SAKURA DI TELAWANG

ni ketut yuni suastini
Chapter #25

JALAN PANJANG MENCARI KEADILAN

Mengungkap kebenaran bukan untuk mewariskan dendam. Tapi untuk menegakkan hak-hak sebagai manusia yang telah diabaikan. 

Jogjakarta, 1995

Padma terbangun oleh suara cicit anak ayam yang ramai. Seketika hatinya merasa teduh. Sudah beberapa hari ia menginap di penginapan sederhana milik warga setempat di kawasan Kaliurang. Setelah pengambilan gambar dan wawancara yang dilakukan oleh pihak LBH, Padma sengaja meminta Menur agar memilihkan tempat yang tidak terlalu ramai. Sejak meninggalkan tanah air hampir setengah abad lamanya, akhirnya Padma bisa mencium lagi aroma tanah yang begitu dirindukannya.

Padma menyingkap selimut dan beranjak turun. Matanya melirik jam kukuk kuno dari kayu pinus yang menempel di dinding. Bandulnya yang berwarna tembaga bergerak pelan. Masih pukul enam pagi, namun ia telah mendengar suara orang menyapu dan bercakap-cakap di luar. Padma merasakan dingin lantai di telapak kakinya saat melangkah menuju jendela. Pelan-pelan dibukanya jendela yang lebar khas bangunan lama.

Udara dingin menyerbu masuk. Bunga mawar merah mekar berdampingan dengan bunga melati kecil-kecil berwarna putih. Titik-titik embun masih tersisa di kelopak dan daunnya. Padma tersenyum. Perempuan muda pegawai penginapan yang mengenakan kebaya dan jarik batik mengangguk ramah padanya. Menjelang siang Menur datang menyambangi Padma. Padma sudah mandi dan bersiap-siap.

"Apa Bu Padma masih ingat nama tempatnya?"

"Karangluwih. Kita mulai mencari Nunuk dari desa asalnya."

***

Setelah melewati hamparan sawah hijau berlatar Gunung Merbabu dan Gunung Telomoyo, mereka tiba di desa Karangluwih. Menur memarkir mobilnya di dekat gapura desa dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Hampir tidak ada lagi yang mengenal nama Nunuk di desa ini. Beruntung mereka bertemu seorang perempuan tua seumuran Padma yang membawa seikat besar ranting kering di punggungnya.

"Nunuk yang dulu pernah kerja sama Jepang?"

"Ya, betul. Nunuk itu yang kami cari."

"Mengapa kalian mencari Nunuk?"

"Saya temannya," sahut Padma cepat. Perempuan itu mengamati penampilan Padma yang terlihat seperti orang kota. Ia meletakkan bawaannya.

"Rumahnya ada di ujung jalan yang ada pohon asem tua. Tapi, Nunuk sudah lama tidak tinggal di sini. Rumah itu sekarang hanya ditempati Pardiono, kakak lelakinya."

Setelah mengucapkan terima kasih, Padma dan Menur bergegas mencari rumah yang dimaksud. Tidak sulit menemukan rumah itu. Perempuan yang mengaku istri Pardiono tampak gelisah saat Padma menyebut nama Nunuk.

"Mengapa mencarinya kemari? Nunuk sudah tidak tinggal di sini."

"Lalu di mana alamat Nunuk sekarang?"

Terdengar suara batuk-batuk dari dalam rumah. Perempuan itu merendahkan nada suaranya.

"Aku tidak tahu. Sudah lama kami putus hubungan dengannya. Kalian berdua pergilah sebelum suamiku tahu. Penyakitnya bisa kambuh kalau ia mendengar nama Nunuk."

"Tapi Bu Nunuk masih hidup, kan?" desak Menur.

Perempuan itu tak langsung menjawab. Ia melirik ke dalam rumah sebelum bicara pelan. "Ya. Dia belum mati."

"Apa ada saudara lain yang mungkin masih berhubungan dengan Bu Nunuk? Tolonglah, Bu. Urusan ini sangat penting," Menur masih tak ingin menyerah.

"Siapa tamu-tamu kita ini, Bu?" Sekonyong-konyong seorang lelaki tua bertubuh kurus telah berdiri di ambang pintu. Dia adalah Pardiono.

"Ah, bukan siapa-siapa, Pak. Mereka salah alamat dan sekarang mau pergi. Masuklah ke dalam." Dengan tergesa-gesa perempuan itu menghalau suaminya agar kembali ke dalam rumah. Ia melemparkan pandangan mata tajam untuk mengusir Padma dan Menur.

"Saya datang mencari Nunuk," tegas Padma. Seketika Pardiono urung masuk ke dalam. Ia memutar tubuh dengan marah dan datang menghampiri Padma.

"Untuk apa kau datang mencarinya kemari?! Dia bukan adikku lagi. Kami tidak ada hubungan apa-apa sekarang! Nunuk sudah bikin keluarga ini malu besar! Kami memang miskin. Tapi seumur-umur kami tidak pernah mencari rejeki dengan menjual diri jadi pelacur!"

Lihat selengkapnya