Telawang, 1996
Jejak-jejak kaki telanjang tercetak jelas di pasir basah. Air laut berkilau keperakan. Buih ombak pecah membelah di kakinya. Dengan malu-malu, ombak menggulung tiga tangkai anyelir putih yang dihanyutkan Padma dengan khidmat. Sinar matahari menerpa wajahnya yang kemerahan. Ikan-ikan kecil berenang dengan tenang. Tampaknya mereka sama sekali tidak terusik dengan kehadiran Padma. Puluhan tahun telah berlalu sejak Padma meninggalkan tempat ini. Di balik kesyahduan suasana yang tenang, ada kepingan sejarah yang terpendam dan semakin samar, tergerus dari ingatan. Sayup-sayup di sela deburan ombak Padma seakan mendengar suara Waginah bersenandung merdu. Pilu merambati hatinya.
“Apa kabarmu, Nah? Aku datang menjengukmu. Apakah dari tempatmu yang penuh cahaya di sana kau bisa mendengarku, Nah? Aku kembali ke sini untuk menyusuri kembali jejak kita dulu, Nah. Meski sakit, tapi aku harus melakukannya agar sisa hidup ini bisa kulalui dengan tenang. Agar kau juga bisa tenang di sana,” bibir Padma bergumam pelan. Sosok Waginah yang lugu kembali terkenang di benaknya.
"Kelak ceritakanlah padaku tentang cahaya-cahaya dan warna bunga-bunga yang kau lihat di rumahmu sekarang. Aku pun akan bercerita tentang kisahku di sini. Tolong sampaikan juga salamku untuk Diah. Katakan, aku merindukannya."
Rombongan mereka tiba di Telawang tiga hari yang lalu. Dhira Ambara-mantan penyanyi papan atas kenalan Menur yang kini menetap di Kotawaringin-berbaik hati memberikan bantuan dengan cuma-cuma. Dhira yang menikah dengan seorang pengusaha batubara, sangat bersimpati dengan kisah hidup Padma. Ia menerima Padma, Menur, serta Yudi dan Rosa, dua orang perwakilan dari LBH, menginap di paviliun rumahnya yang sangat luas. Tak tanggung-tanggung, Dhira juga menyediakan sopir pribadinya untuk mengantar mereka ke Telawang.
Bangunan bekas klinik kesehatan militer milik Jepang tempat Padma dirawat dulu, kini telah berubah menjadi sekolah. Sekelompok remaja putri berseragam putih abu-abu bersenda-gurau menenteng tas sekolah berjalan keluar. Wajah mereka berseri-seri merajut masa depan. Padma memperhatikan wajah-wajah ceria itu dengan seksama. Mereka seusia dengan perempuan-perempuan yang dulu setiap hari bermimpi bisa keluar dari ianjo. Impian tentang kebebasan yang tergantung nun jauh di awang-awang dan nyaris tak mungkin dilakukan.
Ianjo tempat mereka mengalami pemerkosaan dan penyiksaan dulu kini telah menjadi lahan perkebunan sawit. Tidak tampak lagi bekas-bekas bangunan yang dulu hancur di bom Sekutu. Mereka bertanya pada penduduk sekitar mengenai asrama jaman Jepang yang dulu pernah ada di sana. Rata-rata mengaku tidak mengetahui tempat itu. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja perkebunan yang datang dari luar daerah. Hanya beberapa orang yang telah menetap di sana mulai dari jaman kakek neneknya, mereka mengatakan pernah mendengar cerita itu. Tak patah arang, Padma minta bertemu dengan kakek dan nenek yang dimaksud.
“Saat itu kami tidak berani mendekat karena rumah itu dijaga tentara Jepang yang galak-galak,” aku seorang lelaki tua yang mereka tanyai. Padma menaksir usia lelaki itu seumuran dengannya. Ketika ditanya apakah ia mengetahui tentang para perempuan muda yang dipekerjakan sebagai jugun ianfu di dalam ianjo, lelaki itu menggeleng.
“Kulihat memang ada banyak perempuan. Tapi aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam. Hanya saja, seingatku saat terjadi serangan bom, para penghuni tempat itu berlarian masuk hutan. Ada pula yang mati,” pungkas lelaki itu. Padma tampak kecewa. Meski begitu, Menur meyakinkan pengakuan itu juga berguna hingga tetap merekamnya.
“Kita istirahat dulu, Bu,” Menur membujuk Padma. Ia memberikan sebotol air mineral pada Padma. Tubuh Padma basah oleh keringat. Ia membuka botol dan meneguk setengah isinya. Dengan gontai Padma kemudian mengikuti Menur masuk ke dalam mobil.
Mereka menyantap ikan patin berbumbu kuning dan soto kuah rempah beraroma kayu manis yang nikmat di Pasar Telawang. Rombongan tidak bisa bergerak bebas sebab beberapa kali Padma mengeluh mual dan pusing. Menur membujuk agar Padma bersedia dibawa kembali ke paviliun Dhira. Namun, Padma menolak. Tatapan Padma menyapu deretan kios pedagang yang berjejer rapi. Seorang pelayan datang membawakan makanan penutup berupa kue bulat yang bentuknya mirip kue apem. Rasanya sangat manis.
“Apakah toko obat Babah Hong masih ada?” Padma bertanya pada perempuan muda berambut sebahu itu. Kening perempuan muda itu berkerut, ia tampak mengingat-ingat.
“Toko Babah Hong?” gumamnya mengulang pertanyaan Padma. "Aku tak pernah dengar nama itu."
“Dulu kiosnya ada di sebelah sana,” Padma menunjuk lorong kecil di sudut pasar.
“Oh, setahuku tak ada toko itu di sana. Mungkin sudah pindah. Tapi, aku tahu orang yang bisa bantu kalian. Dia kenal pasar ini sampai ke sudut-sudutnya,” perempuan itu mengedipkan mata. Ia berdehem sebelum berteriak nyaring. “Pak Cang! Taukah toko obat Babah Hong?”
Seorang lelaki paruh baya menyembulkan wajahnya yang penuh keringat dari balik pintu. Sebuah handuk putih dililitkan di kepalanya.
“Toko obat Babah Hong?”
“Iya. Katanya, di lorong sanalah dulu tokonya,” perempuan muda itu menunjuk menggunakan dagunya.
“Oh, kalau toko obat Babah Hong aku tak tahu. Tapi, seingatku satu-satunya toko obat yang dulu pernah ada di deretan sana itu miliknya Nio.”
“Ya, betul! Itu dia! Nio adalah keponakan Babah Hong! Apakah Bapak mengenalnya?” Mendengar nama Nio disebut Padma melonjak bangun dari duduknya. Matanya menatap penuh harap. Lelaki itu menatap Padma.
“Toko itu sudah tak ada. Nio pun sudah lama pindah.”