SAKURA DI TELAWANG

ni ketut yuni suastini
Chapter #17

MELINTAS BATAS

Aku menghapal baik-baik alamat yang diberikan Kenta. Lelaki itu menepati janjinya untuk menjagaku sampai benar-benar pulih. Meski Kenta telah meninggalkan Telawang, namun Kotaro dan para kempetai itu tidak berani mengusikku. Jururawat mengatakan pasukan Sekutu telah melancarkan serangan ke Tarakan. Bila Tarakan jatuh, maka kekuatan Jepang benar-benar terdesak. Patroli serdadu Jepang semakin ketat. Kulihat mereka bersiaga. Aroma kecemasan bertebaran di udara. Malam terasa makin mencekam. Diam-diam, aku berdoa agar Dokter Kenta selamat. 

Genap sepekan setelah Dokter Kenta berangkat ke Tarakan, aku dikejutkan oleh sebuah dentuman dahsyat. Dentuman itu disusul oleh rentetan tembakan dan bunyi ledakan yang susul-menyusul. Aku bergegas keluar kamar. Kulihat para jururawat serta serdadu Jepang berlarian menyelamatkan diri. Sayap kiri bangunan klinik telah terbakar. Asap hitam mengepul. Tercium bau hangus daging terbakar.

Mengikuti naluri aku berlari menyelamatkan diri. Pesawat tempur Sekutu terus menggempur dan menjatuhkan bom. Ledakan dan kobaran api di mana-mana. Asap tebal membuat mataku perih. Aku batuk-batuk. Terdengar teriakan para serdadu yang kena tembak. Di tengah situasi genting, aku memutuskan kembali ke ianjo untuk mencari Rumana.

Sesampainya di ianjo, ternyata situasinya justru semakin parah. Bangunan-bangunan panjang itu telah hangus terbakar. Sebagian ada yang telah rubuh terkena bom. Mayat-mayat bergelimpangan. Tubuh Siro terbujur kaku dengan wajah hangus. Mayat Rusmini berpelukan dengan mayat seorang penghuni ianjo lainnya di bawah reruntuhan bangunan. Pakaian mereka koyak. Rupanya mereka tak sempat melarikan diri. Mataku mencari-cari Rumana di antara orang-orang yang berlari panik menyelamatkan diri.

“Rumana! Rumana!” teriakku histeris memanggil nama Rumana. Namun tidak ada yang peduli. Semua sibuk menyelamatkan diri masing-masing.

“Hei! Hei! Kau lihat Rumana?” Aku mencekal erat tangan seorang perempuan muda yang berlari panik. Aku tidak mengenalnya. Kemungkinan ia orang baru yang dibawa saat aku dirawat di klinik. Perempuan itu hanya mengenakan kain jarik yang dililitkan seadanya. Mungkin ia sedang mandi saat serangan terjadi.

“Ndak, Mbak!” Perempuan itu menggelengkan kepala. “Saya baru di sini dan belum kenal Rumana. Keadaan sedang kacau. Banyak yang mati tertimpa bangunan. Tolong lepaskan saya, Mbak. Saya ndak mau ikut-ikutan mati,” imbuhnya dengan sorot mata memelas. Ia hampir saja menangis. Aku segera melepaskan tangannya. Tak ingin berlama-lama, ia bergegas pergi meninggalkanku.

“Rumana! Rumana!” Aku kembali berteriak. Kali ini lebih keras hingga tenggorokanku terasa sakit. Kulihat tiga perempuan yang kukenali sebagai teman seasrama Rumana berlari. Bergegas aku mengejar mereka.

“Hei, kalian! Berhenti! Di mana Yoko? Kalian melihatnya?” Terengah-engah aku menghadang mereka dan menyebutkan nama Jepang Rumana.

“Aku melihatnya terkena peluru dan jatuh. Saat akan menolongnya, mendadak asrama kami roboh terkena bom!”

Aku terkesiap mendengarnya. Salah seorang dari mereka menarik tanganku. “Ayo, Mbak! Kita harus meninggalkan tempat ini!”

“Tidak! Aku harus menemukan Rumana dulu!” tolakku. Aku menepis tangan yang hendak menarikku pergi. Perempuan itu tampak jengkel.

“Ya sudah kalau Mbak ingin mati terkena bom!” Mereka bergegas berlari meninggalkanku. 

Suara mesin pesawat masih menderu-deru di atas kepalaku. Dadaku berdegup kencang melihat bangunan ianjo yang ditempati Rumana telah roboh. Seperti kesetanan aku berlari ke arah reruntuhan itu.

