Peristiwa bunuh diri yang dilakukan Diah membuat Kotaro sangat marah. Ia mengancam kami semua. Bila ada yang nekat melakukan hal serupa, maka kami semua akan dihukum. Tidak ada penguburan untuk jenazah Diah seperti layaknya orang yang meninggal. Jenazah itu dilemparkan begitu saja di ladang kosong.
Hari-hari selanjutnya aku berusaha tabah melewati kehidupan di dalam asrama. Sama seperti namaku yang kini diganti menjadi Sakura, nama Waginah juga diganti menjadi Yuki. Selama menghuni ianjo ini, entah berapa kali sudah aku menyaksikan kematian teman-temanku sesama penghuni asrama. Bermacam-macam sebab mereka menemui ajal. Ada yang meninggal karena bunuh diri, ada pula yang sekarat karena disiksa kemudian meninggal. Beberapa dari kami bahkan mengalami gangguan jiwa. Berteriak-teriak, menyerang tamu, dan berlari telanjang ke jalan raya. Mereka yang dianggap sakit dibawa pergi entah ke mana. Aku tak pernah mendengar kabar tentang mereka lagi.
Seminggu sekali dilakukan pemeriksaan kesehatan. Kami dibawa ke klinik militer milik Jepang. Seorang dokter Jepang memeriksa bagian bawah tubuh kami dengan alat besi. Denting bunyi alat-alat itu sanggup membuat bulu kudukku meremang. Aku memejamkan mata selama pemeriksaan, dan merasakan tidak nyaman sepanjang hari.
Pemeriksaan itu untuk mengetahui kami tertular penyakit kelamin atau tidak. Bila hasil pemeriksaan kesehatan menunjukkan gejala penyakit, penghuni asrama yang sakit tidak diijinkan melayani tamu dan diberi suntikan obat khusus nomor 606. Aku pernah mendapat suntikan obat khusus nomor 606 dua kali. Suntikan ini membuatku sakit kepala sepanjang hari. Demikian pula bila kami datang bulan, kami diijinkan untuk libur. Sedangkan yang sehat harus tetap harus bekerja. Beban pekerjaan mereka jadi bertambah. Ketika mengetahui aku mengalami pendarahan hebat, dokter itu memberiku obat khusus untuk menghentikan pendarahan.Pada hari libur itu kami diijinkan keluar ke pasar, atau berjalan-jalan di sekitar asrama. Namun kami tidak diijinkan keluar sendirian. Kami harus keluar secara berkelompok dan tetap diawasi oleh kempetai.
Kempetai melakukan patroli dengan masuk ke kamar-kamar untuk memastikan tidak ada penghuni asrama yang melarikan diri. Mereka melakukan patroli dua kali, yaitu di pagi hari sebelum para tamu datang, dan tengah malam, saat para tamu sudah pulang. Patroli kempetai juga dilakukan untuk menertibkan para tamu yang tidak tertib antri membeli karcis, tamu memaksa masuk sebelum gilirannya, atau mengusir tamu yang membuat keributan karena mabuk.
Setiap hari kami harus melayani sampai sepuluh orang tamu. Kami semua diwajibkan untuk patuh. Aku membuat diriku seperti batang pisang yang tak bernyawa, membiarkan mereka menari-nari di atas tubuhku. Aku telah mati rasa. Tamu-tamu itu datang dari kalangan militer Jepang dan sipil. Tingkah mereka bermacam-macam. Ada yang gemar memukuli tanpa sebab. Ada pula yang mengumpat dengan sumpah serapah merendahkan kami. Semua hinaan itu harus kami terima tanpa banyak bertanya. Namun, ada juga beberapa tamu yang berasal dari kalangan sipil atau militer berpangkat tinggi yang umumnya perlakuan mereka cukup baik. Mereka tidak mabuk dan tidak memperlakukan kami seperti samsak hidup. Beberapa kadang meletakkan uang di atas meja. Semula aku enggan menyentuh uang-uang itu. Namun belakangan uang-uang itu membantu menyelamatkanku dari kesulitan yang lebih besar.
Di sela-sela waktu tidak melayani tamu itulah aku mengajari Waginah membaca dan menulis. Kami menggunakan alat seadanya dan melakukannya secara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan Kotaro atau kempetai. Sebab bila ketahuan, kami berdua tentu dimarahi. Kadang aku menulis di tanah dengan menggunakan ranting atau kerikil. Meski dengan alat-alat yang sangat terbatas, Waginah belajar dengan serius.
***
Suatu hari saat antri di klinik untuk pemeriksaan kesehatan, sekonyong-konyong aku bertemu dengan Rumana. Dia keponakan Mak Saropah yang diambil paksa dari rumahnya. Saat itu kami duduk bersisian menunggu giliran masuk. Kesempatan itu kami gunakan untuk saling menyapa. Selama menghuni asrama, kami tidak diperkenankan berbicara dengan penghuni dari blok lainnya. Interaksi dengan penghuni satu asrama pun dibatasi. Mereka khawatir kami kabur bersama-sama. Padanya aku bercerita datang dari Wanapura. Dengan bersemangat Rumana mengatakan memiliki bibi yang bekerja di rumah Tuan Besar.
“Mbak tentu tahu rumah itu. Nama Tuan Besar sangat termasyhur di Wanapura. Bibi saya adalah Mak Saropah.”
Aku memandang Rumana haru. Andai saja Mak Saropah tahu aku bertemu keponakan yang disayanginya itu, ia tentu lega.
“Tentu saja aku kenal dia. Mak Saropah adalah orang yang mengasuhku,” bisikku dengan suara rendah. Wajah Rumana tampak terkejut menatapku.
“Jadi, Mbak adalah…,” Rumana membekap mulut dengan telapak tangannya. Matanya menatap wajahku lekat. "Den Ayu Padma," Rumana berbisik lirih. Aku mengangguk pelan. Ada pilu dan perasaan senasib yang datang menyergap. Air mata menggenangi pelupuk mata. Ada duka yang tidak bisa diungkapkan mengendap di dada. Tanpa berkata-kata lagi, kami saling menggenggam tangan erat untuk membagi kekuatan agar tetap tabah bertahan.
Setelah mengetahui aku adalah cucu majikan yang diasuh Mak Saropah, hubungan kami jadi akrab. Rumana tiba di Telawang lebih dulu dan menempati gedung yang berbeda dariku. Namanya diganti menjadi Yoko. Rumana mewanti-wanti agar aku tidak sampai hamil sebab para penghuni asrama yang ketahuan hamil akan mendapat hukuman berat. Sebelum berpisah, Rumana memberiku alamat toko obat milik seorang Tionghoa di pasar Telawang yang bisa membuatkan ramuan mencegah kehamilan.
“Tapi, bagaimana caranya aku ke toko itu?”
“Mbak bisa datang ke sana saat libur.” Rumana menatapku sebentar. Ia melirik kempetai yang berjaga. Setelah yakin kempetai itu tidak mendengar pembicaraan kami, Rumana melanjutkan bicaranya. “Mbak punya tamu yang memberikan uang, kan?”
Aku menjawab dengan anggukan. Mata Rumana berbinar lega.