Libur sekolah selama dua minggu sudah berakhir hari ini, selama dua minggu pula Puput dan Galin sama sekali tidak berkomunikasi, begitu juga dengan Titan dan Adit. Mereka seolah menghilang, sama-sama enggan saling mengabari, kecuali Adit yang setiap saat selalu memberi kabar ke Titan, meskipun tidak ada satu pesan dari Adit yang dibalas oleh Titan atau telepon yang diangkat oleh Titan.
Puput sedang menikmati masa-masa sulitnya, menikmati menjadi gadis yang murung, dan mencerna setiap rasa sakit yang seakan-akan menyayat hatinya.
“Patah hati nggak enak ya, Ma!” ucap Puput ke Mamanya saat mereka sedang sarapan bersama.
“Is ok! Nikmati aja, itu namanya proses. Setiap hari akan terus berganti, kalo kamu sudah menikmatinya sekarang, besok rasanya pasti berkurang, karena bukan cuma cinta yang bisa bosan, rasa sakit juga bisa bosan!” Mama tersenyum mengusap air mata Puput.
“Puput nggak mau jatuh cinta lagi!” Puput menggelengkan kepalanya.
“Put! Jatuh cinta itu indah, yang buat Puput patah hati bukan cintanya, tapi orangnya. Jadi jangan nyalahin cintanya, cinta nggak salah!”
Mama mencoba untuk mengembalikan Puput seperti semula, menjadi gadis remaja yang ceria, yang selalu banyak bicara, dan selalu membuat hari-hari orang di sekitarnya terasa lebih ramai. Puput yang sekarang memang terlihat berbeda, setiap hari dia melalui semuanya dengan sedih, murung, dan berdiam diri di dalam kamar.
Puput memang sedang menikmati rasa sakitnya, namun sayangnya Puput tidak tahu bagaimana caranya bosan dengan rasa sakit, Puput terlalu tenggelam dalam lukanya, dan hal itu yang mengubah kepribadiannya dengan tiba-tiba.
Kekhawatiran Mama terhadap semua hal yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan Puput kini terjadi, waswas memiliki anak yang masuk usia remaja awal kini benar-benar hampir membuat Mama frustasi.
“Mayang?” Mama masuk menerobos pintu rumah Titan, berteriak mencari keberadaan Bunda pagi itu.
“Di meja makan!” teriak Bunda yang sedang menikmati sarapan berdua dengan Titan, sedangkan Ayah sudah sejak pagi tadi pergi ke kantor karena harus mengikuti sidang.
Mama berlari menuju meja makan, “Mayang!!” teriak Mama dengan wajah yang sedih, mengejutkan Bunda dan Titan.
“Mama, kenapa?” tanya Titan yang langsung berdiri memegangi tangan Mama.
“Kamu kenapa, Sar?” Bunda ikut berdiri dan mendekati Mama, “Duduk dulu, sini!” sambung Bunda. Setelah Mama duduk dan meminun seteguk teh hangat yang disediakan oleh Bunda, mereka mulai bicara. “Ada apa?” tanya Bunda menggenggam tangan Mama.
“Puput, May! Puput kacau.” Ucap Mama.
“Maksudnya? Apa yang kacau?” Bunda bingung.
“Galin ngerubah semuanya, bertahun-tahun aku ngerawat Puput sendirian, aku buat dia jadi anak yang ceria tapi Galin ngancurin semuanya!” Mama bercerita sambil menangis.
“Sar!” Bunda mencoba menenangkan Mama dengan mengelus lenganya.
“Apa aku harus nemuin, Galin ya?” tanya Mama.
“Ma! Galin urusan Titan, Mama fokus aja ke Puput.” Ucap Titan.
“Iya, May! Cinta monyetnya anak remaja emang begini, kan? Kalo kamu nemuin Galin, kamu juga mau apa? Mau marah-marah? Mau pukul dia? Dia juga punya orang tua, lagian kalo seandainya tiba-tiba mereka baikan, main bareng lagi, gimana coba? Kondisinya nggak akan sama kayak dulu lagi kalo kamu sampe nemuin, Galin!”