“Rumana! Rumana! Ini aku, Padma!” Aku mulai menggali puing-puing reruntuhan itu dengan kedua tanganku seraya terus memanggil nama Rumana. Ketika tanganku menyentuh ujung lembut seperti jari tangan manusia, semangatku terbit kembali. Dengan lebih bersemangat aku menggali. 

Namun, seketika aku menjerit saat tanganku menarik potongan tangan manusia yang telah hangus terbakar. Aku melemparkan potongan tangan itu dan menangis sejadi-jadinya.

“Tolong! Tolong!” Sayup-sayup terdengar suara erangan orang minta tolong.

Aku menajamkan telinga memastikan pendengaranku tidak salah. Suara erangan itu terdengar lagi. Datangnya dari bawah reruntuhan tembok papan yang cukup besar. Mendadak terdengar ledakan. Sebuah bom jatuh di halaman ianjo. Aku segera tiarap. Debu beterbangan menutupi pandangan mata. Setelah pandanganku cukup jelas, aku segera berlari ke arah suara erangan itu. Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaga, aku berusaha menggeser papan. 

“Rum! Rumana!” Aku terus memanggil nama Rumana. Suara rintihan itu makin jelas. Harapanku kian membuncah. Aku mengusap wajah kasar, tak peduli wajahku cemong belepotan arang.

“Bertahanlah, Rum! Bertahan!” Aku mengambil potongan kayu yang cukup besar dan menyelipkan ke bawah papan. Aku menengadah mengambil napas sebanyak-banyaknya sebelum mengentakkan kayu untuk mengungkit ujung papan hingga bergeser.

“Hya!” Teriakku kencang. Papan itu hanya bergerak sedikit.

“Hya! Hya!” Aku melakukan beberapa kali hingga tercipta celah yang cukup besar. Aku tersenyum senang. Lekas-lekas kudorong papan itu.

“Rum! Ini aku, Padma!”

Namun, senyumku seketika beku saat melihat sosok yang telungkup di hadapanku. 

“Kau?!” Aku membelalak melihat Kotaro menatapku. Wajahnya bersimbah darah, keningnya berlubang besar, sebongkah daging di bawah mata kiri hingga rahangnya juga lepas. Aku terhenyak melihat kedua kaki Kotaro telah buntung.

“Sakura, tolong bawa aku dari sini,” Kotaro berkata lemah. Tangannya terulur berusaha menggapai tanganku. Aku terpaku menatap tangan Kotaro.

“Sakura! Apa yang kau tunggu?! Lekas tarik aku!” Kotaro membentak tak sabar.

Aku menatap Kotaro nanar. Bayangan saat lelaki itu memerkosaku kembali datang mengepung. Juga saat-saat tubuhku disiksa, saat ia memerintahkan membuang mayat Diah, saat kami semua dipaksa menjadi budak nafsu, saat Waginah harus mati dan tak bisa berjumpa ibunya lagi. Bayangan itu terus menari-nari di kepalaku. Air mataku merembes. Perlahan kakiku bergerak mundur. Pandangan mataku mengabur oleh air mata.

“Sakura! Perempuan bodoh! Ayo!” Kotaro mengumpat kasar. Ia makin tak sabar. Deru pesawat kembali meraung di atas langit. Tubuhku bergetar. Aku mengusap air mataku.

“Pergi saja kau ke neraka!” bentakku. Aku segera berbalik dan berlari meninggalkannya.

“Sakura! Pelacur sialan! Kembali kau! Sakura!” Kotaro melontarkan sumpah serapah memaki dan berteriak. Rentetan tembakan berdesing memekakkan telinga. Aku terus berlari. Sejurus kemudian kudengar lelaki itu tertawa. Tawa yang sangat keras dan menakutkan, seakan datang dari alam kematian. 

“Kau memang biang onar, Sakura! Harusnya kau kuhabisi saja dulu! Kau ingat saat aku memperkosamu dulu? Bagaimana? Kau ketagihan, bukan? Hahahaha! Dan kawanmu yang bodoh itu, dia mati membusuk jadi santapan ikan-ikan!” Kotaro terus berteriak dan tertawa. Aku berlari sambil menutup kedua telinga. Air mata membanjiri wajahku.

Blar!!

Sebuah bom jatuh tepat di atas reruntuhan tempat Kotaro telungkup. Aku terlempar ke rawa-rawa sebelum semuanya terasa gelap.

***

Lihat selengkapnya