SAKURA DI TELAWANG

ni ketut yuni suastini
Chapter #19

GERILYA

Seperti alap-alap aku mengendap-endap menuju gudang senjata. Sejak Gito dan Yoyok menyusup masuk, penjagaan di tangsi militer ini makin ketat. Selain menambah jumlah pasukan, para serdadu itu juga makin sering berpatroli.

Aku menggenggam erat kunci cadangan gudang senjata yang diam-diam kuambil saat membersihkan ruangan Kapten Willie. Truk-truk militer berjejer rapi di samping gudang senjata. Terdengar suara serdadu bercakap-cakap. Lekas-lekas aku melompat ke belakang salah satu truk. Empat orang serdadu yang sedang patroli berhenti. Mereka menyorotkan sebuah senter besar ke semua arah. Aku membungkukkan tubuhku dalam-dalam agar tidak kelihatan. Ketika akhirnya mereka menjauh, barulah aku keluar dari persembunyianku dan masuk ke dalam gudang.

Keesokan harinya, aku melewati pemeriksaan pos jaga tanpa kesulitan yang berarti. Aku melapisi keranjang besar yang selalu kubawa dengan tampah bambu. Para penjaga yang memeriksaku menduga tampah itu adalah bagian dasar keranjang, hingga tak memeriksa lagi ke dasarnya. Aku bertemu dengan Yoyok dan Gito di Pasar Turi. Mereka menyamar sebagai pedagang sayuran. Tiga pucuk pistol semi otomatis dan empat granat yang kusembunyikan di dasar keranjang anyaman bambu, segera berpindah tangan.

Sejak hari itu, aku menjadi bagian dari laskar pejuang. Kami selalu bertukar informasi. Diam-diam aku juga menguping pembicaraan dan rencana-rencana penyergapan pasukan Sekutu. Semua informasi itu kusimpan baik-baik dan kusampaikan pada Gito dan Yoyok. Dari mereka pula aku mendapat kabar bahwa Jenderal Mallaby telah tewas tertembak saat mobilnya dikepung di depan Gedung Internatio.

“Tewasnya Mallaby tentu membuat mereka akan mengerahkan kekuatan yang lebih besar lagi.” Gito berbicara dengan suara pelan sambil membetulkan letak topi capil lebar yang menutupi wajahnya.

“Pasar akan ramai. Kami harus membawa lebih banyak sayuran lagi,” Gito memandangku. Aku mengangguk paham akan pesan yang disampaikannya. Mereka membutuhkan senjata lebih banyak.

“Besok aku akan datang lagi,” janjiku sebelum pergi.

***

Sejak pulang dari pasar, pikiranku digayuti rencana untuk mengambil lebih banyak lagi amunisi dari gudang senjata. Mbak Yati bercerita tentang tambahan makanan yang dipesan khusus untuk tambahan pasukan Sekutu yang berasal dari pasukan Inggris. Mereka baru saja mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak. Sebagian dari mereka adalah prajurit Gurkha yang terkenal tangguh. Ada juga tambahan pasukan Belanda. Komandan mereka bernama Kapten Berend.

Jam makan adalah saat-saat paling sibuk bagi para juru masak. Kami berempat mondar-mandir membawa panci-panci besar berisi makanan, dan meletakkan di piring-piring yang berjajar rapi di atas meja. Para tentara mulai memasuki ruang makan. Mbak Yati menyenggol tanganku. Dengan gerakan dagunya ia memberitahu. “Lihat Padma, itu yang namanya Kapten Berend. Orangnya tampak kejam.”

Aku memandang ke arah yang ditunjuk Mbak Yati. Kulihat seorang laki-laki tinggi berbadan tegap, berambut seperti warna tembaga, berhidung runcing dengan bibir terkatup rapat berjalan memasuki ruang makan. Langkahnya tenang dan sangat percaya diri. Ia melirik sekilas padaku saat mengambil sepiring makanan di depanku. Tatapan kami bertemu. Lekas-lekas aku merundukkan pandangan. Melalui ekor mataku diam-diam aku mengamati gerak-gerik Kapten Berend. Lelaki itu duduk di depan Sersan Jansen dan bicara serius. Kulihat roman wajah Kapten Berend menegang. Wajahnya tampak makin menyeramkan. Kali ini aku sepakat dengan Mbak Yati, sosok Kapten Berend membuat bulu kudukku meremang.

