Dhira menyambut kedatangan mereka dengan semringah. “Kalian kembali di saat yang tepat. Lily, putri bungsuku berulang tahun hari ini. Cuma pesta sederhana dengan keluarga dan beberapa kolega suamiku. Aku senang sekali bila kalian mau bergabung.”
Menur menatap iba pada Padma yang tampak kuyu. Sesungguhnya ia juga lebih menginginkan berendam di air hangat lalu tidur dibandingkan menghadiri pesta. Tubuhnya sangat lelah. Tulang-tulangnya terasa nyaris copot. Namun tentu saja tidak sopan menolak undangan tuan rumah yang telah berbaik hati bersedia membantu mereka.
“Tentu saja. Dengan senang hati kami akan bergabung.” Seakan memahami kebingungan Menur, Padma mewakili menjawab. Ia mengulas senyum di wajahnya untuk meyakinkan bahwa kondisinya baik-baik saja. Dhira tampak senang sekali. Diam-diam Padma menahan sakit yang kembali menyerang perutnya. Ia menghela napas dari mulutnya.
Setelah mandi dan berdandan dengan cepat, supir mengantar mereka ke sebuah restoran yang telah dipesan dan disulap menjadi tempat pesta yang mewah. Lily tampil bak putri raja. Remaja lima belas tahun itu tampak cantik dalam balutan gaun pesta ala putri-putri dari negeri dongeng. Makanan enak melimpah.
“Bu Padma, mari saya kenalkan dengan kawan baik saya,” Dhira menghampiri Padma. Di sebelahnya berdiri seorang perempuan paruh baya yang tampak elegan. Rambutnya disasak dengan rapi. Sebuah gaun malam keluaran merek ternama tampak anggun membalut tubuhnya yang proporsional dan terjaga.
“Ini Bu Ratna Juwita, beliau sudah seperti ibu bagi saya. Suami Bu Ratna kolega bisnis suami saya. Selain itu, Bu Ratna dan saya juga membangun bisnis perhiasan bersama,” Dhira tersenyum dan memandang perempuan anggun di sisinya. “Nah, Bu Ratna, ini Bu Padma, orang yang kisah hidup dan perjuangannya membuat saya kagum.”
Jantung Padma mendadak berdebar kencang. Raut wajahnya seakan tak percaya. Tangannya mencengkeram tangkai gelas koktail erat. Perempuan cantik yang tengah tersenyum dihadapannya ini mengingatkannya pada seseorang yang amat dikenalnya.
"Rumana?"
“Maaf?” Ratna Juwita memiringkan kepalanya sedikit. Ia keheranan melihat reaksi Padma yang menurutnya agak berlebihan. Meski begitu, senyum tak lepas dari bibir Ratna Juwita. Lekas-lekas Padma menggeleng.
“Maafkan kelancangan saya. Untuk sesaat saya seperti melihat seorang kawan lama yang saya kenal. Tapi, agaknya mata tua ini terlampau lelah hingga keliru mengenali orang.” Wajah Padma sangat menyesal. Ratna Juwita tertawa maklum.
“Tidak apa-apa, Bu. Kata orang, di dunia ini kita memang memiliki kembaran. Mungkin wajah saya memang mirip dengan kawan Ibu tadi.” Ratna Juwita begitu bijaksana menanggapi hingga Padma tidak merasa canggung.
“Bu Ratna benar. Sepertinya saya masih berharap bertemu kawan saya itu,” gumam Padma sendu. “Tapi itu tidak mungkin. Rumana sepertinya tidak selamat dalam serangan bom itu.”
“Dhira mengatakan Bu Padma sedang berjuang mengumpulkan bukti-bukti untuk mengajukan gugatan.”
“Betul," Padma bicara apa adanya. “Saya sedang berusaha mencari teman-teman sesama korban agar kami bisa mengajukan gugatan atas kejahatan yang kami alami dulu.”
“Apa Bu Padma telah bertemu dengan kawan-kawan Ibu itu?”
Padma menggeleng lesu. Ia meletakkan gelas minumannya. “Sejujurnya saya berhasil bertemu dengan mereka. Namun, kondisi mereka tak bisa bersaksi. Ada yang telah hilang ingatan, dan ada pula yang hidup dalam kemiskinan dan putus asa, sebab ditolak keluarganya sendiri karena dianggap pelacur.”
Ratna Juwita mengangguk. Dhira mohon diri sejenak untuk menemui tamu-tamu yang lainnya. "Lalu, apa Bu Padma menemukan bukti yang dicari di Telawang?"
"Tidak ada jejak yang tersisa lagi di sana. Bangunannya sudah hilang. Namun, saya berhasil bertemu dengan seorang kawan yang tahu tentang ianjo dan para perempuan yang disekap di sana puluhan tahun lalu. Saya harap itu bisa menjadi bukti yang membantu."
"Saya bisa membayangkan apa yang Bu Padma lakukan ini sangat sulit."
"Ya, sulit namun bukan tidak mungkin dilakukan."
“Mengapa Bu Padma bersedia melakukan ini? Saya dengar, Bu Padma sebelumnya telah memiliki kehidupan yang tenteram di Australia.”
Padma tersenyum. Tatapannya menembus gelasnya yang telah kosong. “Ada mimpi yang terus mengusik hidup saya. Saya ingin hidup ini menjadi berharga. Ini tak hanya tentang kedukaan yang dirasakan para korban jugun ianfu, tapi juga tentang kemanusiaan yang dilanggar. Kami, para korban masih hidup dengan stigma bahwa kami telah melacurkan diri pada serdadu Jepang. Kami ingin membuka mata setiap orang bahwa kami adalah korban kejahatan dari sebuah negeri yang kala itu sedang dijajah. Dan sebagaimana nasib orang-orang yang dijajah, kami hidup dalam ketertindasan, pemerkosaan, dan kekejaman. Kami ingin apa yang kami alami menjadi pengingat pada generasi bangsa ini, menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat itu mahal sekali.”
***
Keesokan paginya ketika Padma duduk-duduk di teras, pembantu rumah tangga Dhira menyampaikan pesan telepon dari seseorang pada Padma.