SAKURA DI TELAWANG

ni ketut yuni suastini
Chapter #12

IANJO

Kota Surabaya menjadi tempat pemberhentian kami yang kedua. Sebelum berangkat masing-masing orang mendapatkan jatah seragam kebaya merah polos dan kain jarik batik. Nunuk, Giyem, dan tiga orang lainnya telah dijemput pagi-pagi buta. Mereka tidak ikut dalam rombongan yang akan berangkat ke Surabaya. Katanya, calon induk semang mereka ada di daerah sekitar sini. Kami berpelukan melepas kedua kawan sekamarku itu.

“Jaga diri kalian,” pesanku.

“Jangan lupakan kami ya, Mbak,” Nunuk dan Giyem berpamitan. Mereka dinaikkan ke dalam sebuah mobil yang dikemudikan orang Jepang. Kini jumlah orang dalam rombongan yang berangkat ke Surabaya semakin sedikit. Hanya tersisa lima belas orang, termasuk aku, Diah, dan Waginah.

Kereta berangkat dari Stasiun Tugu menuju Stasiun Pasar Turi Surabaya. Sokir dan Jono ikut dalam rombongan. Kami diwajibkan mengenakan kebaya merah yang dibagikan dan ditempatkan dalam satu gerbong. Seluruh barang bawaan kami juga dikumpulkan jadi satu. Aku menduga mereka melakukan itu agar mudah mengawasi kami. Warna pakaian yang mencolok dengan mudah dikenali bila ada yang mencoba melarikan diri.

Sepanjang perjalanan aku menyaksikan hamparan sawah yang mengering tak tergarap, serta pintu-pintu rumah yang tertutup. Di beberapa tempat aku menyaksikan para romusha sedang bekerja membuat parit perlindungan dan pabrik amunisi. Penampilan mereka sangat mengenaskan. Badan kurus dengan tulang-tulang bertonjolan, mata cekung, pakaian compang-camping bahkan nyaris telanjang, serta tampak kelaparan. Aku melihat seorang romusha yang memanggul kayu terjatuh. Tanpa ampun prajurit Jepang segera datang dan menendang tubuh kurus yang malang itu. Aku memalingkan wajah tak sanggup menyaksikan pemandangan keji itu.

Menjelang sore kereta tiba di Stasiun Pasar Turi. Kami berbaris turun dari kereta. Di luar, sebuah truk militer milik Jepang telah menanti. Sokir memerintahkan kami semua naik ke atas truk. Truk membawa kami ke sebuah penginapan di jalan Kembang Jepun.

Penginapan itu tampaknya memang telah disewa khusus untuk menampung perempuan-perempuan yang akan bekerja untuk Jepang seperti kami. Selain rombongan kami, ada pula rombongan lain yang berasal dari Kediri dan Malang. Dari Jono akhirnya aku mengetahui bahwa kami semua akan diberangkatkan ke Telawang. Kami ditempatkan di penginapan itu untuk menunggu kapal milik Jepang yang akan mengangkut kami.

Sokir dan Jono mengijinkan kami berjalan-jalan di sekitar penginapan walau dengan pengawasan ketat. Selain kedua orang itu, ada seorang kempetai Jepang berwajah galak yang juga turut mengawasi kami. Matanya yang setajam mata elang dengan seksama mengamati setiap pergerakan kami. Sedikit saja ada yang berani bergerak menjauh dari rombongan, dengan gesit ia memelesat datang dan memarahi agar kembali ke dalam rombongan.

Tak jauh dari penginapan terdapat warung-warung dan sebuah rumah hiburan yang berisikan perempuan-perempuan Jepang. Wajah-wajah mereka sangat putih sebab dipoles dengan bedak yang cukup tebal. Orang-orang di sekitar sini menyebutnya Karayuki-san. Konon, mereka telah masuk melalui Singapura dan berdiam di rumah-rumah bordil di kota-kota Hindia Belanda sejak 1870. Barulah sejak tahun 1912, saat Gubernur Jenderal Alexander Willem Ferderik Idenburg melarang prostitusi di Pulau Jawa dan Madura, sebagian besar Karayuki-san memilih pindah. Hanya sedikit yang masih bertahan dan beroperasi secara sembunyi-sembunyi.

Selama menunggu di Surabaya, aku semakin akrab dengan Diah dan Waginah. Waginah adalah sulung dari lima bersaudara. Dengan malu-malu Waginah mengatakan sesungguhnya ia bercita-cita jadi seorang biduan. Di kampungnya ia sering didaulat untuk menyanyi bila ada hajatan. Namun, cita-cita itu dipendamnya demi membantu ibunya menghidupi keempat adiknya yang masih kecil-kecil. Sehari-hari Waginah membantu ibunya bekerja di ladang-ladang milik tetangga. Ayahnya telah lama pergi mengikuti orang-orang yang bekerja membangun jalur kereta api.

Lihat selengkapnya