Senyum di wajah Waginah menjelma jadi seringai lebar. Dengan sikap malu-malu ia merapatkan tubuhnya padaku yang sedang duduk di atas ranjang. “Mas Mamat yang mengirimiku.”
Aku berpaling menatapnya penuh selidik. “Mamat tukang bersih-bersih asrama ini?” Aku memastikan agar tak salah orang.
“Tentu saja. Memang Mamat yang mana lagi yang kita kenal?” Waginah merajuk. Masih dengan malu-malu, Waginah meneruskan ceritanya.
“Sudah sejak lama aku merasakan Mas Mamat punya perhatian khusus padaku, Mbak. Ia selalu menghiburku, terutama saat-saat aku rindu pada ibu dan adik-adik. Begitu pula bila ada tamu yang mabuk dan memukulku, Mas Mamat menguatkan agar aku tabah. Mas Mamat selalu mengatakan agar aku yakin, suatu hari nanti pasti bisa bebas dari tempat ini. Begitu yang selalu Mas Mamat katakan untuk membesarkan hati ini.”
Aku mengangguk pelan. Hatiku turut merasakan percikan bahagia saat Waginah bercerita tentang Mamat. Kehadiran dan perhatian seseorang dalam kondisi seperti ini sungguh besar artinya.
“Mas Mamat juga tidak pernah memandangku rendah, atau menganggapku wanita nakal. Ia selalu bersikap sopan. Mas Mamat tahu betul, kita semua ada di sini bukan karena kemauan sendiri.” Waginah tersenyum.
“Tadi pagi saat ia membersihkan kamar ini, Mas Mamat meletakkan surat ini di mejaku. Ia mengatakan mencintaiku, Mbak.” Aku melihat binar kebahagiaan memantul dalam matanya. Aku tahu, Waginah juga memiliki perasaan yang sama.
Mamat memang berbeda dengan tiga pekerja di ianjo ini. Ia memiliki empati pada penghuni asrama. Bila yang lain terkadang melecehkan dengan kata-kata cabul dan memperlakukan kami seperti barang bekas, maka hal itu tidak berlaku untuk Mamat. Tak sekali pun Mamat bersikap kasar atau melecehkan. Selintas aku teringat Dirga. Aku menggenggam tangan Waginah senang.
“Aku turut bahagia untukmu, Nah. Memiliki seseorang yang tulus mencintai kita dalam keadaan seperti ini sangatlah berharga. Tapi kau harus hati-hati. Jangan sampai Kotaro mengetahui hubungan kalian,” pesanku. Waginah mengangguk.
“Terima kasih, Mbak. Mbak Padma adalah orang pertama yang aku beri tahu tentang hal ini,” Waginah memelukku. Rasa haru menelusup di hatiku.
***
Hubungan Waginah dan Mamat berjalan dengan baik. Di depan para penghuni asrama lainnya, kedua sejoli itu bersikap seolah tidak ada apa-apa di antara mereka.
Memasuki Maret 1945, Nio membisikkan padaku bahwa kekuatan Jepang di Filipina telah rontok. Istana Malacanang berhasil dikuasai pasukan Amerika. Kabar itu didengar Nio dari radio miliknya. Nio menghabiskan hampir seluruh tabungannya untuk membeli radio itu. Diam-diam, Nio sering mendengarkan siaran dari luar negeri.
Sejak Nio membisikkan kabar itu, aku mulai sering melihat wajah-wajah para serdadu Jepang yang tegang. Pernah pula kujumpai Kotaro membungkuk sangat lama dengan raut wajah sedih. Kudengar adiknya terbunuh di Benteng Santiago.
Sejak kematian adiknya, Kotaro jadi makin mudah marah. Orang-orang sipil dan petinggi militer makin jarang datang. Uang yang kukumpulkan untuk membeli obat pun makin menipis. Pada Nio aku mengatakan mungkin tidak bisa membeli obat lagi karena tak punya uang.
“Bicara apa kau? Kau harus tetap datang mengambil obatmu sebab aku akan memberimu cuma-cuma!” Seraya mendelik Nio memarahiku.
“Sebagai sesama perempuan aku bisa memahami penderitaanmu, Sakura. Namun, aku tak bisa membantumu keluar dari tempat itu. Tapi, obatku bisa membantu mengurangi masalahmu. Hanya itu yang bisa kulakukan,” Nio menatapku serius. Aku mengangguk dengan mata basah.
Suatu malam seusai waktu berkunjung dan kempetai yang berpatroli keliling telah lewat, Waginah mengendap-endap menyelinap ke kamarku.
“Ada apa, Nah?” tanyaku dengan suara berbisik.
“Ada yang ingin kukatakan padamu, Mbak.” Waginah berjalan mendekati ranjang. Dengan sangat hati-hati Waginah duduk di atas ranjang. Aku mengikutinya. Cahaya lampu temaram jatuh di wajah Waginah yang terlihat gelisah. Jemari tangannya saling meremas.
“Kau sakit?” tebakku. Waginah buru-buru menggeleng.
“Tidak, Mbak.”
“Lalu?”
“Mas Mamat dan aku berencana lari dari tempat ini.”
“Apa?!”
“Sst! Pelankan suaramu, Mbak,” Waginah meletakkan telunjuknya di depan mulut. Menyadari kesalahanku aku segera memelankan suaraku.
“Kapan?”
“Subuh nanti. Saat pergantian penjaga, mereka semua biasanya berkumpul di halaman depan. Kami akan lari lewat pintu belakang.”