SAKURA DI TELAWANG

ni ketut yuni suastini
Chapter #30

KESAKSIAN PADMA

Seorang pelayan datang membawa baki. Di atasnya terdapat dua cangkir keramik bulat. Ia menghidangkan teh untuk dua kawan lama yang telah terpisah puluhan tahun itu. Kenta membawa Padma ke sebuah restoran kecil di belakang gedung Kudan Kaikan. Ketika pelayan itu telah pergi, Kenta mulai bercerita.

“Ketika pertahanan kami di Tarakan dibombardir pasukan Sekutu, kami bertahan di dalam bunker. Pasukan kami terdesak dan kalah. Saya dan beberapa prajurit yang tersisa ditahan. Kemudian peristiwa tragis itu terjadi. Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak oleh serangan bom atom,” Kenta tertunduk sedih.

“Lalu adikmu?”

Kepala Kenta menggeleng lemah. “Ia tidak selamat. Sekolah tempat Minako mengajar hancur. Demikian pula kedua orangtua saya. Saat itu mereka sedang mengunjungi Minako.”

Padma bisa membayangkan betapa besar penderitaan dan kesedihan Kenta kehilangan tiga orang yang dikasihinya itu sekaligus. Dengan masih menatap Kenta, Padma berucap tulus. “Saya turut berdukacita untuk mereka, Kenta.”

“Setelah dipulangkan kembali ke Jepang tahun 1947, saya melihat kehancuran di mana-mana. Anak-anak yang kehilangan orangtua, orang yang depresi karena kehilangan keluarga. Sejak itu saya bersumpah akan membaktikan diri untuk negara dan juga kemanusiaan.” Kenta mengangguk.

“Tiga tahun kemudian saya datang ke Indonesia. Percayakah kau, Padma? Saya mencarimu ke Telawang. Klinik dan asrama itu masih hancur. Puing-puingnya masih dibiarkan begitu saja belum ada yang menyentuhnya. Seperti berjudi saya mendatangi Pak Zul di Jakarta. Ia bilang kau pernah beberapa bulan bekerja di sana. Meski saat itu saya tak berhasil menemukanmu, tapi saya cukup lega. Artinya kau selamat dari serangan udara itu,” Kenta menegakkan tubuh untuk menatap Padma secara utuh.

“Bagaimana kau tahu saya ada di sini?”

“Ketika mendengar penyintas dari Indonesia turut hadir, saya menanti dengan harap-harap cemas. Saya datang ke sana dan melihatmu dari jauh. Ya, begitu melihat saya langsung mengenalimu.” Kenta berdecak senang.

“Begitu rupanya.”

Kenta memandang Padma dengan seksama.

“Kau menikah?”

Padma mengangguk. “Kau?”

“Tidak.”

Keheningan sesaat melingkupi keduanya. Padma meraih cangkir tehnya dan menyesap perlahan.

“Kau datang kemari bersama suamimu?”

Padma menggeleng. “Suami saya telah meninggal, dan kami tidak memiliki anak.”

Kenta terlihat kikuk. “Mengapa kau keluar dari ruangan itu?” Buru-buru Kenta mengalihkan pembicaraan.

“Mereka tidak memperbolehkan saya ikut bersaksi.”

“Mengapa?”

Padma mengedikkan bahu pasrah. Rasa kecewa kembali melingkupinya. “Mereka meragukan kebenaran kesaksian saya. Tidak cukup bukti dan saksi yang mendukung. Lagi pula, mereka mengatakan rombongan saya adalah mereka yang berangkat dengan sukarela tanpa paksaan.”

Terdengar Kenta menghela napas panjang. “Lalu apa yang akan kau lakukan? Kau sudah berjuang sejauh ini, Padma.”

“Tidak ada yang dapat saya lakukan lagi. Kawan-kawan saya tidak ada yang tersisa.”

Kenta tercenung lama. “Kau tentu sangat kecewa.”

Lihat selengkapnya