Tatapan tajam dan kelam seperti mata seekor cheetah milik Kotaro menatap kami satu per satu. Ia bicara dalam bahasa Indonesia patah-patah. Terbungkuk-bungkuk Mamat mendekat dan menyerahkan kertas catatan nama yang telah dibuatnya. Kotaro membaca sekilas sebelum merobek kertas itu menjadi serpihan kecil.
“Mulai sekarang nama kalian akan diganti. Kalian akan mendapatkan nama baru dan menempati kamar-kamar yang sesuai dengan nama-nama itu. Dia akan menunjukkan kamar kalian.” Kotaro menunjuk ke arah Mamat. Mamat buru-buru menganggukkan kepala.
"Apa ada pertanyaan?"
"Kapan kami mulai bekerja di pabrik?" Kuberanikan diriku menanyakan hal yang sejak lama mengganggu pikiranku. Kotaro menyeringai sinis.
"Pabrik? Tidak ada pabrik di sini!" Kotaro merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
"Lalu, apa pekerjaan kami?"
"Pekerjaan kalian adalah membuat para tentara Jepang bahagia. Tugas kalian berdandan yang bagus! Kumpulkan karcis-karcis yang dibawa oleh tamu. Kumpulkan sebanyak-banyaknya sebab aku akan menghargai orang yang giat bekerja! Layani tamu sebaik-baiknya!” Kotaro berhenti sejenak. “Satu hal penting yang harus kalian ingat baik-baik. Jangan pernah berpikir akan lari dari sini!” Suara Kotaro dalam dan kejam. Kata-kata itu serupa vonis kematian di telingaku. Keganjilan-keganjilan yang kurasakan sepanjang perjalanan terungkap sudah. Kami semua telah ditipu.
“Saya tidak mau jadi pelacur!” teriakku lantang. “Saya tidak datang kemari untuk menjadi pelacur. Kalian semua menjebak dan menipu!”
Kawan-kawanku terkejut mendengar ucapanku itu. Mereka mulai ribut dan menangis. Dengan kesal Kotaro mendekatiku. Ia menatap sesaat. Tanpa mengatakan apa-apa, dua tamparan keras melayang ke pipiku.
“Akh!” Aku menjerit dan tersungkur. Pipiku terasa panas dan nyeri. Baru saja aku mencoba berdiri, mendadak kaki Kotaro melayangkan tendangan bertubi-tubi menghantam perut dan ulu hatiku. Aku terkapar di lantai tanpa perlawanan. Kurasakan cairan hangat meleleh dari sudut bibirku. Dadaku sesak, pandangan mataku berkunang-kunang, dan sekujur tubuhku teramat sakit.
Teman-temanku menangis menutup muka, tak kuasa melihat pemandangan ngeri itu. Namun tak seorang pun dari mereka berani menolongku.
“Apa ada lagi yang ingin bicara?!” Tatapan dingin Kotaro menyapu kami semua. Serentak teman-temanku diam. Sudut bibir Kotaro terangkat. Ia tersenyum puas.
“Ini peringatan untuk kalian semua. Tugas kalian di sini adalah melayani tamu sebaik-baiknya! Bukan bicara omong kosong padaku! Mengerti!” bentak Kotaro.
Hening. Tak seorang pun dalam ruangan itu yang berani bersuara. Kotaro kembali mengangguk-angguk puas.
“Sekarang kalian semua bersiap-siaplah. Sebentar lagi para tamu akan datang!” Kotaro memberi isyarat pada Mamat. Mamat segera memapahku bangun.
“Sedang apa kau?!” Suara Kotaro kembali menggelegar. Kurasakan tubuh Mamat membeku.
“Mem-membawa dia ke kamarnya, Kotaro-san,” Mamat menjawab ketakutan.
“Bakayaro!” Wajah Kotaro merah padam oleh amarah. Mamat semakin gemetar.
“Kau bawa yang lainnya saja! Dia masih ada urusan denganku! Aku belum selesai memberinya pelajaran!”
Mamat buru-buru mengangguk. Tidak ingin menunggu gelombang amarah Kotaro datang lagi, Mamat segera membawa rekan-rekanku pergi. Kini, hanya tinggal aku dan Kotaro dalam ruangan ini.
Seperti hewan melata aku menggeliat. Dengan bertumpu pada kedua telapak tangan, aku mengangkat badan untuk bangun. Seluruh tubuhku terasa sakit. Seakan semua tulang-tulangku telah ditarik paksa. Kotaro berdiri berkacak pinggang di depanku. Dalam gerakan tenang yang terasa menakutkan, ia mulai membuka bajunya. Aku dicekam rasa takut. Aroma bahaya menguar di udara.
“A-apa yang kau lakukan?”
Kotaro mengedikkan bahu tak peduli.
“Kulihat kau cukup pintar. Tentu aku tak perlu menjelaskan apa yang dilakukan laki-laki dan perempuan jika berduaan di dalam kamar, bukan?” Kotaro yang telah menanggalkan bajunya melemparkan benda itu begitu saja. Tangannya bergerak cepat menarik ujung kepala ikat pinggangnya. Ia memutar ikat pinggang berbahan kulit itu di depanku.
“Jangan! Saya mohon jangan sentuh saya! Saya bersedia melakukan pekerjaan apa saja! Saya bisa mencuci, memasak, membersihkan seluruh ruangan, bahkan melakukan kerja kasar bila perlu! Sungguh! Tapi tolong, jangan suruh saya jadi pelacur!” Aku mencoba mengiba memohon belas kasihan, berharap Kotaro berubah pikiran. Tapi lelaki itu tampak tak bergeming. Dengan sekali hentak ia menarik lepas celananya.
Aku memalingkan wajah agar tidak melihat tubuhnya yang kini polos tanpa selembar busana. Tapi sial, rupanya perbuatanku itu justru membangkitkan gairahnya. Kotaro melompat menerkamku.
“Tidak!” Dengan sisa-sisa tenagaku aku menyeret tubuh mundur menghindarinya. Kotaro tertawa senang. Ia menangkap kakiku.
“Tolong! Tolong!” Aku menjerit minta tolong saat Kotaro menarik paksa kebaya dan kain jarikku hingga lepas.