Hari itu, tanggal 10 Nopember 1945 langit Surabaya membara. Dengan gagah berani arek-arek Surabaya bertempur melawan serangan pasukan Inggris. Pertempuran sengit itu memakan banyak korban jiwa, baik dari pihak Inggris maupun Indonesia. Rakyat mengungsi meninggalkan Surabaya. Gito dan Amir memintaku ikut mengungsi ke Mojokerto.
Pertempuran Surabaya berakhir setelah tiga pekan. Selama tinggal di pengungsian kami mendapat bantuan dari para penduduk desa sekitar. Mereka menyumbangkan bahan makanan seadanya, dan menampung kami di rumahnya. Aku menumpang di rumah seorang janda pejuang bernama Mbak Muji. Suami Mbak Muji gugur dalam serbuan ke gudang senjata Don Bosco. Mbak Muji merawat luka-lukaku dengan telaten. Sejak kematian suaminya ia tinggal sendirian sebab mereka belum memiliki anak.
“Meski sedih, tapi aku bangga padanya, Padma.” Rindu menggenang di pelupuk mata Mbak Muji saat membicarakan mendiang suaminya.
Setelah pertempuran Surabaya berakhir, Gito dan Amir datang mengunjungiku ke Mojokerto. Aku senang mereka selamat. Mbak Muji menyuguhkan kopi dengan gula aren. Aroma harum kopi menguar nikmat.
“Komandan kami ingin bertemu denganmu, Padma. Kebetulan Komandan sedang ada di markas sekitar sini.” Gito memberitahu sambil meniup-niup kopinya yang masih mengepul.
“Untuk apa?”
“Tentu saja untuk berterima kasih padamu, Padma. Kau bagian dari perjuangan ini. Kau juga mempertaruhkan nyawamu untuk membantu kami,” sela Amir.
“Kau bicara seolah-olah aku telah melakukan hal yang luar biasa.”
“Tidak, Padma. Apa yang kau lakukan memang hebat. Komandan sangat ingin bertemu denganmu,” sergah Gito.
“Tapi…”
“Ayolah, Padma. Apa yang kau ragukan? Lagi pula Komandan orang yang baik. Dulu, waktu Mas Rojo suamiku masih hidup, Komandan pernah beberapa kali datang kemari. Tidak baik menolak niat baik orang.” Tiba-tiba Mbak Muji muncul dari dalam. Tiga pasang mata menatapku.
“Baiklah.”
Ketiga orang itu serentak tersenyum senang.
***
Gito dan Amir membawaku menyeberangi Sungai Boro. Mereka mengatakan setelah gencatan senjata para pemimpin pasukan mundur dan mengatur strategi di Markas Besar Umum yang letaknya berpindah-pindah agar tidak mudah diketahui musuh.
Setelah berjalan cukup lama, aku melihat sebuah rumah sederhana dari kayu dan papan serta beratap daun nipah, tersembunyi di antara dua pohon besar berdaun rimbun. Akar-akarnya mencuat di atas tanah hingga rumah tersebut seolah-olah tersembunyi di balik akar-akar raksasa. Di sekitarnya tersebar pondok-pondok darurat yang dibuat seadanya. Para pejuang tengah beristirahat. Ada yang tidur beralaskan daun, ada pula yang duduk melingkar berbincang serius. Beberapa orang tampak membersihkan senapan. Empat orang lelaki menenteng bedil berlari kecil menyambut kedatangan kami.
“Merdeka!” Gito dan Amir memberi salam seraya mengepalkan tangan.
“Merdeka!” Mereka menjawab dengan tegas.
“Siapa dia?” Salah seorang di antara mereka menggerakkan dagu menunjukku. Matanya yang waspada mengawasiku.
“Dia Padma. Orang yang membantu kita mendapatkan senjata dari gudang Sekutu. Komandan mengatakan ingin bertemu dengannya,” Gito memperkenalkanku. Aku mengangguk pada keempat orang itu. Seketika sikap mereka berubah lebih ramah.
“Tapi Komandan sedang berunding dengan pimpinan lainnya terkait rencana perundingan dengan pihak Inggris. Kalian tunggulah.”
“Baiklah kalau begitu,” Gito kembali menghampiriku. “Komandan sedang sibuk. Untuk sementara, kau bisa menunggu di pondok itu. Pondok itu ditempati Wandi dan Remi. Mereka baru saja memiliki seorang bayi.” Gito menunjuk salah satu pondok yang letaknya paling ujung. Dengan patuh aku mengekori Gito menuju pondok yang ia maksud, sementara Amir segera bergabung dengan rekan-rekannya.
Remi-istri Wandi-seorang perempuan yang ramah. Ia dengan senang hati menerima aku beristirahat di pondoknya.
“Dua bulan lalu, rumah kami didatangi pasukan Inggris yang mencari Mas Wandi. Saya mengatakan suami saya sudah enam bulan tidak pulang. Mereka mengancam akan menahan saya bila Mas Wandi tidak menyerahkan diri. Lalu, malam-malam Mas Wandi dan rekan-rekannya datang. Mas Wandi bilang tidak aman kalau saya hanya tinggal berdua dengan bayi kami. Mas Wandi memutuskan membawa saya kemari. Rencananya, kami berdua akan dititipkan ke orang tua saya di Magelang.” Remi bercerita sambil menimang-nimang bayinya.
“Siapa namanya?” Aku menatap bayi mungil berpipi gembil yang tidur pulas dalam buaian ibunya.
“Namanya Adinda,” Remi menjawab dengan mata berbinar.
“Nama yang cantik.”
“Mbak mau menggendongnya?”
“Bolehkah?” Aku balik bertanya. Remi mengangguk. Dengan hati-hati Remi menggeser badannya mendekatiku. Pelan-pelan ia menyerahkan Adinda padaku. Adinda menguap sebentar. Sejurus kemudian bayi itu menyurukkan kepalanya ke dadaku dan kembali terlelap. Aku dan Remi tertawa kecil melihat tingkah lucu Adinda. Pelan-pelan aku menggoyang-goyangkan badan dan bersenandung. Aku tersenyum menatap wajah polos Adinda. Hatiku melembut.
“Wah, Adinda senang digendong Mbak Padma. Sepertinya sudah pantas Mbak jadi seorang ibu,” kelakar Remi. Aku tersenyum malu. Mendadak bayangan wajah Kotaro dan wajah-wajah para serdadu yang meniduriku di ianjo muncul. Mulanya samar namun perlahan makin jelas. Aku gemetar, napasku tersengal-sengal, keringat dingin membasahi punggung dan keningku. Aku memejamkan mata. Remi yang melihat wajahku memucat menatap cemas.