Kenta Nakamura memicingkan mata melihat pasien terakhirnya. Atsuko membungkukkan tubuh memberi salam. Kenta meminta pada perawat agar meninggalkan mereka berdua. Setelah perawat itu keluar dan menutup pintu, Kenta menyilakan Atsuko duduk di kursi di seberang meja.
"Saya menduga anda datang bukan untuk berobat."
Atsuko mengangguk. "Anda benar. Saya datang karena dia, penyintas dari Indonesia itu."
Tubuh Kenta mendadak menegang. Bola matanya bergerak menatap Atsuko.
"Saya menerima kabar dari LBH di Jogjakarta hari ini. Padma meninggal dunia," Atsuko berhenti sejenak. Ia melihat keterkejutan yang luar biasa di mata Kenta. Namun lelaki itu berusaha menahannya. Ia mendengarkan Atsuko dengan seksama.
"Sudah lama Padma mengidap kanker. Di tengah-tengah penyakitnya itu, ia tetap bersemangat berjuang mencari keadilan. Mereka mengatakan, sebelum meninggal Padma melakukan banyak kebaikan. Ia membantu teman-temannya sesama korban."
"Setia kawan. Itu adalah sifatnya sejak dulu," komentar Kenta singkat.
Atsuko menatap lelaki di hadapannya itu. Wajahnya dan sikapnya tampak tenang. Sangat tenang namun tampak seperti tengah meredam badai. Atsuko paham, ini saatnya dia pergi dan membiarkan Kenta sendirian. Memberi ruang padanya untuk melepaskan duka. Atsuko mengeluarkan buku catatan dan pena dari dalam tasnya. Ia menulis dengan cepat dan menyerahkan pada Kenta.
"Ini alamat dan nomor telepon LBH yang mendampingi Padma di Jogjakarta. Mereka yang mengurus pemakaman Padma."
"Terima kasih." Kenta menerimanya. Atsuko mengangguk.
"Saya mohon diri, Dokter."
Setelah Atsuko meninggalkan ruang prakteknya, Kenta tercenung. Ia menatap lekat kertas yang diberikan Atsuko. Ketegarannya luruh bersama datangnya ingatan pertemuannya dengan Padma. Perlahan bahu Kenta berguncang.
***
Udara pagi datang menghantar kenangan. Dirga menatap dirinya di depan cermin. Sesosok lelaki tua yang terlihat rapuh tengah menatap dirinya. Itu adalah bayangannya sendiri. Setelah wafatnya Padma, Dirga sangat sedih hingga jatuh sakit. Ia tak bisa datang melihat wajah terakhir Padma. Seminggu setelahnya, Dirga meminta Menur membawanya ke makam Padma. Dirga meyakinkan cucunya itu, ia akan baik-baik saja.
"Kakek sudah siap?" Menur masuk setelah mengetuk pintu perlahan. Dirga memutar tubuh. Ia mengangguk pelan. Menur menghampiri kakeknya dan membetulkan kerah bajunya. Ia mundur selangkah agar bisa menatap kakeknya seksama.
"Begini baru gagah," pujinya.