SAKURA DI TELAWANG

ni ketut yuni suastini
Chapter #18

AKU MENCINTAI NEGERI INI SAMA SEPERTIMU

Setelah menempuh perjalanan dua hari dua malam, kapal akhirnya tiba di Pelabuhan Tanjung Perak. Di pelabuhan banyak anggota Badan Keamanan Rakyat yang berjaga-jaga. Melewati bekas kantor pos kulihat ada beberapa serdadu Jepang. Sebagai pihak yang kalah perang, mereka diwajibkan menjaga tempat-tempat penting sampai pasukan Sekutu datang.

Cak Sis membawaku bertemu dengan kakaknya yang bernama Maryati. Perempuan bertubuh gempal yang sangat ramah dan gemar tertawa lebar itu biasa dipanggil Mbak Yati. Mbak Yati kemudian membawaku bertemu dengan Kapten Willie, komandan pasukan Sekutu di tangsi militer yang letaknya tak jauh dari penjara Kalisosok. Mereka adalah pasukan yang berasal dari Belanda. 

Mengetahui aku juga bisa berbahasa Belanda, Kapten Willie sangat senang. Kebetulan mereka juga kekurangan juru masak sebab jumlah tentara yang datang terus bertambah. Empat orang juru masak yang telah bekerja di markas itu kewalahan. Sebagai juru masak, kami diberikan tempat tinggal secara cuma-cuma di belakang barak tentara. Aku lega sebab aku tidak perlu mencari tempat tinggal. Aku berkenalan dengan tiga rekan Mbak Yati lainnya. Mereka adalah Mbak Sumi, Eti, dan Mas Hasan. Aku menempati kamar di samping kamar Mbak Yati.

Kedatangan pasukan Sekutu yang terdiri dari pasukan Inggris dan Belanda ke Surabaya terus bertambah. Mereka bertugas membebaskan dan memberi bantuan rehabilitasi pada tawanan perang yang ditahan di kamp interniran. Kedatangan pasukan yang makin banyak membuat tugas memasak di dapur kian sibuk. Mbak Yati menugaskanku untuk berbelanja ke pasar setiap pagi.

Suatu pagi di tanggal 19 September, saat akan ke pasar aku berpapasan dengan pemuda-pemuda Surabaya yang berduyun-duyun berjalan kaki menuju hotel Yamato. Wajah-wajah mereka tampak marah dan membawa senjata seadanya.

“Ada apa, Mbak?” Aku bertanya pada seorang perempuan yang juga akan ke pasar sepertiku.

“Lho, Mbak belum denger, toh?” perempuan itu balik bertanya. Aku menggeleng. Perempuan itu mendekatiku. “Kemarin pasukan Belanda mengibarkan bendera merah putih biru di hotel Yamato. Ya jelas saja itu bikin arek-arek marah. Wong kita ini sudah merdeka, kok. Mosok seenak udel mau mengibarkan bendera mereka tanpa ijin!” Perempuan itu bicara dengan berapi-api. Tampak jelas nalurinya sebagai orang Indonesia terusik.

“Sekarang Residen Soedirman sedang ke hotel Yamato untuk minta pada komandan Belanda agar bendera mereka diturunkan!” imbuh perempuan itu. Aku mengangguk.

Semakin siang, gelombang pemuda yang menuju hotel Yamato terus berdatangan. Sore harinya, dengan berbisik-bisik Mbak Yati memberitahu bahwa terjadi peristiwa perobekan bendera Belanda di hotel Yamato.

Setelah insiden yang terjadi di hotel Yamato, pasukan Sekutu tampak sangat marah. Selepas siang di bulan Oktober, tiba-tiba sebuah pesawat milik pasukan Inggris terbang rendah dan menyebarkan pamflet berisi ultimatum untuk warga Surabaya. Pamflet yang ditandatangani langsung oleh pimpinan pasukan Inggris di Jawa Timur itu memerintahkan agar seluruh pemimpin Indonesia dan para pemuda yang memiliki senjata agar melapor dan menyerah kepada tentara Sekutu.

Ultimatum itu membuat keadaan makin meruncing hingga kemungkinan perang sulit dihindari. Beberapa jam setelah penyebaran pamflet-pamflet itu, terdengar tembakan. Laskar pejuang menyatakan perlawanan. Beberapa kali tersiar laskar pejuang menyerang pasukan Sekutu yang melakukan patroli dan mengambil senjatanya. Mereka juga merampas senjata serdadu Jepang. Di tengah situasi panas ini, aku tetap bekerja sebagai juru masak di markas Sekutu.

***

Aku terengah-engah berlari keluar dari kobaran api saat alarm tanda bahaya dari pos penjagaan meraung-raung. Aku terjaga dengan nyawa belum terkumpul sempurna. Peluh membanjiri tubuhku, jantungku berdebar keras. Mimpi menakutkan itu kembali mengusikku. Lamat-lamat telingaku menangkap langkah-langkah kaki yang diseret paksa terdengar melintas di dekat jendela kamarku. Dengan tergesa-gesa aku menggelung rambut seadanya. Derap kaki dan suara-suara ribut mendekat. Terdengar gedoran kencang di pintu kamar. Aku melompat dari tempat tidur dan bergegas membuka pintu. Kulihat Sersan Jansen, berdiri di pintu kamar dengan wajah tegang.

Wat is het, Meneer?” tanyaku.

