Jogjakarta, 2001
Sepulang dari Jepang Padma terlihat sangat sibuk. Seakan tak ingin kehilangan waktu sedetik pun, Padma bergerak mewujudkan banyak rencana. Ia menghubungi agen properti di Brisbane dan memutuskan untuk menjual rumahnya. Pada Xua dan Nora, Padma mengatakan ingin menjual cafenya sebab ia akan menetap di Indonesia. Ia menawarkan jika kedua karyawan yang telah lama bekerja di cafenya itu ingin membelinya, Padma akan memberikan harga yang sangat pantas. Tawaran itu disambut dengan antusias oleh keduanya.
Atas bantuan pemilik penginapan yang sudah menganggap Padma seperti saudara, Padma membeli sebuah rumah kecil sederhana yang dikelilingi banyak pohon. Jaraknya hanya 500 meter dari penginapan. Di rumah kecil itu Padma ditemani oleh seorang asisten rumah tangga.
Padma memenuhi janjinya datang kembali ke Sidoseneng. Ia menemui Tarmini. Kepada adik bungsu Giyem itu, Padma menawarkan bantuan untuk membawa Giyem berobat ke rumah sakit jiwa di Semarang. Padma bersedia menanggung semua biaya pengobatan. Dengan berurai air mata, Tarmini tidak dapat menahan haru menerima bantuan tulus Padma.
"Mbak Giyem sangat beruntung memiliki seorang teman sepertimu, Mbak Padma."
"Giyem telah banyak menderita. Ia berhak mendapat kehidupan yang lebih baik. Bersiap-siaplah. Saya sudah menghubungi pihak rumah sakit. Besok mereka akan datang kemari menjemput Giyem."
Keesokan harinya, proses memindahkan Giyem ke rumah sakit berlangsung sangat dramatis. Anak-anak dan warga datang beramai-ramai berkumpul di depan rumah Giyem saat mobil ambulans rumah sakit dan petugas medis datang menjemput Giyem. Mereka berbisik-bisik ingin melihat wajah Giyem yang sudah lama dipasung.
"Katanya dulu Mbah Giyem itu cantik ya?"
"Cantik, tapi kata nenekku ia perempuan nakal. Makanya, kena kutuk jadi gila!"
"Hush! Jangan ngomong sembarangan!"
Padma yang mendengar kasak-kusuk itu hanya menghela napas. Ia tidak mengatakan apa-apa. Butuh waktu untuk mengubah stigma buruk yang telah mengakar puluhan tahun.
Sangat kesulitan menaikkan Giyem ke dalam mobil ambulans. Ia terus saja meronta-ronta dan mengamuk. Empat orang petugas medis harus membopongnya keluar. Mulanya, Giyem ditempatkan dalam ruangan khusus karena terus mengamuk dan menjerit-jerit. Namun berangsur-angsur keadaannya mulai membaik. Giyem kemudian ditempatkan dalam kamar-kamar seperti pasien lainnya. Seminggu sekali Padma rutin datang menjenguk Giyem. Meski belum dapat mengenali Padma, tapi Giyem sudah lebih tenang dan tidak ngamuk-ngamuk lagi. Sedikit demi sedikit Giyem mulai bisa diajak berkomunikasi dengan lebih baik.
Tidak hanya membantu Giyem, Padma juga berusaha membantu Nunuk. Dengan bantuan kawan-kawan Menur, Nunuk berhasil mendapatkan KTP. Padma memasukkan Nunuk ke sebuah panti jompo swasta yang cukup baik. Di panti itu, Nunuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan juga mendapat tempat tinggal yang layak. Padma membayar semua kebutuhan Nunuk sekaligus.
***
Sebuah motor butut berhenti di depan pintu pagar rumah Padma yang terbuat dari bilah-bilah bambu. Padma yang tengah duduk membaca di kursi teras mengangkat wajahnya. Seorang lelaki muda berkaos hitam, celana jin belel, dan menyandang ransel turun dari atas motor. Sekilas penampilannya seperti mahasiswa. Padma tersenyum melihatnya. Lelaki itu adalah teman Menur. Beberapa hari yang lalu, Padma meminta tolong padanya agar menelusuri alamat rumah mantan suami Nunuk.
"Bagaimana? Dapat?" serbu Padma begitu lelaki itu tiba di depannya.
Lelaki itu mengangguk. "Mantan suaminya sudah menikah lagi dan memiliki lima anak. Tapi sayang..."
"Sayang bagaimana?" potong Padma tak sabar.
"Ia keberatan membicarakan tentang Nunuk. Ia menganggap Nunuk sudah jadi masa lalu yang tak ingin dibahasnya lagi."
"Begitu rupanya," wajah Padma tampak kecewa.
"Saya akan mendatanginya lagi dan membujuk lelaki itu, Bu Padma."
"Tidak usah. Aku tahu apa yang harus dilakukan."
***
"Pak Karsa?"