SAKURA DI TELAWANG

ni ketut yuni suastini
Chapter #32

EPILOG

Jakarta, 2016

Ruangan remang-remang itu seketika menimbulkan kesan muram dan menyedihkan. Bilik-bilik tertutup rapat bertuliskan nama-nama para korban jugun ianfu. Di depan kamar berjejer kursi-kursi. Di atasnya diletakkan topi-topi serdadu Jepang. Lukisan wajah para penyintas dengan latar merah tergantung di dinding. Wajah mereka dibuat buram untuk menggambarkan masa depan mereka yang telah direnggut secara paksa. Menur melangkah pelan. Ia terdiam ketika sampai di satu bilik yang bertuliskan nama Sakura.

Pelan-pelan Menur membuka pintu kamar itu. Dalam ruang kamar sempit itu terdapat sebuah ranjang kecil. Di atas ranjang tergeletak kebaya dan kain jarik yang telah koyak. Di sekitarnya tersebar puluhan kondom yang menggambarkan betapa para korban tidak berdaya atas kekejaman seksual yang mendera mereka.

Menur memejamkan mata. Gambaran dalam kamar mengingatkannya kembali pada kisah hidup yang dituturkan Padma. Walau lima belas tahun sudah Padma wafat, namun Menur tetap menyimpan kenangan akan perempuan tangguh itu di dalam hatinya. Sepeninggal Padma, Menur masih terlibat dalam upaya-upaya pendampingan korban jugun ianfu. Keinginan Padma untuk mencari keadilan bagi dirinya serta kawan-kawannya sesama korban, menyemangati Menur untuk terus membantu para penyintas menyuarakan tuntutan permintaan maaf. Menur juga melaksanakan wasiat yang diam-diam disiapkan Padma sebelum ia meninggal. Dalam wasiat yang dibuat di kantor pengacara itu, Padma meminta agar rumahnya dijual dan seluruh hasil penjualan rumah itu disumbangkan ke panti jompo. 

Lihat selengkapnya