Gemericik suara air yang jatuh di atap peron Stasiun Batavia Koningsplein seakan menyambutku. Suasana muram langsung terasa. Aku duduk memencil di pojok menyaksikan tentara NICA Belanda dan tentara Inggris yang melakukan patroli. Setelah dua kali berganti kereta tanpa tujuan yang jelas dan hanya mengikuti kerumunan orang, akhirnya kereta terakhir yang kutumpangi berhenti di sini. Malam telah lama meninggalkan petang. Aku memutuskan untuk menginap di stasiun sambil menyusun rencana yang akan kulakukan besok. Setelah berbagai peristiwa buruk yang kualami, terdampar sendirian di tempat asing kurasa bukanlah hal yang menakutkan lagi.
Aku merebahkan tubuh di lantai stasiun yang dingin. Hujan mewariskan gerimis yang awet. Buntelan berisi pakaian kugunakan sebagai bantal kepala. Sekumpulan nyamuk datang meriung dan berpesta di atas tubuhku. Aku menepuk mereka dengan gemas. Tak akan kubiarkan mereka menghisap darahku dengan mudah.
Aku menatap langit-langit peron dengan mata nyalang. Tidak ada yang lebih buruk dari sebuah penolakan dan penghakiman. Orang lain seakan boleh menginjak-injak dirimu seenaknya seolah kau hanyalah kotoran menjijikkan yang harus disingkirkan jauh-jauh. Tidak ada ruang untuk membela diri, sebab pembelaan diri hanya akan membuat keadaan makin buruk.
Ah, sudahlah! Untuk apa menyiksa diri dengan terus mengorek-ngorek rasa sakit? Bukankah penyesalan hanya membuatku makin terpuruk? Aku mencoba memejamkan mata. Aku harus mengumpulkan tenaga agar mampu mencari pekerjaan di Jakarta yang luas ini.
“Hei, benar! Aku di Jakarta!” Seperti boneka pegas tubuhku seketika melenting bangun, mengejutkan seekor tikus curut yang mengendap-endap hendak mendekati kakiku. Pontang-panting hewan itu mencicit lari. Mendadak aku teringat alamat yang diminta Kenta agar kuhapalkan tempo hari. Alamat itu ada di Jakarta.
Nona, bila kelak berhasil keluar dari tempat ini dan tak punya tujuan, datanglah ke alamat ini di Jakarta. Namanya Pak Zul, dia adalah kenalan saya. Katakan saja, saya yang menyuruhmu datang. Ia pasti membantu!
“Tentu saja. Besok aku akan mencari alamat Pak Zul,” gumamku bicara seorang diri. Dengan senyum masih tersisa di bibir, aku kembali merebahkan tubuh di lantai stasiun. Semangat yang kembali terbit membuat tidurku kali ini lebih nyenyak.
***
Tanpa kesulitan yang berarti aku berhasil menemukan alamat Pak Zul. Bersama istrinya, Mbak Elok, Pak Zul memiliki sebuah toko kelontong di daerah Tanjung Priok. Tidak banyak toko yang masih buka dalam masa genting begini. Agaknya, Pak Zul orang yang cukup berpengaruh dan disegani hingga usahanya tidak mendapat gangguan yang berarti. Usia Pak Zul dan Mbak Elok terpaut cukup jauh. Mengetahui aku adalah teman Kenta, lelaki paruh baya itu dengan senang hati menampungku.
“Dokter Kenta orang yang sangat baik. Saat itu ia membantu mengobati adikku yang panas tinggi. Bila tak ada Dokter Kenta, mungkin saja nyawa adikku tak tertolong lagi. Aku sangat berhutang budi padanya. Jika Dokter Kenta sampai mengirimkanmu kemari, tentulah kau orang yang istimewa baginya. Aku tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan Dokter Kenta. Kau jangan ke mana-mana lagi, Padma. Tinggallah di sini,” tegas Pak Zul.
Pak Zul memberiku sebuah kamar di belakang rumahnya. Keesokan harinya ia mengajakku bekerja di tokonya. Aku percaya, tersesat tak selalu berarti buruk. Terkadang tersesat membawamu bertemu dengan keberuntungan yang tak terduga. Bahkan tak jarang menemukan takdirmu.
***
Takdir itu datang menghampiriku suatu senja, kala langit memerah dan perlahan semua menjadi temaram. Aku tengah duduk di tepi dermaga, membiarkan angin laut menampar wajahku. Setiap sore selepas bekerja di toko Pak Zul, aku sering menghabiskan waktu menyepi di tempat ini. Senja yang datang selalu menghadirkan perasaan rindu di hatiku. Tak jarang mataku basah kala teringat teman-temanku yang menemui ajal di Telawang. Bila perasaan itu datang, aku mendoakan mereka dan menaburkan kelopak bunga mawar ke air laut.
"Tentunya dia orang yang sangat istimewa bagi Nona sehingga Nona selalu datang kemari mendoakannya." Sebuah suara ramah dengan logat sedikit sengau menyapa dalam bahasa melayu yang cukup fasih dan tidak patah-patah.
Aku menoleh ke arah datangnya suara. Kulihat seorang lelaki asing berambut pirang, dengan wajah berbintik-bintik tengah berjalan mendekatiku. Ketika ia tersenyum sepasang matanya yang berwarna biru seakan-akan ikut tersenyum. Ia kini berdiri sejajar denganku.
"Dia tentu bahagia memiliki orang yang selalu mendoakannya."
"Ya, saya berharap mereka bahagia dan tenang di sana."
"Mereka?" Lelaki itu mengulang dengan kening berkerut keheranan. Aku mengangguk.