Seorang pelayan datang membawa baki. Di atasnya terdapat dua cangkir keramik bulat berwarna putih. Pelayan itu menghidangkan teh untuk dua kawan lama yang telah terpisah puluhan tahun itu. Kenta membawa Padma ke sebuah restoran kecil di dekat sebuah kuil. Saat pelayan itu telah pergi, Kenta mulai bercerita.
“Ketika pertahanan kami di Tarakan dibombardir pasukan Sekutu, pasukan kami bertahan di dalam bunker. Namun, kami semakin terdesak dan harus mengakui kekuatan lawan. Saya dan beberapa prajurit yang tersisa ditahan. Kemudian peristiwa tragis itu terjadi. Hiroshima dijatuhi bom atom. Selang tiga hari, kota Nagasaki juga luluh lantak oleh serangan bom atom,” Kenta tertunduk sedih.
“Lalu adikmu?”
Kepala Kenta menggeleng lemah. “Ia tidak selamat. Sekolah tempat Minako mengajar hancur. Demikian pula kedua orangtua saya. Saat itu mereka sedang mengunjungi Minako.”
Padma bisa membayangkan betapa besar penderitaan dan kesedihan Kenta kehilangan tiga orang yang dikasihinya itu sekaligus. Dengan masih menatap Kenta, Padma berucap tulus. “Saya turut berdukacita untuk mereka, Kenta.”
“Setelah dipulangkan kembali ke Jepang tahun 1947, saya melihat kehancuran di mana-mana. Anak-anak yang kehilangan orangtua, orang yang depresi karena kehilangan keluarga. Sejak itu saya bersumpah akan membaktikan diri untuk negara dan juga kemanusiaan.” Kenta mengangguk.
“Tiga tahun kemudian saya datang ke Indonesia. Percayakah kau, Padma? Saya mencarimu ke Telawang. Klinik dan asrama itu masih hancur. Puing-puingnya masih dibiarkan begitu saja belum ada yang menyentuhnya. Seperti berjudi saya mendatangi Pak Zul di Jakarta. Ia bilang kau memang pernah beberapa bulan bekerja di sana. Pak Zul tidak mengetahui ke mana kau pergi. Ia juga tidak mengatakan alasanmu meninggalkan tempat Pak Zul. Meski saat itu saya tak berhasil menemukanmu, tapi saya cukup lega. Artinya kau selamat dari serangan udara itu,” Kenta menegakkan tubuh untuk menatap Padma secara utuh.
“Bagaimana kau tahu saya ada di sini?”
“Ketika mendengar penyintas dari Indonesia turut hadir, saya menanti dengan harap-harap cemas. Saya datang ke sana dan melihatmu dari jauh. Ya, begitu melihat saya langsung mengenalimu.” Kenta berdecak senang.
“Begitu rupanya.”
Kenta memandang Padma dengan seksama.
"Di mana kau selama ini, Padma?"
"Brisbane."
“Kau menikah?”
Padma mengangguk. “Kau?”
Kenta menggeleng singkat.
“Tidak.”
Keheningan sesaat melingkupi keduanya. Padma meraih cangkir tehnya dan menyesap perlahan.
“Kau datang kemari bersama suamimu?”
Padma menggeleng. “Suami saya telah meninggal, dan kami tidak memiliki anak.”
Kenta terlihat kikuk. “Mengapa kau keluar dari ruangan itu?” Buru-buru Kenta mengalihkan pembicaraan.
“Mereka tidak memperbolehkan saya ikut bersaksi.”
“Mengapa?”
Padma mengedikkan bahu pasrah. Rasa kecewa kembali datang mengepungnya. “Mereka menganggap kesaksian saya lemah. Ada dokumen yang menyebutkan rombongan saya adalah orang-orang yang berangkat dengan sukarela tanpa paksaan. Karena itu, saya sulit mengajukan tuntutan."
"Tidak ada yang bisa membantumu?"
Padma menggeleng lemah."Tuntutan kejahatan kemanusiaan sulit dibuktikan sebab dokumen itu melemahkan pengakuan saya."
Terdengar Kenta menghela napas panjang. “Lalu apa yang akan kau lakukan? Kau sudah berjuang sejauh ini, Padma.”
“Tidak ada yang dapat saya lakukan lagi. Kawan-kawan saya tidak ada yang tersisa.”
Kenta tercenung lama. “Kau tentu sangat kecewa.”
“Ya. Tapi kedatangan saya kemari tidak sia-sia. Saya masih bisa mendukung perjuangan teman-teman lainnya. Itu sudah cukup melegakan. Meski tidak bisa mewakili diri sendiri, suara mereka mampu mewakili apa yang kami rasakan selama ini. Dan, dapat bertemu kembali dengan Dokter Kenta yang telah menyelamatkan hidup saya juga sebuah keberuntungan,” Padma tersenyum. Kenta tertawa senang. Lagi-lagi Kenta menatap wajah Padma. Ada kerinduan tersirat dalam manik matanya.
"Kau memang berbeda, Padma. Sejak dulu, kau memang tangguh."
Padma tersenyum kecil.
"Jadi, kau hendak ke mana tadi?"
"Sesungguhnya saya tersesat. Saya hendak mencari telepon umum untuk menghubungi teman. Saya harus kembali ke gedung itu. Saya tak ingin membuat Menur dan Pak Pram kebingungan mencari saya.”
“Kalau begitu kau beruntung bertemu saya, Padma. Mari saya antar kau ke sana.”
Kenta mengantar Padma ke depan ruang sidang. Ia berpamitan sebelum kembali masuk ke dalam sementara Kenta mengatakan masih ada urusan lainnya. Menur datang tergopoh-gopoh menyongsong Padma. Kenta masih berdiri menatap punggung Padma.
“Bu Padma. Syukurlah Ibu kembali. Saya hampir saja menghubungi polisi karena Bu Padma pergi lama sekali. Tapi, siapa orang itu?”
“Seorang kawan lama.” Padma beriringan dengan Menur masuk. Menur menoleh pada Kenta yang telah berbalik menjauh. “Saya baru tahu Bu Padma ada teman di sini.”