SAKURA DI TELAWANG

ni ketut yuni suastini
Chapter #26

MELEPAS UNTUK MENYEMBUHKAN

Menjelang sore mereka tiba di perkampungan di daerah Ambarawa. Seorang perempuan paruh baya yang mengenalkan diri bernama Tarmini menemui Padma dan Menur. Ia mengaku sebagai adik bungsu Giyem. Ketika Padma menyatakan hendak bertemu dengan Giyem, Tarmini justru balik bertanya. “Di mana Mbak bertemu Mbak Giyem?”

“Saya bertemu Giyem di rumah penampungan sebelum kami dijadikan jugun ianfu oleh Jepang.” Padma bicara terus terang.

“Berarti Mbak?”

“Ya, saya juga korban seperti Giyem.”

Seketika Tarmini menangis sesengukan mendengar pengakuan jujur Padma. “Ketika Jepang kalah, Mbak Giyem pulang dalam keadaan linglung dan ketakutan. Ia terus bersembunyi di kolong tempat tidur dan tak mau bertemu dengan siapa pun. Hanya Emak yang berhasil membujuknya keluar untuk mandi dan makan, lalu kembali bersembunyi di kolong itu lagi. Kami semua mengira lambat laun Mbak Giyem akan membaik.” Tarmini mengusap air matanya.

“Namun, dugaan itu keliru. Suatu sore, mendadak Mbak Giyem keluar rumah dan berlari telanjang bulat di jalan raya. Ia berteriak-teriak dan memaki semua orang dengan kata-kata tak senonoh. Kami semua sangat malu. Kemudian kami mendengar Mbak Giyem dijadikan wanita penghibur oleh Jepang.”

Dada Padma terasa sesak. Sungguh tragis yang dialami Giyem.

“Sejak Emak meninggal, keadaan Mbak Giyem semakin memburuk. Ia tak hanya berlari keluar dan memaki-maki, tapi juga menyerang dan melempari rumah orang dengan batu. Kami berusaha membawa Mbak Giyem ke dokter. Dokter menyarankan Mbak Giyem harus dibawa ke rumah sakit jiwa di kota. Kami tidak punya biaya. Maka, dengan berat hati kami terpaksa memasung Mbak Giyem.”

“Apa saya bisa bertemu dengannya?”

Tarmini mengangguk. “Tentu. Tapi, ia tidak akan mengenali Mbak. Mbak Giyem bahkan tidak mengenal kami, keluarganya.”

Ketika mereka masuk ke kamar Giyem, tercium bau busuk kotoran manusia. Baju Giyem tampak terkancing tidak sempurna. Sedangkan kain jarik yang melilit di tubuhnya tampak basah oleh kencing dan belepotan kotoran. Giyem duduk di atas balai-balai dengan kedua kaki dirantai. Bibirnya hitam. Rambutnya dipangkas sangat pendek. Kata Tarmini, jika rambut Giyem dibiarkan panjang, ia akan mengamuk dan mencabuti rambutnya hingga kepalanya berdarah. Matanya menatap nyalang.

“Mau apa?!” bentak Giyem.

“Mbak, ini ada teman Mbak Giyem datang berkunjung.” Tarmini membujuk Giyem dan mendekati kakaknya dengan hati-hati. Padma ikut mendekat. Ia menyapa halus.

“Giyem, ini aku Padma.”

Giyem menatap Padma curiga. Bibirnya mencibir sinis.

“Bawa rokok, ndak?” Giyem menadahkan tangan meminta dengan kasar.    

Padma menatap sendu. Dulu para jugun ianfu memang sering diberikan rokok. Padma menggeleng. “Tidak.” 

“Tidak usah kemari kalau ndak bawa rokok!” Sembur Giyem sengit.

“Lain kali aku akan membawanya.”

Mata Giyem bergerak-gerak gelisah menatap Padma.

“Tidak usah! Pergi sana!” Giyem mengusir kasar. Tangannya menggapai-gapai berusaha mencari benda yang bisa dilemparkannya.

“Pergi! Pergi!”

Melihat Giyem mulai mengamuk, Tarmini bergegas menarik Padma keluar kamar. “Maaf, begitulah keadaan Mbak Giyem. Penderitaan yang dialaminya terlalu berat.”

Padma meninggalkan kediaman Giyem dengan perasaan kosong. Di benaknya terbayang gambaran wajah manis Giyem muda yang lugu, sebelum kekejaman datang merenggut kewarasannya.

Sepanjang perjalanan pulang Padma tidak bicara. Matanya memindai langit malam, mencoba menafsirkan makna yang tersimpan di balik berbagai bentuk rasi bintang. Cahayanya berkelap-kelip seakan menyapa dalam nyanyian sendu. Kepingan-kepingan masa lalu pecah seperti nanah yang melumuri tubuh korban perbudakan seksual jugun ianfu seumur hidup. Padma menghela napas pelan. Dulu ia menduga tahun itu adalah tahun-tahun tersulit dalam hidup mereka. Namun, ternyata menghadapi tahun-tahun setelahnya juga tak kalah sulitnya. Rasa sakit, ketakutan, caci-maki, dan anggapan telah menjual diri pada Jepang menambah luka harga diri para korban. 

Lihat selengkapnya