SAKURA DI TELAWANG

ni ketut yuni suastini
Chapter #22

SETANGKUP CINTA DITELAN LARA

“Jadi kau menjadi ransum Jepang? Setiap hari tidur dengan mereka?” Untuk yang pertama kalinya Ayah menatap ke dalam mataku. Sungguh mengherankan. Setelah pengakuanku tadi ia merasa masih perlu menanyakan hal itu lagi. Aku mengangguk mengiyakan.

“Bikin malu keluarga saja!” Sentak ayahku dengan wajah merah padam. Ia terlihat sangat marah.  

“Mengapa kau lakukan itu, Padma?!” Suara ayahku terdengar menuntut. Amarahku seketika tersulut.

“Mengapa? Apa barusan Romo sedang bertanya mengapa saya jadi ransum Jepang? Sungguh aneh. Apa Romo lupa? Bukankah Romo dan Ibu yang menyerahkan saya agar bekerja untuk Jepang?!”

“Mereka bilang kau bekerja di pabrik.”

“Pabrik itu tak pernah ada, Romo. Kapal yang saya tumpangi tidak berangkat ke Jepang tapi berlabuh di ianjo Telawang, tempat saya harus melayani puluhan serdadu Jepang tiap hari!” teriakku sengit.

“Sungguh aku tidak tahu bahwa mereka berbohong. Tapi, mengapa kau tak berusaha lari, Padma?”

“Apa saya bisa, Romo? Apa Romo bisa melawan Jepang? Bahkan Romo sendiri begitu takut mendapat hukuman dari Jepang hingga menyerahkan saya begitu saja!” tandasku. Ayahku seketika gelagapan. Ia tampak tak siap saat kata-kata yang menjelma ujung senapan itu kuarahkan ke dadanya. Lelaki yang seharusnya jadi tempatku bersandar itu kebingungan.

“Romo, pernahkah Romo memikirkan saya? Saya sungguh penasaran. Setelah saya dibawa pergi, pernahkah Romo mencari tahu kabar saya?”

Ayahku terdiam. Sungguh aneh, keterdiamannya itu menerbitkan rasa nyeri di ulu hatiku.

“Lihat saya, Romo. Apakah Romo betul-betul menganggap saya sebagai anak? Saya sangsi dengan alasan Romo dulu yang mengatakan ibu sayalah yang menggoda Romo. Namun demikian bila benar begitu, apakah itu menampik kenyataan bahwa saya darah daging Romo? Apa rasa benci Romo lebih kuat dari ikatan darah kita?” tuntutku.

"Romo, apakah begitu memalukan mengakui saya sebagai anak Romo?"

Tubuh ayahku terhuyung. Tangannya menggapai lemari untuk menopang berat badannya. Di mataku wajahnya tampak seperti kanak-kanak yang terpojok dalam kebingungan. Bagaimana ayahku bisa melewati hari-harinya tanpa kepedulian apa pun pada sekitar termasuk nasib darah dagingnya sendiri? Apa semua peristiwa-peristiwa hidup yang dialaminya hanya terapung di permukaan dan tak sedikit pun terserap membentuk ayahku jadi manusia yang lebih dewasa? Aku teringat Eyang. Kini kusadari kekecewaan yang sering tersirat dalam pandangan matanya bila menatap anak semata wayangnya ini.

Ayah meninggalkan kamarku tanpa mengatakan apa-apa lagi. Ia pergi dengan kepala tertunduk kalah. Waktu berlalu menyayat bagai sembilu. Aku merenung-renung memikirkan apa yang sebaiknya kulakukan dalam situasi yang telah menjadi kacau ini. Dirga datang mencariku namun aku mengatakan ingin menenangkan diri dulu. Ia meninggalkanku dengan gelisah. Menjelang tengah malam, terdengar ketukan halus di pintu kamarku. Kali ini kudapati Ibu Dirga yang berdiri di ambang pintu.

“Boleh aku masuk, Padma?”

Lihat selengkapnya