Setelah perjalanan pulang yang terasa panjang, Padma tiba di penginapan dengan kelelahan berlipat-lipat. Ia mandi dengan cepat kemudian merendam kedua kakinya dalam ember kecil berisi air hangat yang telah ditaburi garam. Padma memejamkan mata. Perlahan rasa penat di kakinya mulai berkurang. Perjalanan ke Telawang telah menguras emosi juga tenaganya. Apalagi belakangan ini ia kehilangan napsu makan. Mata Padma menatap telapak kakinya yang terlihat agak membengkak. Padma mengedikkan bahunya. Mungkin karena aku banyak berjalan di Telawang! Setelah merasa lebih segar, Padma mengeluarkan kakinya dari ember dan mengeringkannya.
Televisi menayangkan drama keluarga yang tidak terlalu menarik perhatiannya. Padma memeriksa surat-surat selama ia ke Telawang. Ia menyewa kamar di penginapan itu untuk waktu yang lama hingga untuk sementara semua surat menggunakan alamat penginapan. Ada beberapa undangan wawancara dari media. Senyum Padma mengembang melihat sepucuk surat dari Dokter Andrew. Dengan sebuah gunting kecil ia membuka surat itu. Dalam suratnya Dokter Andrew menanyakan apakah Padma sudah meneruskan pengobatan seperti yang dianjurkannya. Dalam kalimat-kalimat yang terkesan agak memaksa, dokter itu menekankan agar Padma tidak memaksakan diri dan tidak mengabaikan penyakit mematikan itu sebab dapat berdampak buruk mengingat sel-sel kanker di tubuhnya bisa terus berkembang biak.
Padma tercenung menatap surat itu. Penyakit ini memang mematikan tapi kematian tidak lagi menakutkan bagiku. Ia menghela napas perlahan. Namun aku tidak ingin mati sekarang. Tidak sebelum perjuanganku tercapai. Padma menarik kursi dan duduk perlahan. Ia mengambil buku catatannya dan mulai menulis.
Ada masanya harus bicara lantang agar suaramu didengar. Sesekali perlu bersikap keras kepala jika yakin apa yang dilakukan sudah seharusnya dilakukan. Rumana, Nunuk, Giyem, dan aku. Kami adalah empat dari segelintir korban jugun ianfu yang masih tersisa hingga saat ini. Tidak semua dari kami yang sanggup bicara menyuarakan luka yang bertahun-tahun kami simpan dan mengurapi seumur hidup. Ada yang memilih tiarap dan hidup dalam kebisuan yang menyakitkan. Bersembunyi di balik topeng-topeng rapuh. Setiap hari diliputi ketakutan, akankah rahasia itu terbongkar? Di luar tampak setegar gunung batu namun di dalam hancur jadi serpihan debu.
Pengalaman hidup mengajarkan padaku, orang sulit berempati pada hal-hal yang sejak awal diyakininya keliru dan bertentangan dengan norma. Apa pun alasannya. Pandangan tentang keperawanan telah mengkotak-kotakkan perempuan dalam golongan perempuan baik-baik dan bukan perempuan baik-baik. Kami, para korban perbudakan seksual yang tak berdaya mempertahankan diri dan selaput dara kami, telah dipaksa menyandang stigma bukan perempuan baik-baik. Betapa stigma itu terus menjadi noktah hitam yang membunuh masa depan kami.
***
Padma menepati janji untuk mengunjungi Rusma. Rusma sangat gembira menerima kedatangan Padma di rumahnya yang asri. Meski tak sebesar rumah milik Tuan Besar, namun tampak jelas Rusma memiliki kehidupan bersahaja yang bahagia. Bersama-sama kedua saudara tiri itu mengunjungi makam Tuan Besar, makam ayah mereka, serta ibu tiri Padma. Hubungan keduanya semakin membaik. Waktu yang hilang karena kesalahan di masa lalu memang tak pernah bisa kembali. Tapi mereka bisa mengusahakan hal-hal baik di sisa usia yang ada. Saat Rusma menawarinya untuk menginap, Padma setuju.
Di hari kedua Padma menginap di rumah Rusma, mendadak Menur datang menemuinya. Menilik dari roman wajah Menur yang terlihat mendung, Padma dapat merasakan ada hal yang tidak beres.
"Minumlah dulu." Padma menyodorkan cangkir teh yang masih mengepul. Menur menerima dengan tangan sedikit gemetar. Ia meniup-niup uapnya sebelum mencecap teh itu sedikit dan meletakkan kembali di atas meja.
"Ada apa? Kau terlihat gugup. Apa ada masalah?"
"Ini tentang gugatan yang kita ajukan, Bu."
"Bagaimana?"
"Gugatan kita menemui jalan buntu."
"Mengapa?"
"Mereka menyebutkan Undang-Undang Perang tidak berlaku pada wilayah-wilayah yang telah dikuasai."
"Aku tidak mengerti."
Menur berdehem. Ia memajukan posisi duduknya. "Begini, Bu Padma. Hukum peperangan hanya dapat diterapkan dan berlaku terhadap warga negara dari negara yang sedang berperang. Dengan kata lain korban jugun ianfu sulit melakukan tuntutan karena tidak berasal dari negara yang sedang berperang, melainkan dari negara yang dikuasai."
Padma sontak berdiri. Gerakannya begitu cepat hingga mengejutkan Menur. Ia menatap Padma nanar. Kemarahan seketika menggulung Padma. Darahnya tersirap hingga ke ubun-ubun. Napasnya menggebu.
"Jadi maksudmu kita tidak bisa menuntut?!" Suara Padma meninggi.
"Bu Padma, tolong tenang dulu." Menur berusaha meraih tangan Padma untuk menenangkannya. Namun Padma menepis tangan Menur.