Tokyo, Desember 2000
Musim dingin di Jepang belum mencapai puncaknya. Namun dinginnya udara menusuk tulang hingga sanggup membuat Padma menggigil saat ia menginjakkan kaki di bandara Haneda. Padma merapikan topi kupluk rajut berbahan wol tebal yang menutupi seluruh kepalanya. Kemoterapi yang dijalani Padma beberapa tahun terakhir telah membuat ia kehilangan seluruh rambutnya.
Ketika Menur mengatakan bahwa mereka masih punya peluang mengajukan tuntutan, semangat Padma kembali bangkit. Ia tidak membiarkan sakit yang menggerogoti tubuhnya juga ikut menggerus semangatnya. Padma melakukan pengobatan kemoterapi, meski tubuhnya selalu merasa mual hebat dan sakit setelahnya. Padma menahan semua itu dengan tabah. Ketika Pak Pram mengabarkan tentang Pengadilan Rakyat Perempuan Internasional akan dilaksanakan di Tokyo, Padma menyatakan keinginannya untuk ikut bersaksi.
Ribuan peserta, pers, dan aktivis kemanusiaan dari 30 negara untuk datang ke Gedung Kudan Kaikan. Ada sekitar enam puluhan korban yang akan bersaksi. Mereka datang dari berbagai negara seperti Korea, Indonesia, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Cina, Taiwan, dan Belanda. Selain menghadirkan para korban, pengadilan juga menghadirkan para saksi ahli untuk membuktikan tentang perbudakan seksual itu. Padma berhenti sejenak sesaat sebelum kakinya melangkah melewati pintu masuk. Ia memejamkan mata.
"Bu Padma?" Menur berbisik halus di telinga Padma. Padma tak bergeming. Kedua tangannya mengatup di depan dada. Bibirnya komat-kamit perlahan. Menur langsung paham. Rupanya Padma tengah berdoa untuk kawan-kawannya yang telah berpulang dan tidak bisa ikut hadir di sidang ini. Saat Padma membuka matanya kembali, Menur menuntunnya untuk duduk bersama delegasi dan tim kuasa hukum dari Indonesia yang mewakili para korban. Ruang berdinding putih itu seketika hening ketika sidang memanggil para korban untuk bersaksi.
“Aku lahir di Magelang tahun 1922. Rumah kami memiliki halaman yang luas dan teduh. Ayahku bekerja di perusahaan kereta api, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij di Hindia Belanda. Aku mengenangnya sebagai tempat yang indah, sebelum malapetaka itu datang dan merampas apa yang tak bisa mereka kembalikan lagi.” Paulina, seorang korban dari Belanda maju bersaksi. Di usianya yang telah menginjak 78 tahun, ia tampak tegar saat bercerita tentang hari-hari kelam itu. Sesekali kala emosinya tak terbendung dan suaranya meninggi, Paulina berhenti bicara. Ia menunduk dan memegang dadanya. Paulina diam untuk berdoa memohon kesembuhan bagi jiwanya yang terluka.
“Saat Jepang menduduki Jawa di tahun 1942, keluarga kami ditempatkan di kamp interniran. Beberapa bulan kemudian, aku dan beberapa gadis Belanda serta peranakan yang ditahan di kamp itu dibawa tentara Jepang ke Semarang. Di sanalah semua kejadian buruk yang tak pernah anda semua bisa bayangkan terjadi. Puluhan lelaki setiap hari. Begitu terus berulang-ulang.”
Padma mengusap air matanya. Luka-luka yang tak pernah sembuh itu tidak pernah lenyap dari ingatan korban. Matanya menatap lurus pada Paulina yang masih berdiri di atas podium. Sampai hari ini para korban tetap bertahan dalam ledakan-ledakan emosi yang sangat menyiksa. Rasa malu, tidak percaya diri, dan kemarahan yang datang silih berganti membuat sebagian para penyintas juga harus berjuang melawan depresi.
Seorang perwakilan delegasi Indonesia menghampiri Pak Pram dan berbisik pelan ke telinganya. Mendadak wajah Pak Pram tegang. Menur yang duduk di sisinya tampak risau. Ia mencondongkan tubuh dan berbicara dengan Pak Pram. Wajahnya terlihat sangat serius. Pak Pram memberi isyarat agar mereka bicara di luar. Ketiganya kemudian keluar menuju lobi.
“Saat itu rasanya aku ingin mati saja. Beberapa kali percobaan bunuh diri yang kulakukan gagal hingga semakin menambah berat siksaan yang kuterima. Sampai akhirnya aku dibebaskan dari neraka itu. Meski begitu, jiwaku masih terpenjara. Setiap kali mendengar derap sepatu lars, aku gemetar. Demikian pula ruang yang sempit selalu mengingatkanku pada kamar tempat aku ditahan.”
Menur terlihat kembali masuk. Dengan merunduk-runduk ia berjalan mendekati Padma. “Bu Padma,” Menur menyentuh lengan Padma.
“Ya?”
“Kita bicara sebentar di lobi, Bu.”
“Baiklah.”
Meski hatinya dipenuhi berbagai pertanyaan, Padma mengikuti langkah Menur keluar ruangan.
***