SAKURA DI TELAWANG

ni ketut yuni suastini
Chapter #21

DITELAN BADAI DIHEMPAS GELOMBANG

Penerimaan dan kehangatan tersirap dari gerak laku ibu Dirga saat memelukku. Ia memerintahkan seorang pelayan menyiapkan kamar untukku. Pada orangtuanya Dirga mengatakan aku nyaris saja dihukum mati karena membantu pasukannya menyelundupkan senjata dari gudang Sekutu. Cara Dirga membanggakanku di depan orangtuanya membuatku rikuh dan malu.

“Kau sungguh pemberani, Padma. Sepulang dari Wanapura Dirga tak hentinya bercerita tentangmu. Akhirnya hari ini kita bisa bertemu. Kau boleh memanggilku dengan sebutan Ibu.” Perempuan itu mengerjapkan matanya yang jernih seperti mata kijang.

“Meski terlambat, aku ingin menyampaikan bela sungkawa atas wafatnya eyangmu, Padma. Tinggallah di sini sampai keadaan lebih aman,” Raden Broto menepuk bahuku.

Setelah menitipkan aku pada kedua orangtuanya, Dirga kembali bergabung dengan pasukannya di Jogjakarta. Perlawanan masih terus meletup di beberapa daerah. Suasana di Jakarta kian memanas saat tentara Inggris mengepung daerah Kwitang dan mobil Menteri penerangan Amir Sjarifuddin ditembaki NICA. Jakarta sudah tidak aman lagi menjadi ibu kota, hingga dengan sangat hati-hati di awal tahun 1946 ibu kota dipindah ke Jogjakarta.

Sesekali Dirga datang menjengukku. Sebagai bangsawan terpandang, Dirga memiliki rumah yang sangat megah dan luas. Rumah Dirga membuatku terkenang pada rumah Eyang di Wanapura. Kecanggungan yang semula kurasakan perlahan mencair karena Ibu Dirga betul-betul memperhatikanku dengan baik. Dulu Ibu Dirga memiliki usaha pembatikan yang terkenal di Rembang. Sayang, sejak Jepang memberlakukan berbagai macam pelarangan hingga kedatangan pasukan Sekutu, tempat usaha itu tak lagi beroperasi. Ketika aku menyatakan keinginan untuk belajar membatik, dengan senang hati Ibu Dirga mengajariku.

“Aku belum pernah melihat Dirga sebahagia sekarang. Sejak kedatanganmu di rumah ini, wajahnya berseri-seri,” tangan Ibu Dirga yang tengah menggerakkan canting di atas kain berhenti. Ia memandangku serius. “Orang yang sedang jatuh cinta sangat mudah ditebak, Padma. Karena getaran cinta itu bisa dirasakan pula oleh orang-orang di sekitarnya. Aku bisa merasakan putraku sangat mencintaimu,” Ibu Dirga bicara dengan terus terang.

Sejujurnya aku menyukai orang yang terus terang seperti Ibu Dirga. Aku tidak perlu menerka-nerka apa yang diinginkannya sebab rasa senang atau tidak disampaikan secara gamblang dan jelas. Namun, keterusterangannya kali ini membuatku jengah. Perasaan malu menjalariku hingga kurasakan wajahku merona.

“Meski aku juga mendamba kau jadi menantuku, tapi tentu saja keputusan itu ada di tanganmu. Apa kau juga mencintai Dirga, Padma?”

Aku menunduk seolah-olah leherku diganduli bola besi hingga sulit mengangkat wajah. Di balik kain putih yang baru kububuhkan cairan malam tanganku saling meremas. Berbagai kekhawatiran memenuhi tempurung kepalaku. Seperti dihantam bandul-bandul berduri, aku nyeri sekaligus ngeri. Ibu Dirga masih menunggu jawabanku dengan sabar. Di balik sikap diam menunggu itu, aku tahu tak bisa menghindar. Perempuan di hadapanku ini menginginkan jawaban.

“Ya, Ibu. Saya juga mencintai Mas Dirga. Namun demikian saya tidak bisa menerima lamarannya.”

“Mengapa?”

“Saya tidak bisa menyingkirkan masa lalu saya. Ia terus datang menjadi penghalang.”

“Dirga tahu tentang itu?”

“Ya. Saya telah berterus terang pada Mas Dirga.”

“Dan bisa kutebak ia tidak mempermasalahkannya bukan?”

“Ya.” Aku menjawab pelan dan mengangguk sekilas.

Ibu Dirga tersenyum dan menyentuh bahuku. “Padma, ketika kau menikah harusnya kau hanya menjalani hari ini dan menatap masa depan bersama pasanganmu. Jangan mencemaskan yang lalu-lalu karena semua itu telah tertinggal di belakang. Bila Dirga tidak menganggap masa lalumu sebagai masalah besar, maka aku dan suamiku juga tidak. Jadi, mestinya tak ada yang perlu kau cemaskan lagi, bukan?”

Aku terdiam.

“Padma, maukah kau menjadi istri anakku?”

Lihat selengkapnya