan sekolah jururawat?”