Mereka tiba di Sidoseneng saat langit senja telah merona jingga. Setelah bertanya pada seorang tukang becak tua yang sudah mau pulang, mereka mendapatkan alamat rumah Giyem. Tidak sulit menemukan rumah Giyem di desa kecil ini. Jarak antar rumah tidak begitu dekat, dipisahkan oleh hamparan sawah serta ladang jagung. Seorang perempuan paruh baya yang mengenalkan diri bernama Tarmini menemui Padma dan Menur. Ia mengaku sebagai adik bungsu Giyem. Ketika Padma menyatakan hendak bertemu dengan Giyem, Tarmini justru balik bertanya. “Di mana Mbak bertemu Mbak Giyem?”
“Saya bertemu Giyem di rumah penampungan sebelum kami dijadikan jugun ianfu oleh Jepang.” Padma bicara terus terang.
“Berarti Mbak...”
“Ya, saya juga korban seperti Giyem.”
Seketika Tarmini menangis sesengukan mendengar pengakuan jujur Padma. “Ketika Jepang kalah, Mbak Giyem pulang dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Tubuhnya kurus dan penuh luka. Ia kelihatan linglung juga sangat ketakutan. Mbak Giyem terus bersembunyi di kolong tempat tidur dan tak mau bertemu dengan siapa pun. Hanya Emak yang berhasil membujuknya keluar untuk mandi dan makan, lalu kembali bersembunyi di kolong itu lagi. Meski bingung, tidak ada seorang pun yang berani bertanya padanya. Kami hanya menduga-duga, tentulah Mbak Giyem mengalami peristiwa buruk yang mengguncang jiwanya. Kami hanya berharap lambat laun Mbak Giyem akan membaik.” Tarmini mengusap air matanya.
“Namun, dugaan itu keliru. Suatu sore, mendadak Mbak Giyem keluar rumah dan berlari telanjang bulat di jalan raya. Ia berteriak-teriak dan memaki semua orang dengan kata-kata tak senonoh. Kami semua sangat malu. Hampir saja Mbak Giyem dihakimi massa. Untunglah Emak berhasil membujuk dan membawanya pulang. Kemudian, kami mendengar Mbak Giyem menjadi perempuan penghibur untuk Jepang.”
Dada Padma terasa sesak. Sungguh tragis yang dialami Giyem.
"Kabar tersebar membuat seisi desa ini gempar. Mereka menyebut Mbak Giyem pengkhianat. Sebagian menyebut Mbak Giyem sebagai perempuan murahan yang rela menjual tubuh untuk mendapat uang. Semakin hari kebencian terhadap Mbak Giyem semakin menjadi-jadi. Kami juga tak luput dari cacian. Puncaknya, warga mengepung rumah ini dan meminta agar Mbak Giyem meninggalkan desa. Mereka tak ingin nama baik desa ini rusak karena ulah satu orang perempuan yang tak bermoral." Mata Tarmini yang basah berkubang kesedihan mengenang kejadian pahit itu.
"Bapak berusaha memohon kemurahan hati warga desa, mengingat kondisi Mbak Giyem yang kehilangan kewarasannya. Tapi warga, terutama kepala desa tetap berkeras agar Mbak Giyem diusir. mereka mulai mengancam, melempari rumah, dan berteriak-teriak mengusir Mbak Giyem."
"Di tengah situasi yang semakin memanas, sekonyong-konyong Emak keluar bersama Mbak Giyem. Dengan keberanian dan ketegaran seorang ibu, Emak menghadapi kemarahan warga. Mbak Giyem bersembunyi ketakutan di balik punggung Emak. Hari itu saya menyaksikan cinta seorang ibu yang menjadi benteng terakhir untuk melindungi anaknya."
"Kalian semua mengatakan anakku telah merusak nama baik desa ini karena menjadi budak nafsu serdadu Jepang. Apa kalian semua tidak bisa melihat, betapa anakku dipaksa dan disiksa bila ia menolak? Tidakkah kalian bisa merasakan penderitaan yang dialaminya hingga jiwanya terganggu? Kau menyebut anakku perempuan tak bermoral. Lalu, di mana moralmu Kepala Desa, saat subuh kau mengendap-endap dan melompat masuk melalui jendela kamar Surti, sedangkan semua warga tahu Kasman suami Surti sedang bekerja di kota? Jangan kau kira aku tidak tahu kebusukanmu! Demikian dengan lantang Emak menuding Kepala Desa di hadapan semua orang hingga lelaki paruh baya itu gelagapan karena ketahuan belangnya."
