SAKURA DI TELAWANG

ni ketut yuni suastini
Chapter #16

KENTA NAKAMURA

Kematian Waginah seakan turut menerbangkan semangatku untuk bertahan hidup. Aku putus asa. Tubuh dan pikiranku teramat sangat lelah. Kehilangan rekan senasib membuatku seakan terhempas dalam kubangan pekat. Aku tenggelam makin dalam sedangkan cahaya yang kudamba tak jua kunjung datang. Tidak ada gunanya aku sembuh bila hanya kembali untuk menjadi sapi perah. Aku menolak makan dan minum obat. Akibatnya tubuhku jadi lemas.

“Nona harus makan.” Seorang jururawat perempuan berwajah pribumi berusaha membujukku. Ia membawakan sepiring bubur hangat. Aku memalingkan wajah menatap tembok.

“Kalau Nona begini terus, kapan bisa sembuh? Yang ada tubuh Nona semakin lemah.” Jururawat itu menyendok bubur dan menyorongkan ke wajahku. “Saya suapi, ya?”

Aku menggeleng pelan. Terdengar helaan napas kecewa. “Saya tahu Nona mengalami kejadian yang menyakitkan. Tapi, itu tak cukup jadi alasan untuk menyiksa diri sendiri.”

Aku membisu. Bila penderitaanku tak cukup, lalu seperti apa yang dianggap layak?

Brak!!

Tiba-tiba pintu ditendang paksa dan terbuka. Kotaro menerobos masuk. Aku dan jururawat itu sontak terkejut. Piring bubur dari seng di tangan jururawat itu jatuh ke lantai dan menimbulkan bunyi kerompyang yang ribut. Bubur berserakan di lantai. Kotaro berkacak pinggang dengan tampang garang. Aku gemetar mencengkeram tepai ranjang. Jururawat itu juga tak kalah takutnya. Wajahnya seketika pucat.

“Aku datang untuk menjemputmu, Sakura. Sudah cukup kau bermalas-malasan di sini! Cepat kemasi barangmu dan kembali ke asrama!” perintah Kotaro ketus. Ia melangkah lebar-lebar menghampiri ranjangku.  

“Tapi Nona ini masih sakit. Kondisinya belum pulih!” Dengan suara bergetar Jururawat itu berusaha menghadang langkah Kotaro. Mata Kotaro menatapnya bengis.

“Minggir! Aku tak minta pendapatmu! Aku akan membawanya sekarang juga!” Bentak Kotaro kesal.

“Tapi Dokter Kenta melarang pasien ini meninggalkan klinik. Ini perintah Dokter Kenta!” Meski ketakutan, jururawat itu kukuh bertahan. Kotaro menggeram. Kesabarannya telah habis. Tangannya mendorong kasar hingga jururawat bertubuh kurus itu terjajar ke belakang.

“Persetan dengan perintah Dokter Kenta! Siapapun yang mencoba menghalangiku akan mendapat akibatnya! Termasuk kau dan dokter keparat itu!” Suara Kotaro menggelegar memenuhi ruangan pertanda kemarahannya telah naik ke ubun-ubun. Dengan tak sabar Kotaro menyibak selimut dan menarikku bangun.

“Cepat! Aku tak punya banyak waktu mengurusi pemalas sepertimu!” Kotaro menyentakkan selang infus di tanganku hingga lepas. Seketika darah segar muncrat dan berceceran di lantai.

“Akh!” Aku menjerit menahan sakit seraya memegang punggung tanganku yang mengucurkan darah. Tak peduli dengan sakit yang kurasakan, Kotaro mencengkeram pergelangan tanganku dan menyeretku agar mengikutinya.

“Apa yang Tuan lakukan?! Jangan bawa pasien itu! Tolong! Tolong!” Jururawat itu berteriak panik.  

“Ada apa ini?! Mengapa membuat keributan di kamar pasien?!” Dokter Kenta datang tergopoh-gopoh. Stetoskop masih tergantung di lehernya. Dua orang jururawat muda mengikutinya. Dokter Kenta melihat darah yang berceceran di lantai. Tatapannya beralih cepat pada Kotaro yang menyeretku.

“Kotaro-san?” Dokter Kenta mengernyitkan keningnya. Ia kemudian membungkuk.   

“Rupanya Dokter Kenta yang dimaksud adalah putra Dokter Tetsuo Nakamura. Mengapa ada di sini?”

“Saya dipindahkan sementara dari Tarakan. Apa yang Kotaro-san lakukan padanya?” Dokter Kenta menatapku.

“Aku akan membawanya kembali ke ianjo. Dia sudah terlalu lama bermalas-malasan di sini,” Kotaro memberitahu.

“Tapi pasien itu belum sembuh. Dia di sini untuk dirawat, bukan untuk bermalas-malasan.”

Kotaro mendengkus.

“Itu sama saja. Dia harus kembali bekerja.”

“Maaf, tapi saya tidak mengijinkannya pergi sebelum kesehatannya pulih.” Dokter Kenta berjalan mendekati Kotaro. Kedua lelaki itu berdiri berhadapan dalam jarak yang sangat dekat. Postur tubuh Kenta lebih tinggi dari Kotaro. Wajah Kotaro merah padam. Ia tampak tersinggung karena Dokter Kenta menghadang jalannya.

“Dia bekerja di tempatku. Aku akan membawanya sekarang. Apa itu masalah untukmu, Dokter?” Kotaro bicara dengan penuh tekanan. Dagunya terangkat angkuh penuh kuasa. Sorot matanya menusuk ke dalam manik mata Kenta.

“Tentu saja, Kotaro-san. Saya dokternya. Sejak dia dibawa ke klinik ini, dia di bawah pengawasan saya. Pasien tidak akan ke mana-mana tanpa seijin saya,” tegas Dokter Kenta. Sudut bibir Kotaro terangkat membentuk seringai kejam.

“Jadi?”

“Jadi saya tidak mengijinkan pasien ini anda bawa pergi.”

“Mengapa kau cari gara-gara denganku, Dokter? Kita tidak pernah ada masalah sebelumnya.”

“Saya hanya melaksanakan tanggungjawab seorang dokter terhadap pasiennya. Saya sepakat dengan anda, Kotaro-san. Kita tidak ada masalah sebelumnya. Maka jangan memaksa saya untuk menjadikan ini sebagai ganjalan di antara kita. Lepaskan dia,” Dokter Kenta menunjuk ke arahku. Sorot matanya tegas tak terbantahkan.

“Kau mengancamku?”

“Sama sekali tidak, Kotaro-san.”

Kudengar gemeretak gigi Kotaro beradu. Cengkeramannya di pergelangan tanganku makin kuat hingga aku meringis kesakitan. Sedikit lagi kurasa Kotaro akan meremukkan tulang tanganku. Untuk beberapa saat ketegangan memenuhi udara. Aku menahan napas. Kedua orang Jepang ini seakan tengah bersiap untuk saling serang. Tapi yang kukhawatirkan tidak terjadi. Perlahan-lahan cengkeraman tangan Kotaro mengendur. Ia melepaskan tanganku dan mendengkus keras.

Lihat selengkapnya