“Jadi kau menjadi ransum Jepang? Setiap hari tidur dengan mereka?” Untuk yang pertama kalinya Ayah menatap ke dalam mataku. Sungguh mengherankan. Setelah pengakuanku tadi ia merasa masih perlu menanyakan hal itu lagi. Aku mengangguk dengan kecewa. Ayah seharusnya jadi orang yang paling paham apa alasanku berangkat dua tahun lalu.
“Bikin malu keluarga saja! Jangan-jangan kau memang sengaja ingin mempermalukan keluarga kita?!” Sentak ayahku dengan wajah merah padam. Sorot matanya berapi-api penuh tuduhan. Ia terlihat sangat marah. “Mengapa kau lakukan itu, Padma?!” Suara ayahku terdengar menuntut. Seketika amarahku tersulut.
“Mengapa? Apa barusan Romo sedang bertanya mengapa saya jadi ransum Jepang? Sungguh aneh. Apa Romo lupa? Bukankah Romo dan Ibu yang menyerahkan saya agar bekerja untuk Jepang?!”
"Jadi, kau menuduh kami yang memaksamu melakukan perbuatan hina itu?"
"Saya tidak menuduh, Romo. Saya hanya coba mengingatkan. Adanya saya menjadi jugun ianfu karena Romo dan Ibu yang mendorong saya ke sana."
“Mereka bilang kau bekerja di pabrik.”
“Pabrik itu tak pernah ada, Romo. Kapal yang saya tumpangi tidak berangkat ke Jepang tapi berlabuh di ianjo Telawang. Di tempat itu saya menjadi budak nafsu. Kebebasan, hidup, dan martabat saya sebagai perempuan telah dikoyak-koyak," teriakku sengit. Ayahku seketika gelagapan. Ia tampak tak siap saat kata-kata yang menjelma ujung senapan itu kuarahkan ke dadanya. Lelaki yang seharusnya jadi tempatku bersandar itu kebingungan.
“Sungguh aku tidak tahu bahwa mereka berbohong. Tapi, mengapa kau tak berusaha lari, Padma?”
Pertanyaan bodoh!
Aku menatap wajah ayahku antara terluka sekaligus kasihan. Bagaimanapun aku berusaha menjelaskan, ayahku tidak akan mengerti.
“Apa saya bisa, Romo? Apa Romo bisa melawan Jepang? Bahkan Romo sendiri begitu takut mendapat hukuman dari Jepang hingga menyerahkan saya begitu saja!” tandasku. Aku mendekat dan berdiri tepat di hadapannya.
“Romo, pernahkah Romo memikirkan saya? Saya sungguh penasaran. Setelah saya dibawa pergi, pernahkah Romo mencari tahu kabar saya?”
Ayahku terdiam. Sungguh aneh, keterdiamannya itu menerbitkan rasa nyeri di ulu hatiku. Kutatap dalam-dalam manik mata ayahku. Aku masih berharap melihat sedikit saja kasih sayang dan perlindungan seorang ayah di dalamnya. Namun lagi-lagi aku harus membuang jauh-jauh harapan itu.
“Lihat saya, Romo. Apakah Romo betul-betul menganggap saya sebagai anak? Saya sangsi dengan alasan Romo dulu yang mengatakan ibu sayalah yang menggoda Romo. Namun demikian bila benar begitu, apakah itu menampik kenyataan bahwa saya darah daging Romo? Apa rasa benci Romo lebih kuat dari ikatan darah kita?” tuntutku.
Ayahku tak sanggup menjawab.
"Romo, apakah begitu memalukan mengakui saya sebagai anak Romo?"
Tubuh ayahku terhuyung. Tangannya menggapai lemari untuk menopang berat badannya. Di mataku wajahnya tampak seperti kanak-kanak yang terpojok dalam kebingungan. Bagaimana ayahku bisa melewati hari-harinya tanpa kepedulian apa pun pada sekitar termasuk nasib darah dagingnya sendiri? Apa semua peristiwa-peristiwa hidup yang dialaminya hanya terapung di permukaan dan tak sedikit pun terserap membentuk ayahku jadi manusia yang lebih dewasa? Aku teringat Eyang. Kini kusadari kekecewaan yang sering tersirat dalam pandangan matanya bila menatap anak semata wayangnya ini.