SAKURA DI TELAWANG

ni ketut yuni suastini
Chapter #24

SEBUAH ASA DI TENGAH DUKA

Keanehan pertama kudapati pagi-pagi saat mencuci perabot di dapur. Dengan kurang ajar Ujang menjawil bokongku.

“Apa-apaan kau, Jang?!” Aku mendelik marah. Nyaris saja aku menamparnya.

“Eh, maaf. Tidak sengaja,” Ujang cengar-cengir. Meski mulutnya mengucap kata maaf, tapi senyum di bibirnya menunjukkan ia tak menyesal sama sekali. Sorot matanya justru dengan sangat bernafsu menatap dadaku. Dengan kesal aku meninggalkan Ujang di dapur. Hatiku bertanya-tanya apa gerangan yang membuat lelaki itu bertindak kurang ajar padaku.

Keganjilan berikutnya kudapati dari seorang pelanggan yang biasa kupanggil Yu Ratih. Setelah berkasak-kusuk dengan Wati, perempuan yang biasanya ramah itu berubah ketus. Aku bisa merasakan tatapan jijik dari sorot matanya.

“Mbak Elok, kau harus berhati-hati bila memelihara ular di rumahmu. Jangan sampai kau terlena dengan mulut manisnya. Lengah sedikit, ular ini berbalik mematukmu!” Yu Ratih sengaja bicara keras-keras agar terdengar olehku.

“Ular apa maksud Yu Ratih? Siapa yang memelihara ular?” Mbak Elok tampak belum paham dengan ucapan Yu Ratih.

“Itulah. Mbak Elok terlalu baik,” mata Yu Ratih melirik sengit padaku. “Pokoknya, kau harus hati-hati menjaga suamimu. Jangan sampai diembat perempuan tak tahu diri! Sudah ditolong, eh malah mentung!” Mulut Yu Ratih mencong-mencong saat bicara. Hatiku bisa meraba sindiran itu dialamatkan padaku. Kulihat Wati tersenyum penuh kemenangan.

***

Sepanjang hari aku merasa seperti tercekik. Telingaku seakan terbakar mendengar sindiran pedas itu. Belum lagi Ujang yang terus menatapku dengan tatapan seperti anjing birahi. Sungguh membuatku risau. Aku merasa tersiksa. Ketika malam tiba dan akhirnya aku bisa merebahkan tubuhku di atas kasur kecilku, aku merasa lega. Untuk sesaat aku terbebas dari situasi yang menjeratku. Mendadak pintu terkuak dan Ujang menerobos masuk. Seketika aku bangun.

“Apa yang kau—” belum tuntas kalimatku Ujang sudah menerkam hingga aku terlentang kembali.

"Ujang! Sudah gila kau!"

“Ayolah, Padma. Jangan belagak suci. Aku sudah tahu siapa dirimu.” Mulut Ujang berusaha menciumku. Dengan marah aku berusaha melawan. Kakiku berusaha menendang tubuhnya yang menindihku.

“Hentikan, Jang! Keluar dari kamarku sekarang juga atau aku akan berteriak agar Pak Zul mengusirmu!” Aku menggeleng ke kiri dan kanan berusaha menghindari serbuan mulutnya.

“Berteriaklah, Padma. Paling-paling mereka akan menertawakanmu. Mana ada pelacur diperkosa?” Ujang tertawa. Mendadak darahku tersirap. Tubuhku mengejang.

“Siapa yang kau sebut pelacur?”

“Masih berpura-pura juga kau, Padma. Aku tahu kau biasa melayani serdadu Jepang. Aku juga ingin mencicipi tubuh molekmu ini seperti mereka. Tenang, Padma. Aku tidak minta cuma-cuma. Aku bersedia membayarmu!”

“Cuih!” Aku meludahi muka Ujang. Sebelum Ujang menyadari, aku sudah menghantamkan ujung lututku sekuat tenaga ke selangkangannya hingga Ujang jatuh terjengkang. Ia mengerang di lantai. Kesempatan itu kugunakan untuk berteriak.

“Tolong! Tolong!”

Dalam sekejap, Pak Zul, Mbak Elok, dan Wati telah berlarian datang ke kamarku. Pak Zul tercengang menyaksikan Ujang yang kelojotan di lantai sambil memegang selangkangannya. “Apa yang terjadi, Padma?”

“Dia hendak memperkosaku!” gemetar tanganku menunjuk Ujang.

“Dusta! Dialah yang memaksaku masuk ke kamarnya! Dia merayuku!” Ujang berteriak. Kemudian ia menudingku. “Bekas pelacur sepertimu, tentu tidak tahan sendirian terlalu lama!”

Mbak Elok dan Pak Zul serentak menatap Ujang. “Siapa yang kau maksud pelacur, Jang?” Mbak Elok mendekati Ujang. Matanya memindai mata Ujang yang gelisah.

Lihat selengkapnya