"Seketika istri Kepala Desa yang ikut mengepung rumah kami berteriak histeris. Ia menyerang Surti yang juga ada di sana sampai harus dipisahkan oleh warga lainnya. Tak cukup sampai di sana, Emak juga menguliti kecurangan Mak Ona yang meletakkan pemberat di timbangan berasnya, serta membongkar kelakuan Pak Sobri yang telah beristri mengejar-ngejar janda kembang dari desa tetangga. Emak menanyakan mengapa warga tidak mengusir orang-orang itu juga. Bukankah perbuatan mereka juga tak bermoral? Mengapa warga hanya berani mengusir Mbak Giyem, yang jelas-jelas melakukannya karena ancaman dan untuk mempertahankan nyawanya."
Padma menyentuh punggung tangan Tarmini haru. "Kalian memiliki seorang ibu yang luar biasa."
"Satu per satu warga akhirnya meninggalkan rumah kami. Sebagian warga berbalik simpati atas nasib buruk yang menimpa Mbak Giyem, namun sebagian lagi tetap menganggap Mbak Giyem seperti hama. Tapi, setidaknya mereka tidak mengusir kami lagi. Sejak Emak meninggal, keadaan Mbak Giyem semakin memburuk. Ia tak hanya berlari keluar dan memaki-maki, tapi juga menyerang dan melempari rumah orang dengan batu. Mbak Giyem juga selalu mengamuk, menghancurkan barang-barang. Kami berusaha membawa Mbak Giyem ke dokter. Dokter menyarankan Mbak Giyem harus dibawa ke rumah sakit jiwa di kota. Kami tidak punya biaya. Maka, dengan berat hati kami terpaksa memasung Mbak Giyem agar tidak berkeliaran mengganggu warga.”
“Apa saya bisa bertemu dengannya?”
Tarmini mengangguk. “Tentu. Tapi, ia tidak akan mengenali Mbak. Mbak Giyem bahkan tidak mengenal kami, keluarganya.”
***
Ketika masuk ke kamar Giyem, Hidung Padma diserbu bau busuk kotoran manusia. Baju Giyem tampak terkancing tidak sempurna. Sedangkan kain jarik yang melilit di tubuhnya tampak basah oleh kencing dan belepotan kotoran. Giyem duduk di atas balai-balai, kedua kakinya yang seperti batang bambu kering dirantai. Bibirnya hitam. Rambutnya dipangkas sangat pendek. Kata Tarmini, jika rambut Giyem dibiarkan panjang, ia akan mengamuk dan mencabuti rambutnya hingga kepalanya berdarah. Mata Giyem menatap nyalang.
“Mau apa?!” bentak Giyem.
"Jangan marah-marah begitu, tho. Sebentar, aku bersihkan dulu tubuhmu, Mbak," dengan suara lembut Tarmini berusaha membujuk kakaknya. Tarmini memberi isyarat agar Padma menunggu sebentar sementara ia memelesat keluar kamar. Tak lama Tarmini kembali membawa ember berisi air hangat dan pakaian ganti untuk Giyem. Dengan bujukan dan kesabaran yang berlapis-lapis, Tarmini berhasil membersihkan tubuh kakaknya serta mengganti kain jariknya dengan yang bersih. Selama Tarmini membersihkan tubuh Giyem, sepasang mata kelam Giyem yang tampak curiga tak pernah lepas mengawasi Padma.
“Mbak, ini ada teman Mbak Giyem datang berkunjung.” Tarmini mengenalkan Padma. Padma ikut mendekat. Ia menyapa halus.
“Giyem, ini aku Padma.”
Bibir Giyem mencibir sinis. Tubuhnya menegang saat Padma berdiri di dekatnya.
“Bawa rokok, ndak?” Giyem menadahkan tangan meminta dengan kasar.
Padma menatap sendu. Dulu para jugun ianfu memang sering diberikan rokok. Padma menggeleng. “Tidak.”
Giyem cemberut. “Tidak usah kemari kalau ndak bawa rokok!” semburnya sengit.
“Lain kali aku akan membawanya.”
Mata Giyem bergerak-gerak gelisah menatap Padma.
“Tidak usah! Pergi sana!” Giyem mengusir kasar. Tangannya menggapai-gapai berusaha mencari benda yang bisa dilemparkannya.
“Pergi! Pergi!”
"Giyem..."
"Pergi!"