“Terus aku harus gimana? Puput loh ini, satu-satunya harta yang aku punya, dan sekarang udah kayak remaja gila setiap harinya, nangis, murung, ngurung diri di kamar, bahkan makan aja dia susah sekarang!” Mama menghapus air matanya, “Puput berubah dan itu buat aku sakit!” sambung Mama, “Dua minggu libur sekolah, dua minggu dia diem, dua minggu dia sakit, dua minggu dia jadi orang yang beda, dan kalian juga ngerasain itu, kan?” Mama benar-benar merasa kehilangan Puput yang dulu.
“Titan janji Titan akan balikin Puput yang dulu ke, Mama! Titan janji, Ma. Tapi Mama jangan nangis lagi, Titan nggak suka liatnya!” Titan memangis, membuat Mama tersenyum ke arahnya lalu memeluk Titan dengan hangat.
“Mama takut sayang, Mama takut!”
Air mata membanjiri meja makan rumah Titan pagi itu, hari-hari berat bukan hanya dilewati oleh Puput, tapi justru keluarganya, orang-orang yang sayang dengannya. Jatuh cinta memang selalu merepotkan. Titan berusaha untuk selalu menghibur Puput, meskipun selalu gagal.
-||-
“Put, lo pernah denger nggak kata-kata yang bilang kalo cinta itu semanis cokelat?” tanya Titan saat mereka berdua sedang berbaring di dalam kamar Puput.
“Pernah!” jawab Puput singkat.
“Terus kalimat berikutnya bilang, tapi nggak selamanya cokelat itu manis,” Titan memiringkan tubuhnya ke arah Puput, “Lo paham maksudnya nggak?” tanya Titan.
“Artinya ada cinta yang enak dan kita suka, dan ada cinta yang nggak enak dan kita nggak suka!” jawab Puput dengan logika sederhana tentang rasa manis dan pahit.
“Iya, betul! Tapi lebih tepatnya, kata-kata itu ngajarin kita untuk memilih, mau yang manis atau yang pahit.”
“Kita nggak bisa nentuin bisa jatuh cinta ke yang manis atau pahit.” jawab Puput.
“Betul lagi! Tapi kita bisa memilih untuk melanjutkan makan cokelat pahit itu atau enggak! Kita bisa milih untuk tujuan akhirnya, sekarang gue tanya lo, lo mau ngabisin cokelat pahit ini atau mau lo buang?” pertanyaan Titan barusan membuat Puput berfikir keras, “Kalo mau lo lanjutin, lo bukan cuma bakalan enek tapi juga kepahitan, pastinya itu nggak akan enak. Tapi kalo lo berhenti, lo bisa cari cokelat yang lain!”
“Nggak ada jaminan juga, kan kalo cokelat lain bisa manis?” Puput memelankan suaranya.
“Nah itu pointnya! Akan selalu ada cokelat pahit di luar sana, terus kenapa lo masih fokus sama cokelat pahit yang sekarang ada di tangan lo? Harusnya lo buang, lo cari lagi sampe lo ketemu yang manis!”
“Kenapa gue nggak bisa cari cara untuk nikmatin cokelat pahit ini?” tanya Puput membuat Titan terdiam, “Cokelat manis kan suka buat enek kalo kebanyakan, kenapa gue nggak boleh nikmatin cokelat pahit ini pelan-pelan?” sambung Puput.
“Karena banyak cara buat nikmatin cokelat manis, tanpa harus susah payah!” jawab Titan.
“Gue tuh jatuh cinta sama cokelat manis, Tan! Sayangnya gue makan terlalu banyak makanya jadi nggak enak!” Puput meneteskan air matanya.
“Lo kenapa harus terus-terusan nyalahin diri lo sendiri, sih?”
“Karena gue nggak bisa nyalahin, Galin. Gue sayang sama Galin, dan itu yang nggak bisa gue ngerti!” teriak Puput yang kembali menangis, sedangkan Titan hanya diam mencoba untuk memeluk Puput.
-||-