***

Malam harinya aku menanti dengan berdebar. Ketika jam lonceng bulat besar di dekat pos penjagaan berdentang satu kali, aku melenting bangun. Di luar gelap dan sepi. Hanya derik jangkrik yang terdengar. Mataku mengawasi sekitar. Setelah yakin keadaan aman, aku bergegas melancarkan aksiku ke gudang senjata.

Aneka jenis senjata ada di dalam gudang itu. Beberapa di antaranya dari jenis terbaru yang belum pernah kulihat sebelumnya. Sayangnya, aku kesulitan mengambil senjata-senjata berukuran besar seperti senapan mesin jenis bren atau mortir sebab aku tidak bisa menyembunyikannya di bawah keranjang. Aku mengambil pistol dan kotak peluru lebih banyak dari biasanya. Semua senjata curian itu kubungkus dengan kain lebar yang kusembunyikan di balik stagenku. Aku juga menambahkan beberapa biji granat.

Namun mendadak aku menyadari sesuatu yang janggal. Senjata-senjata itu tidak diletakkan di lemari penyimpanan, atau dalam peti-peti besar yang dikunci rapat seperti biasa. Terlebih untuk senjata-senjata jenis baru. Di luar kebiasaan, semua senjata itu diletakkan di atas meja panjang seakan sengaja memudahkan siapa pun yang ingin mengambilnya. Gegas aku menarik laci meja kayu. Serenteng kunci untuk membuka lemari dan peti masih tersimpan di dalamnya. Seketika alarm tanda bahaya di kepalaku menyala. Rasanya ini terlalu mudah.

Samar-samar mataku menangkap sesosok bayangan yang bergerak di balik lemari besar. Gerakan yang tenang tapi penuh perhitungan, serupa hewan predator yang telah memprediksi gerak mangsanya. Tubuhku seakan membeku saat Kapten Berend keluar dari persembunyiannya. Ia menodongkan pistol ke kepalaku. Matanya berkilat marah.

“Sersan Jansen melaporkan padaku, belakangan ini senjata di gudang raib begitu saja, padahal ia telah memperketat penjagaan di malam hari. Sayangnya, ia tidak menyadari telah memelihara tikus pencuri di rumahnya sendiri!”

Aku bergerak mundur.

“Jangan coba-coba melawan atau kuledakkan kepalamu.”

Kapten Berend mendekatiku. Secepat kilat tangan Kapten Berend menarik paksa rambutku. Ia melilitkan rambutku di tangannya hingga kurasakan seluruh rambut dan kulit kepalaku tercerabut dari tempurungnya.

“Akh!” Sontak aku berteriak kesakitan. Mataku berair, kepalaku sakit sekali. Kapten Berend memutar dan mengguncang-guncangkan kepalaku keras, sebelum akhirnya ia membanting tubuhku ke lantai. Aku terpelanting dan melolong kesakitan. Kulihat sejumput rambutku telah berpindah dalam genggamannya. Mata Kapten Berend berapi-api menatapku.

“Kurang ajar! Jadi selama ini kau yang telah mencuri senjata-senjata itu! Kau bekerja sama dengan para pemberontak! Dasar maling!”

Dengan bertumpu pada kedua telapak tanganku, aku berusaha bangun. Sudah kepalang basah. Tak mungkin aku melarikan diri. Mataku membalas tatapan Kapten Berend dengan sama garangnya.

“Siapa yang anda sebut maling, Tuan? Saya?” Aku mendengkus dan mencibir. “Sungguh menggelikan! Bagaimana mungkin anda menyebut saya maling sementara beratus-ratus tahun bangsa anda telah mencuri hasil bumi di tanah ini! Anda menyebut saya maling di saat anda dan pasukan anda datang hendak merampas kebebasan kami! Siapa yang sesungguhnya pantas disebut maling di sini? Negeri ini sudah merdeka, Tuan. Jangan bermimpi anda bisa memperlakukan kami semena-mena seperti dulu. Suka atau tidak, anda harus angkat kaki dari sini!”

Telapak tangan Kapten Berend melayang dan mendarat keras di pipiku. Seketika pandangan mataku berkunang-kunang. Darah segar mengalir dari sudut bibirku. Belum lagi kesadaranku terkumpul utuh, Kapten Berend telah menyentak tanganku. Cengkeraman tangan Kapten Berend kuat menjepit pergelangan tanganku hingga terasa sangat perih. Ia menyeretku kasar.

Lihat selengkapnya