“Oh, Padma. Kami sedang mengejar penyusup yang berani-beraninya mencoba masuk gudang senjata. Untunglah ada anggota kami yang sedang patroli hingga aksi mereka ketahuan. Kami menembak salah seorang di antara mereka. Tapi, para bajingan itu berhasil kabur!” Sersan Jansen mengepalkan tangan geram. “Je ziet verdachte mensen?” Ia menanyaiku.

Nee,” aku menggeleng.

“Bukan aku tak percaya padamu, Padma. Tapi, kami akan menggeledah kamarmu,” Sersan Jansen menggerakkan kepalanya.

“Tidak apa-apa, Tuan.” Aku menggeser tubuhku memberi kesempatan Sersan Jansen dan rekan-rekannya masuk. Mereka membuka lemari dan mencari di bawah kolong ranjang. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kulihat anggota pasukan yang lainnya memeriksa kamar Mbak Yati dan kamar-kamar lainnya. Mbak Yati yang masih tampak mengantuk mendekatiku.

“Ada apa, Padma?” Mbak Yati berbisik di telingaku.

“Katanya ada penyusup,” jawabku singkat. Mbak Yati memeluk dirinya sendiri dengan raut wajah cemas. Ia mengusap-usap kedua lengannya mengusir dingin. Beberapa menit kemudian Sersan Jansen dan rekan-rekannya selesai memeriksa kamar kami. Wajahnya tampak sangat gusar.

“Cepat periksa semua tempat. Sisir sampai kampung-kampung sekitar markas! Satu dari mereka sedang terluka. Gerakan mereka pasti terhambat. Sial! Berani-beraninya mereka membuat ulah saat aku bertugas. Aku tak akan membiarkan mereka lolos!” seru Sersan Jansen pada rekannya yang lain. Mereka segera bergerak menjauh. 

“Ayo kembali ke kamar,” ajak Mbak Yati. Aku menggeleng. Rasanya sulit untuk memejamkan mata dalam situasi tegang begini.

“Aku sudah ndak ngantuk lagi, Mbak. Aku mau masak saja,” tolakku. Mbak Yati mendelik.

“Masak? Jam piro iki, Padma?”

“Tidak apa-apa Mbak. Kemarin kulihat beras di dapur habis. Aku ambil ke gudang saja. Nanti sekalian aku potong-potong sayuran agar Mbak Yati tidak perlu repot-repot lagi,” aku berusaha meyakinkannya. Mbak Yati mengedikkan kedua bahunya. 

“Terserah kau saja, Padma. Aku ke kamarku dulu ya.” Tanpa menunggu jawabanku Mbak Yati segera berbalik dan bergegas masuk kamar. Demikian pula para penghuni kamar yang lainnya. Kini tinggal aku sendirian. Aku teringat suara langkah kaki di bawah jendela yang kudengar tadi. Mungkinkah mereka para penyusup itu?

Aku segera mencium ada yang tak beres saat memasuki gudang. Jejak-jejak darah tercecer di lantai. Aku mengikuti jejak darah itu dan berhenti di depan pintu lemari yang tidak tertutup rapat. Aku ingat semalam, sebelum kembali ke kamar, aku telah menutup rapat semua lemari untuk menghindari tikus.

Dengan meningkatkan kewaspadaan aku meraih alu kayu untuk menumbuk ketan. Berjingkat-jingkat aku mendekati lemari itu. Naluriku mengatakan ada sesuatu yang tengah bersembunyi di dalam lemari itu. Aku telah bersiap, bila aku diserang, maka aku kan berteriak sekeras-kerasnya agar para tentara yang ada di luar segera datang. Jantungku berpacu tak beraturan. Tanganku mencengkeram alu erat-erat. Keringat mulai membasahi punggung dan ketiakku. Aku menghitung dalam hati sebelum menarik gagang pintu lemari.

“Hff!”

Belum lagi aku mengayunkan alu, sebuah tangan kasar yang terasa asin membekap mulutku, dan menelikung tanganku erat dari belakang hingga terasa sangat sakit. Sesosok tubuh yang berkeringat memelukku dari belakang. Aku mencoba meronta, tapi tenaga orang itu kuat sekali hingga aku nyaris kehabisan napas.

“Kami tidak akan menyakitimu, asal kau berjanji tidak akan berteriak,” orang itu berbisik di telingaku. Aku mengangguk lemah dan berhenti meronta. Setelah yakin aku tidak akan mengelabuinya, orang itu melepaskanku. Seperti seekor kijang aku segera melenting melompat menjauhinya dan berbalik.

Seorang lelaki berperawakan sedang, mengenakan ikat kepala, dengan kumis dan cambang lebat tengah menatapku waspada. Kulitnya yang kecokelatan berkilat oleh keringat. Tangannya memegang gagang belati yang terselip di pinggang. Lelaki itu bersiap bila aku melanggar janji dan berteriak.

“Aku tidak akan teriak. Kau bisa percaya padaku,” aku mencoba meyakinkannya. Lelaki itu menatapku beberapa jenak, sebelum menurunkan tangannya. Tanpa menanggalkan sikap waspadanya, ia kemudian mengetuk pintu lemari pelan.

“Keluar, Yok! Aman!” Pelan-pelan, pintu lemari terbuka. Seorang lelaki muda bertubuh kurus keluar. Ia tertatih-tatih memegang kakinya yang dibebat kain. Darah tampak menetes dari luka di balik bebatan kain itu.

“Huh! Untunglah. Aku hampir saja kehabisan napas di dalam sana!” Lelaki kurus itu meregangkan tubuhnya. Mendadak ia membelalak. Mulutnya menganga melihat kehadiranku yang baru disadarinya.

Lihat selengkapnya